Ketika pintu ruangan terbuka sore itu, Dara berjalan pelan, matanya kosong. Langkahnya tak bersuara. Ia tak ingat kapan terakhir kali bicara dengan nada yang tidak bergetar.
Di luar, langit mendung. Sama seperti kemarin. Atau mungkin ini masih hari yang sama.
Seorang polisi mengantar Dara ke beranda kantor. Ibu Dara berdiri di sana. Rambutnya kusut. Matanya merah. Tapi senyum yang tipis itu tetap ada, meski nyaris patah.
"Ibu..."
Dara memeluknya. Tapi entah kenapa, pelukan itu tidak menghangatkan. Rasanya seperti memeluk bayangan. Seperti memeluk kepastian bahwa dunia tidak akan sama lagi.
Lalu di rumah Bu Ratna, sesuatu terjadi. Tak ada yang tahu persis. Tapi pagi itu, ia membuka laci bawah tempat tidur dan menemukan gelang itu. Masih terbungkus kain tipis. Masih bersih. Masih berkilau. Ia sempat bengong. Lalu duduk. Lalu menatap kosong ke dinding.
Ia tidak bilang siapa-siapa.
Dan Dara... Dara kembali ke rumah dengan tubuh utuh tapi ada yang bolong di dalamnya. Ia duduk di halaman, menyapu daun jambu, seperti kemarin. Tapi kali ini, ia tidak bersenandung.
Ia hanya menatap bunga kamboja di pot, dan berharap waktu bisa mundur satu hari saja.
Dara duduk di tepi undakan rumah, mengenakan kaus yang terlalu besar, dan celana yang sudah memudar warnanya. Di tangannya, secarik kertas dari sekolah—surat pemberitahuan pelanggaran yang tidak dia lakukan. Di sekelilingnya, suara kampung tetap berputar seperti biasa: anak-anak main sepeda, tukang sayur teriak sambil melucu, dan suara radio tetangga yang memutar lagu dangdut lawas.
Tapi di kepala Dara, semuanya bisu. Tak ada irama. Hanya gema samar dari ruang gelap berjeruji, dari meja interogasi, dari malam panjang yang menumpuk dalam ingatan.