"Tapi berkat dirimu dan teman-temanmu, aku jadi bisa video call dengan kekasihku. Aku benar-benar bahagia. Terima kasih ya, Rangga" ujarnya. Raut wajah kebahagiaan menyelimutinya.
Aku perlahan mencoba tersenyum untuknya. Bagaimanapun juga, setidaknya aku bersyukur bsia berguna bagi orang lain.
"Iya sama-sama" jawabku.
Entah mengapa, ingin rasanya aku buru-buru menyelesaikan KKN ini. Seminggu rasanya sudah seperti setahun. Setiap aku bertemu Dewi, selalu ada rasa sakit dan kecewa di hatiku.
"Ehm, ngelamun melulu" terdengar suara wanita yang tak asing lagi di kupingku.
Aku Cuma diam, hanya saja kesadaranku sudah kembali setelah deheman itu. Aku sedang malas menjawab pertanyaan Arin.
"Ada yang lagi patah hati karena ditolak nih ye" celetuk Arin.
"Udah deh gak usah menggoda, kalau tahu lebih baik diem" jawabku ketus.
Memang dari dulu Arin selalu bisa membaca gelagatku kalau sedang senang maupun sedih. Jadi tak ada gunanya ditutup-tutupi.
"Aku tahu kok, kamu berusaha mati-matian program KKN ini demi apa. Atau lebih tepatnya demi siapa" ujar Arin.
"Entah lah, Rin. Susah sekali mencari tempat hati ini berlabuh. Dulu sama cewek pinter dan modis ditolak, sekarang sama cewek polos dan pendiam juga ditolak." Ujarku dengan nada putus asa.