"Tapi saya masih ingat senyum Ibu waktu saya lahir. Saya masih ingat wangi kamboja di halaman. Dan saya tahu, saya bukan maling."
Kertas itu ia lipat. Diselipkan di bawah pot kamboja. Tak ada yang tahu untuk siapa. Mungkin untuk dirinya sendiri. Mungkin untuk waktu. Mungkin untuk dunia yang tak mau mendengar.
Senja datang perlahan. Tidak merah. Tidak jingga. Hanya kelabu yang terseret angin. Dara duduk lagi di undakan. Sama seperti kemarin. Tapi kali ini, ia tak berharap waktu bisa mundur.
Ia hanya ingin satu hal:
Agar dunia berhenti bertanya siapa pencurinya, dan mulai bertanya, siapa yang menyembunyikan kebenaran.
Tapi tak ada yang menjawab. Bahkan senja pun tidak.
Baca cerpen lain:
- Telur, Peta, dan Pengertian
- Bau Waktu yang Membeku
- Gang Kecil Digital
- Lebaran Tanpa Kata
- Konspirasi Ketupat
- Di Antara Pusaran Laut Banda
- Cahaya Malam Lailatul Qadar
- Jalan Terakhir di Tapal Bumi
- Empat Wajah Agus
- Residu Bom Bali
- Rahasia di Balik Kabut
- Paranoia di Sungai Musi
- Azis dan BCL
- Waktu Maghrib di Kandeapi
- Bisikan di Lift Kosong
- Jerat Kawin Kontrak
- Delusi
- Luka dalam Cinta
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI