“Memangnya ini ulah siapa?” tanya Dirga retoris.
“Hei… kalian memang harus akrab karena berada di kelas yang sama. Tugas yang saya berikan pasti benar-benar membantu memperbaiki hubungan perteman kalian,” Lintang menyahut percaya diri, membuat Dirga memutar bola matanya.
“Tidak ada yang perlu diperbaiki, dan…” Dirga menatap Elang yang terdiam di tempat, hanya menjadi penyimak percakapannya dengan Lintang. “Kami bahkan tidak berteman.”
“Astaga, lihat anak nakal ini,” Lintang kembali mencibir, lagi-lagi dengan suara yang masih bisa didengar oleh objek cibirannya.
“Apapun itu, karena Elang sudah ada di sini, akan lebih baik jika kita makan bertiga bukan? Kalian bisa membahas tugasnya di dalam sambil menunggu saya membersihkan diri. Saya akan dengan senang hati membantu pekerjaan kalian. Bagaimana ide bagus bukan?” Lintang menawarkan dengan senyum lebar di wajahnya, sangat berlawanan dengan raut wajah yang dua muridnya itu tunjukkan.
“Tidak juga.”
“Mengapa kami harus?”
Dirga dan Elang menyahut di waktu yang bersamaan.
“Ya Tuhan… lihat anak-anak ini.”
-
Pada awalnya, Elang berpikir bahwa kepedulian yang Lintang tunjukkan pada Dirga hanyalah berdasarkan rasa kasihan saja. Cerita keluarga Dirga yang rumit, yang diketahui oleh hampir seluruh penghuni sekolah mereka, mungkin membangkitkan sisi simpati Lintang, setidaknya sebagai seorang guru. Namun mendapati apa yang dilihatnya hari ini, Elang merasa ia terlalu cepat menilai. Interaksi yang berlangsung antara keduanya memang berlangsung dingin dan agak kaku, namun terkesan nyaman dan alami di saat yang bersamaan. Kini ia mulai mengerti tentang alasan Lintang meminta ‘bantuannya’. Ini jelas kepedulian, murni kepedulian.