*****
Refleksi Pribadi:
Menulis topik ini bukan sekadar latihan intelektual. Ia adalah perjalanan batin-antara harapan bahwa logika mampu memaknai realitas tertinggi, dan kesadaran bahwa Tuhan bukan soal menang debat, melainkan soal ditemukan dalam perenungan terdalam.
Sebagai penulis, saya telah lama percaya bahwa akal adalah anugerah terbesar manusia. Ia membedakan kita dari hewan, memisahkan kepercayaan dari takhayul, dan memberi kita alat untuk bertanya. Namun justru karena saya mencintai logika, saya belajar untuk tidak mengkultuskannya. Logika seperti cermin: ia bisa menunjukkan bentuk realitas, tapi tak bisa menjamah intinya.
Saya tidak pernah benar-benar puas dengan argumen ontologis Anselmus-ia terlalu bersih, terlalu steril dari kehidupan. Saya juga melihat kekuatan dan kelemahan argumen Aquinas-begitu kuat dalam struktur, namun tak mampu menembus keraguan zaman modern. Kritik Hume dan Kant mengajarkan saya satu hal penting: bahwa Tuhan tidak hadir di dalam rumus, tapi dalam kesadaran akan keterbatasan manusia.
Lalu saya berpaling ke Al-Qur'an. Di sana saya temukan jalan tengah: Tuhan yang mengajak berpikir, tapi juga mengajak tunduk. Tuhan yang dapat dikenal lewat tanda, tapi tidak pernah sepenuhnya dapat digenggam. Saya melihat bahwa Islam tidak membungkam logika seperti beberapa dogma, tapi juga tidak membiarkannya liar seperti skeptisisme modern. Islam menempatkan logika sebagai hamba, bukan tuan. Ia mengantar, bukan menentukan.
"Apakah kamu tidak berpikir?"
"Apakah kamu tidak memperhatikan?"
Inilah dua pertanyaan Qur'ani yang terus bergetar di kepala saya.
Dan saya sadar, bahwa iman tidak pernah membunuh logika, tapi memberi arahnya. Ibarat cahaya lampu dan peta, logika menunjukkan jalur, tetapi iman memberi arah kompasnya.
Hari ini, filsafat agama tak lagi mencari "pembuktian Tuhan" semata. Ia bergerak menuju pertemuan antara pengalaman spiritual, etika, dan refleksi akal. Tuhan bukan sekadar hasil dari silogisme, tapi kesadaran akan keberadaan yang melampaui segalanya, bahkan logika itu sendiri.
Barangkali benar apa yang dikatakan para mistikus dan rasul: "Tuhan bukanlah objek untuk dipahami, tapi subjek yang menghadirkan pemahaman."
*****