Mohon tunggu...
R Hady Syahputra Tambunan
R Hady Syahputra Tambunan Mohon Tunggu... Karyawan Swasta

🎓Education: Law 🏤Classified as Middle–Upper Class in Indonesia, with assets ranging from US$169,420–1 million (approx. Rp 2.64–16 billion), based on CNBC criteria. 🏧Among the top 0.001% of Indonesians with an annual income of Rp 300–500 million (SPT 1770 S 2024) 👔Career: Employee at Giant Holding Company (since Feb 2004–Present), side job as Independent Property-Asset Management Consultant 📲Volunteer Work: Previously engaged with BaraJP, Kawal Pemilu, as well as the Prabowo–Sandi and Anies–Muhaimin campaign teams. ⚖️Note: I only connect with writers who focus on ideas and ideals, not those who are obsessed with K-Rewards.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Filsafat Logika (Ep-25) | Filsafat Agama: Mampukah Akal Mendefinisikan Tuhan?

1 Agustus 2025   23:56 Diperbarui: 2 Agustus 2025   00:03 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah menelusuri argumen klasik, kritik modern, serta pandangan dalam tradisi Islam dan agama Abrahamik lainnya, kini saatnya kita bertanya: Apakah logika masih relevan untuk mendefinisikan Tuhan di era sekarang?
Dan jika tidak, di mana letak peran akal manusia dalam mengenal realitas ilahi Bab ini menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan menelusuri implikasi filosofis, etis, dan spiritual dari debat panjang ini, serta mencoba memetakan posisi kontemporer dari para pemikir dan masyarakat modern.

1. Implikasi Filosofis: Batas Akal dan Keberanian Menyepi

Diskursus panjang tentang pembuktian Tuhan telah menunjukkan bahwa:

  • Logika mampu membuka jalan menuju ketuhanan, tapi tak pernah benar-benar mendefinisikan Tuhan sepenuhnya.
  • Semakin akurat logika digunakan, semakin ia menyadari keterbatasannya. Ini seperti mendekati matahari: semakin dekat, semakin silau dan tak tertangkap.

Wittgenstein:
"Di mana kita tidak dapat berbicara, di situ kita harus diam."
Menyiratkan bahwa keheningan akal bukanlah kekalahan, melainkan kesadaran eksistensial.

2. Implikasi Teologis: Iman, Rasio, dan Misteri

Dalam hampir semua tradisi agama:

  • Iman pada akhirnya tidak lahir dari silogisme, tetapi dari pengalaman eksistensial: kegelisahan, pencarian makna, penderitaan, dan keterhubungan.
  • Namun rasionalitas tetap penting untuk memurnikan iman dari mitos, fanatisme, dan distorsi.

Islam menempatkan akal sebagai "naib wahyu" (wakil wahyu), bukan saingannya.
Kristen kontemporer mengakui bahwa banyak dogma tidak bisa dijelaskan rasional, tapi memiliki nilai simbolik yang dalam.
Yudaisme rabinik modern lebih banyak memaknai Tuhan sebagai "relasi etis", bukan konsep metafisik.

3. Kritik Humanis dan Posmodern: Tuhan Sebagai Konstruksi?

Di era pasca-Nietzsche dan Foucault:

  • Tuhan bukan lagi pusat metafisika, melainkan proyeksi psikologis dan sosial.
  • Banyak filsuf (Derrida, Heidegger, dan Lyotard) mengkritik ide Tuhan sebagai "metanarasi dominan" yang membatasi pluralitas makna.
  • Dalam masyarakat sekuler, pertanyaan "Apakah Tuhan itu ada?" digantikan oleh pertanyaan: "Apa fungsi konsep Tuhan dalam hidup manusia?"

Tuhan tidak lagi didebatkan sebagai entitas metafisik, tapi kode etis dan eksistensial dalam konstruksi budaya manusia.

4. Kebangkitan Spiritualitas Rasional: Posisi Saat Ini

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun