Muncul dari: Pemikiran Yunani, Kristen awal, Islam
Diformalkan oleh: William Paley (1743-1805)
Gagasan utama:
- Dunia menunjukkan keteraturan, tujuan, dan kompleksitas-seperti jam yang presisi.
- Maka, seperti jam punya pembuat, dunia harus punya perancang cerdas (intelligent designer).
Versi Islam klasik seperti al-Ghazali dan Ibn Rushd juga menyatakan bahwa harmoni kosmos menandakan kebijaksanaan Sang Pencipta.
Kritik utama:
- Darwinisme dan teori evolusi menghantam keras argumen ini, karena keteraturan biologis bisa dijelaskan oleh seleksi alam.
- Richard Dawkins menyebut argumen ini sebagai "God of the gaps"-mengisi celah yang belum dipahami ilmu.
Ketiga argumen ini:
- Masih digunakan dalam debat apologetik modern, khususnya di kalangan teolog, filsuf agama, dan apologis Islam-Kristen.
- Namun dalam tradisi filsafat analitik kontemporer, mereka telah dikritik tajam dari sisi bahasa, logika, dan empiris.
- Kita akan bahas kritik itu di Bab IV (Kant, Hume, Russell, Wittgenstein).
Pertanyaan-Diskusi:
- Dari tiga argumen klasik ini, mana yang paling rasional dan mana yang paling lemah?
- Apakah argumen logis semacam ini bisa berdiri tanpa kepercayaan awal (iman)?
*
Bab IV: Kritik dan Evolusi: Dari Kant, Hume, hingga Wittgenstein
Di Bab III, kita telah melihat tiga argumen klasik yang mencoba mendefinisikan Tuhan secara rasional: ontologis, kosmologis, dan teleologis. Meskipun sangat berpengaruh dalam sejarah filsafat, argumen-argumen ini tak luput dari kritik tajam, terutama dari para filsuf modern yang memandang logika dan akal manusia tidak mampu menjangkau Tuhan secara mutlak. Bab ini akan membahas kritik-kritik utama terhadap argumen-argumen ini serta bagaimana perkembangan pemikiran filsafat mengubah pandangan kita tentang Tuhan dan rasio.
1. Immanuel Kant (1724-1804): Kritik terhadap Argumen Ontologis.
Kant memberikan kritik yang sangat mendalam terhadap argumen ontologis Anselmus dan Descartes. Dalam Critique of Pure Reason, Kant berpendapat bahwa eksistensi bukan predikat. Artinya, eksistensi tidak bisa dianggap sebagai sifat yang melekat pada sesuatu, seperti kualitas lainnya. Kant berargumen bahwa kita tidak bisa membuktikan eksistensi sesuatu hanya dengan mendefinisikannya.