Mohon tunggu...
R Hady Syahputra Tambunan
R Hady Syahputra Tambunan Mohon Tunggu... Karyawan Swasta

🎓Education: Law 🏤Classified as Middle–Upper Class in Indonesia, with assets ranging from US$169,420–1 million (approx. Rp 2.64–16 billion), based on CNBC criteria. 🏧Among the top 0.001% of Indonesians with an annual income of Rp 300–500 million (SPT 1770 S 2024) 👔Career: Employee at Giant Holding Company (since Feb 2004–Present), side job as Independent Property-Asset Management Consultant 📲Volunteer Work: Previously engaged with BaraJP, Kawal Pemilu, as well as the Prabowo–Sandi and Anies–Muhaimin campaign teams. ⚖️Note: I only connect with writers who focus on ideas and ideals, not those who are obsessed with K-Rewards.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Filsafat Logika (Ep-25) | Filsafat Agama: Mampukah Akal Mendefinisikan Tuhan?

1 Agustus 2025   23:56 Diperbarui: 2 Agustus 2025   00:03 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

*****

Refleksi Pribadi:

Menulis topik ini bukan sekadar latihan intelektual. Ia adalah perjalanan batin-antara harapan bahwa logika mampu memaknai realitas tertinggi, dan kesadaran bahwa Tuhan bukan soal menang debat, melainkan soal ditemukan dalam perenungan terdalam.

Sebagai penulis, saya telah lama percaya bahwa akal adalah anugerah terbesar manusia. Ia membedakan kita dari hewan, memisahkan kepercayaan dari takhayul, dan memberi kita alat untuk bertanya. Namun justru karena saya mencintai logika, saya belajar untuk tidak mengkultuskannya. Logika seperti cermin: ia bisa menunjukkan bentuk realitas, tapi tak bisa menjamah intinya.

Saya tidak pernah benar-benar puas dengan argumen ontologis Anselmus-ia terlalu bersih, terlalu steril dari kehidupan. Saya juga melihat kekuatan dan kelemahan argumen Aquinas-begitu kuat dalam struktur, namun tak mampu menembus keraguan zaman modern. Kritik Hume dan Kant mengajarkan saya satu hal penting: bahwa Tuhan tidak hadir di dalam rumus, tapi dalam kesadaran akan keterbatasan manusia.

Lalu saya berpaling ke Al-Qur'an. Di sana saya temukan jalan tengah: Tuhan yang mengajak berpikir, tapi juga mengajak tunduk. Tuhan yang dapat dikenal lewat tanda, tapi tidak pernah sepenuhnya dapat digenggam. Saya melihat bahwa Islam tidak membungkam logika seperti beberapa dogma, tapi juga tidak membiarkannya liar seperti skeptisisme modern. Islam menempatkan logika sebagai hamba, bukan tuan. Ia mengantar, bukan menentukan.

"Apakah kamu tidak berpikir?"
"Apakah kamu tidak memperhatikan?"
Inilah dua pertanyaan Qur'ani yang terus bergetar di kepala saya.

Dan saya sadar, bahwa iman tidak pernah membunuh logika, tapi memberi arahnya. Ibarat cahaya lampu dan peta, logika menunjukkan jalur, tetapi iman memberi arah kompasnya.

Hari ini, filsafat agama tak lagi mencari "pembuktian Tuhan" semata. Ia bergerak menuju pertemuan antara pengalaman spiritual, etika, dan refleksi akal. Tuhan bukan sekadar hasil dari silogisme, tapi kesadaran akan keberadaan yang melampaui segalanya, bahkan logika itu sendiri.

Barangkali benar apa yang dikatakan para mistikus dan rasul: "Tuhan bukanlah objek untuk dipahami, tapi subjek yang menghadirkan pemahaman."

*****

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun