Mohon tunggu...
Yulius Maran
Yulius Maran Mohon Tunggu... Educational Coach

- Gutta Cavat Lapidem Non Vi Sed Saepe Cadendo -

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sekolah di Era Homo Deus: Mampukah Pendidikan Tetap Manusiawi?

21 September 2025   20:45 Diperbarui: 21 September 2025   19:08 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar diambil dari https://www.shutterstock.com/

Di sebuah sekolah menengah di Jakarta, layar interaktif raksasa berdiri megah di depan kelas. Siswa-siswa tampak antusias pada awalnya, menekan ikon digital dengan rasa ingin tahu. Namun, setelah beberapa minggu, suasana kembali biasa saja. Layar canggih itu lebih sering dipakai menampilkan slide PowerPoint yang sama seperti proyektor lama. Seorang guru berbisik, "Alat boleh berubah, tapi cara mengajar masih itu-itu juga."

Kisah ini menyisakan pertanyaan: apakah pendidikan Indonesia sedang bergerak maju, atau sekadar berputar dalam simbolisasi teknologi? Di tengah derasnya arus digitalisasi global, bangsa ini perlu lebih dari sekadar perangkat baru. Kita membutuhkan pendidikan yang menjawab tantangan manusia abad 21---tantangan yang bahkan lebih kompleks daripada sekadar "belajar daring" atau "pakai layar sentuh."

Tantangan Era Homo Deus

Yuval Noah Harari (2017) dalam Homo Deus menegaskan bahwa umat manusia telah melampaui problem klasik berupa kelaparan, wabah, dan perang dalam skala besar. Tantangan baru bukan lagi soal bertahan hidup, melainkan eksistensi dan makna. Di era dataisme, algoritma berpotensi lebih tahu tentang manusia dibanding manusia itu sendiri.

Sekolah tidak bisa hanya mempersiapkan murid dengan keterampilan teknis. Mereka harus mampu menavigasi dunia yang dikendalikan big data dan kecerdasan buatan. Apakah anak-anak kita hanya akan jadi operator algoritma, ataukah mampu menjadi subjek yang kritis, kreatif, dan penuh empati? Pertanyaan ini menohok, karena pendidikan bermutu di abad 21 bukan sekadar literasi digital, tetapi kemampuan memahami dan menegosiasikan makna dalam dunia yang semakin dikuasai mesin.

Kerja untuk Aktualisasi Diri

Jika di masa lalu kerja dipahami sebagai sarana bertahan hidup, kini makna kerja bergeser. Harari (2017) mengingatkan bahwa di era pasca-industrial, ketika mesin menggantikan banyak fungsi manusia, kerja harus menjadi ruang aktualisasi diri. Bagi generasi muda, bekerja bukan sekadar mencari nafkah, tetapi juga meneguhkan identitas, kontribusi sosial, dan pencarian makna hidup.

Pendidikan yang bermutu tidak boleh hanya menyiapkan murid untuk "mendapat pekerjaan," melainkan juga untuk menemukan diri dalam pekerjaan itu. Di sinilah relevansi pendidikan mendalam: melatih murid berpikir kritis, berkolaborasi, dan menciptakan nilai tambah yang membedakan mereka dari mesin. Sekolah yang gagal memahami pergeseran ini hanya akan melahirkan generasi pencari kerja, bukan pencipta perubahan.

Nel Noddings (1995) dalam Philosophy of Education menekankan pentingnya etika kepedulian (ethics of care) dalam pendidikan. Pendidikan sejati, menurutnya, bukan sekadar transmisi pengetahuan, tetapi relasi manusiawi yang memelihara empati, tanggung jawab, dan keberlanjutan moral.

Dalam konteks ini, teknologi hanyalah sarana. Jika sekolah terlalu terpaku pada alat digital, ia bisa melupakan dimensi manusiawi yang justru esensial. Pendidikan yang hanya menekankan teknologi tanpa kepedulian akan kehilangan arah, menghasilkan generasi cerdas tetapi hampa makna.

Noddings (1995) menekankan bahwa guru memiliki peran sentral sebagai pendamping yang menumbuhkan, bukan sekadar pengajar yang mengisi. Dalam era Homo Deus, ketika algoritma bisa menjawab hampir semua pertanyaan faktual, fungsi guru justru makin penting: menjaga agar pendidikan tetap berakar pada nilai-nilai kemanusiaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun