"Aku... aku tidak tahu," suaranya seperti kelinci kecil yang terjebak jerat.
Yang lain berdiri. Menunduk. Menatap matanya seperti ingin menaklukkan bukan cuma anak itu, tapi dunia kecil di belakangnya—dapur yang hangat, ibu yang gemetar, bunga kamboja di ember cat.
"Jangan main-main. Sudah banyak anak seumuranmu jadi maling sekarang," katanya, dan Dara hanya bisa menatap lantai yang dipenuhi goresan lama.
Malam datang. Tak dengan angin, tapi dengan diam yang panjang. Dara dipindahkan ke ruangan lain. Tidak ada jendela. Hanya jeruji, dan suara televisi dari ruangan depan yang menyala tanpa penonton. Di sudut, seekor kecoa mati terlentang, dan Dara mulai menggigil, bukan karena dingin.
Ia belum makan sejak pagi. Air yang diberikan asin, dan gelasnya pecah di pinggir. Ia mencoba tidur di atas bangku, melipat badannya seperti kucing kehujanan. Tapi suara langkah, suara pintu besi, suara tawa keras—semuanya membuat matanya terus terbuka.
Lalu pagi hampir datang. Langit di luar jeruji mengabur, seakan lupa bagaimana caranya jadi biru.
Seorang petugas masuk, menaruh roti isi di meja, lalu duduk di seberang Dara.
"Kalau kamu ngaku, semua selesai. Kamu bisa pulang. Ibu kamu pasti nunggu di rumah."
"Ibu saya enggak tahu saya di sini," Dara menjawab pelan.
Petugas itu terdiam. Lalu mengangguk pelan, seperti ada sesuatu yang berat menempel di tengkuknya.
Jam berikutnya terasa seperti minggu. Tubuh Dara pegal. Matanya bengkak. Ia menulis akhirnya. Bukan karena ia ingat mencuri. Tapi karena ingin tidur. Karena ingin peluk ibu. Karena ingin kembali jadi anak 12 tahun yang hanya bingung dengan PR matematika, bukan dengan sistem yang bahkan belum ia pahami.