Mohon tunggu...
Murdiyanti
Murdiyanti Mohon Tunggu... Administrasi - Perempuan

NIM: 55521120028 - Dosen Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak - Universitas Mercu Buana

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

TB 2_Tema Genap-Prasyarat Pengembalian Pendahuluan atas Restitusi PPN

2 Juni 2023   21:40 Diperbarui: 2 Juni 2023   21:41 829
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Restitusi PPN (DokPri)

Nama: Murdiyanti

NIM: 55521120028

Nama Dosen: Prof. Apollo

Nama Kampus: Universitas Mercu Buana

Mata Kuliah: Pemeriksaan Pajak

Beberapa periode terakhir Indonesia telah melakukan penerapan sistem perpajakan yang lebih modern, efektif dan efisien berbentuk self assessment (menghitung, melapor dan membayar sendiri pajak nya) yang dilaksanakan berdasarkan kesukarelaan (voluntary compliance). Pada kegiatan pengadministrasian perpajakan, yang pada awalnya ada proses administrasi pajak, maka secara perlahan bergeser pada pembayaran pajak atau wajib pajak. Hal tersebut bermula dari kegiatan registrasi baik sebagai wajib pajak maupun pengusaha kena pajak, menghitung kewajiban pajak yang terutang, melaporkan surat pemberitahuan pajaknya serta membayarkan sendiri pajak nya. Berdasarkan UU KUP Nomor 6 tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 16 tahun 2009, secara umum dijelaskan fase-fase yang timbul dalam pemenuhan kewajiban perpajakan. Dalam UU tersebut disebutkan terdapat 5 (lima) fase yang timbul dalam pemenuhan kewajiban perpajakan, yaitu:

1. Fase saat timbulnya hak dan kewajiban

Hak dan kewajiban perpajakan timbul ketika saat terpenuhinya persyaratan subjektif dan objektif sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan sehubungan adanya perbuatan,keadaan/peristiwa yang menimbulkan adanya pajak yang terutang pada suatu Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak/Tahun Pajak. Dalam UU KUP dan UU PPN, penerbitan NPWP dan/atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP) merupakan proses administrasi yang tidak menentukan timbulnya pajak terutang. NPWP digunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya antara lain untuk membayar atau menyetor, dan melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT). Surat Pengukuhan PKP digunakan sebagai sarana administrasi agar dapat menerbitkan Faktur Pajak.

2. Fase self assessment

UU Perpajakan kita menganut self assessment system, merupakan sistem pemungutan yang memberikan keleluasaan penuh kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri kewajiban perpajakannya. Fase self assessment dimulai sejak Wajib Pajak mendaftarkan diridan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).NPWP merupakan identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban di bidang perpajakan. Keleluasaan penuh yang dimiliki Wajib Pajak tersebut mengandung arti bahwa WP merupakan pelaku utama yang menentukan sejak timbulnya utang pajak atau kewajiban pajak sampai terealisasinya pembayaran pajak serta mempertanggungjawabkannya. Produk akhir dari sistem ini adalah Surat Pemberitahuan (SPT).

3. Fase pengawasan

Keleluasaan penuh yang diberikan UU kepada WP untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri kewajiban perpajakannya di satu sisi akan menimbulkan risiko yang tinggi bagi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam mengemban tugasnya mengumpulkan pajak apabila tingkat kepatuhan masyarakat Wajib Pajak masih cukup rendah. Oleh sebab itu diperlukan penyeimbang untuk mengantisipasi risiko tersebut yaitu dilakukan berupa proses pengawasan. Dalam rangka pengawasan tersebut UU KUP memberikan wewenang kepada DJP untuk melakukan pemeriksaan. Dari pemeriksaan akan ditetapkan apakah SPT yang disampaikan WP telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau belum. Produk akhir dari pemeriksaan adalah berupa ketetapan pajak yaitu merupa Surat Ketetapan Pajak (SKP). Tidak semua terhadap SPT WP akan dilakukan pemeriksaan, sehingga tidak semua SPT yang disampaikan akan diterbitkan SKP. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 12 UU KUP bahwa Wajib Pajak membayar pajak yang terutang berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan dengan tidak menggantungkan dengan adanya Surat Ketetapan Pajak (SKP). Sehingga jika SPT yang disampaikan menyatakan kurang bayar, tanpa menunggu dilakukan pemeriksaan terhadap kekurangan tersebut maka Wajib Pajak wajib dibayar sesuai ketentuan (fase self assessment).

4. Fase sengketa;

Dalam hal Wajib Pajak tidak setuju dengan ketetapan pajak yang telah diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak, sebagaimana pada UU KUP memberikan hak kepada WP untuk mengajukan keberatan kepada DJP. Atas keberatan yang diajukan Wajib Pajak tersebut selanjutnya Direktorat Jenderal Pajak menerbitkan keputusan keberatan yang isinya bisa menolak, mengabulkan atau mengabulkan sebagian atas keberatan yang diajukan WP. Oleh sebab itu, jika seandainya Wajib Pajak masih tidak setuju dengan keputusan keberatan, UU KUP memberikan hak kepada Wajib Pajak untuk mengajukan banding ke badan peradilan pajak. Jika Wajib Pajak menggunakan haknya untuk mengajukan banding maka dengan demikian memasuki fase penyelesaian sengketa. Namun apabila Wajib Pajak setuju dengan keputusan keberatan yang diterbitkan Direktorat Jenderal Pajak maka dengan demikian selesailah satu siklus mengenai kewajiban perpajakan atau suatu pajak untuk satu masa atau satu tahun pajak.

5. Fase penyelesaian sengketa.

Pada Pasal 27 ayat (1) UU KUP disebutkan bahwa Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak atas Surat Keputusan Keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1). Pada fase penyelesaian sengketa disinggung juga tentang pengadilan pajak. Jika terdapat sengketa perpajakan, Direktorat Jenderal Pajak melalui UU Perpajakan telah menentukan proses-proses penyelesaian sengketa dengan menjunjung rasa keadilan dan pihak yang bersengketa dapat menyelesaikannya dengan mendapatkan kepastian hukum.

Beberapa jenis pajak yang ada di Indonesia selain pajak penghasilan terdapat juga Pajak Pertambahan Nilai atau biasa disebut PPN. Pajak Pertambahan Nilai merupakan pajak atas konsumsi barang dan jasa di dalam daerah pabean oleh Orang Pribadi atau Badan. Beberapa istilah yang perlu diketahui untuk memahami Pajak Pertambahan Nilai sebagai berikut:

Ilustrasi PKP, BKP, JKP (DokPri)
Ilustrasi PKP, BKP, JKP (DokPri)
- Barang Kena Pajak (BKP): BKP merupakan barang berwujud dan tidak berwujud yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak yang dikenakan pajak berdasarkan UU PPN.
- Jasa Kena Pajak (JKP): JKP merupakan setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai yang dikenakan pajak berdaarkan UU PPN. Dalam hal ini termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk pemesan.

- Daerah Pabean: Daerah Pabean merupakan wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara diatasnya serta tempat tertentu di Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) dan Landas Kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-undang yang mengatur mengenai kepabeanan.

- Badan: Badan merupakan sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakikan usaha maupun yang tidak melakukan usaha, yang meliputi Perseroan Terbatas, Perseroan Komanditer, Perseroan lainnya, badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, Firma, Kongsi, Koperasi, Dana Pensiun, Persekutuan, Perkumpulan, Yayasan, Organisasi Massa, Organisasi Sosial Politik atau organisasi lainnya, Lembaga, BUT dan bentuk badan lainnya.

- Pengusaha: Pengusaha adalah Orang Pribadi atau Badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, memanfaatkan barang tidak berwujud/jasa dari luar Daerah Pabean.

- Pengusaha Kena Pajak (PKP): PKP adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang dikenakan pajak berdasarkan UU PPN, tidak termasuk pengusaha kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).

Secara singkat Pajak Pertambahan Nilai memiliki karakteristik sebagai berikut:

- Merupakan pajak tidak langsung yang dipungut pada setiap rantai jalur penjualan;

- Pada umumnya tidak menimbulkan efek pajak berganda;

- Merupakan pajak konsumsi di dalam negeri;

- Merupakan pajak obyektif;

- Merupakan tarif tunggal;

Sebagai pajak obyektif maka menentukan cara pemajakan PPN harus dikenali obyek pajaknya (apa yang harus dikenakan PPN) terlebih dahulu. Setelah kita mengetahui terlebih dahulu obyeknya kemudian kita cari siapa subyeknya (yang harus mengenakan PPN), waktu pajak terutang, lokasi pajak terutang serta bagaimana mekanismenya (contohnya pembuatan faktur pajak). Obyek PPN diatur dalam UU PPN dengan rincian sebagai berikut:

- Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean oleh Pengusaha Kena Pajak  dengan karakteristik:

a.Pihak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP)/Jasa Kena Pajak (JKP) tersebut yaitu Pengusaha Kena Pajak atau PKP dalam hal ini merupakan Wajib pajak yang telah dikukuhkan oleh DJP sebagai Pengusaha Kena Pajak;

b.Penyerahan tersebut dilakukan di dalam lingkungan pekerjaannya sebagai Pengusaha Kena Pajak yang artinya merupakan kegiatan usahanya sehari-hari sebagai Pengusaha Kena Pajak;

c. Tempat terjadinya penyerahan adalah di dalam Daerah Pabean.

Tidak setiap penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak di dalam Daerah Pabean terutang PPN, tergantung kepada kondisi-kondisi yang melingkupi Barang Kena Pajak tersebut, seperti apakah Barang Kena Pajak tersebut merupakan barang dagangan atau bukan, apakah Pajak Masukan sewaktu memperoleh Barang Kena Pajak tersebut dapat dikreditkan, dan apakah transaksi penyerahan tersebut mendapatkan fasilitas di bidang PPN.

ilustrasi Subjek PPN (DokPri)
ilustrasi Subjek PPN (DokPri)
Setelah kita memahami Obyek PPN maka kita harus mengetahui siapa yang diberikan hak dan kewajiban sehubungan dengan terlaksanakannya proses pengenaan pajak atau disebut Subjek Pajak. Setiap Obyek PPN akan mempunyai subjek PPN-nya. Berdasarkan Pasal 4, Pasal 16C, dan Pasal 16D UU PPN Tahun 2009 dan Pasal 2 ayat (2) PP Nomor 143 Tahun 2000 Jo PP Nomor 24 Tahun 2002 Jo PP Nomor 1 Tahun 2012, subjek PPN dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua), yaitu:
a. Pengusaha Kena Pajak (PKP)

yang termasuk kedalam kelompok PKP ini yaitu orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang dalam kegiatan usaha atau pekerajaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengeskpor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud yang berasal dari luar Daerah Pabean, menjalankan kegiatan usaha jasa termasuk usaha mengekspor jasa/memanfaatkan jasa yang berasal dari luar Daerah Pabean. Dikecualikan dari PKP yaitu pengusaha yang memenuhi kriteria sebagai Pengusaha Kecil.

b. Bukan Pengusaha Kena Pajak (Non-PKP)

Pengusaha bukan PKP yang menjadi subjek PPN meliputi pengusaha yang melakukan kegiatan dimaksud Pasal 4 huruf b, huruf d, huruf e, dan Pasal 16C UU PPN Tahun 2009, yaitu:

1) Orang Pribadi/Badan yang mengimpor BKP;

2) Orang Pribadi/Badan yang memanfaatkan BKP Tidak Berwujud/JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;

3) Orang Pribadi/Badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri di luar kegiatan usaha/pekerjaannya.

Kewajiban Pengusaha Kena Pajak (PKP) diatur dalam UU PPN yang mementukan bahwa Pengusaha yang melakukan penyerahan BKP dan atau JKP serta melakukan ekspor BKPtermasuk Pengusaha Kecil yang memilih dikukuhkan sebagai PKP wajib memungut pajak yang terutang dengan membuat Faktur Pajak setelah dikukuhkan sebagai PKP dan menyetorkan pajak yang terutang dalam menyelenggarakan catatan perolehan dan peredaran dan mengkreditkan Pajak Masukan berdasarkan ketentuan yang berlaku serta mengisi dan menyampaikan SPT masa PPN.

Dasar Pengenaan Pajak (DPP) untuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah sebagai berikut:

a. Harga Jual:

Harga jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh Pengusaha karena penyerahan BKP, tidak termasuk PPN yang dipungut menurut UU PPN dan potongan harga yang dicantumkan dalam Fatur Pajak.

b. Penggantian

Penggantian adalah niai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan JKP, tidak termasuk PPN yang dipungut menurut UU PPN dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.

c. Nilai Impor

Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar perhitungan Bea Masuk (cost + insurance + freight), ditambah pungutan lainnya yang dikenakan berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Perundang-undangan Pabean untuk impor BKP, tidak termasuk PPN yang dipungut menurut UU PPN.

d. Nilai Ekspor

Nilai Ekspor sebagai Dasar Pengenaan Pajak dirumuskan sebagai nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau yang seharusnya diminta oleh eksportir. DPP atas ekspor BKP adalah nilai Ekspor yang tercantum dalam PEB yang telah difiat muat oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

e. Nilai lain

Nilai lain yang berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75/PMK.03/2020 Jo Peraturan Menteri Keuangan Nomor 38/PMK.011/2013 Jo Peraturan Menteri Keuangan Nomor 30/PMK.03/2014 Jo 56/PMK.03/2015 Jo 121/PMK.03/2015, ditetapkan Nilai Lain sebagai DPP untuk beberapa penyerahan BKP dan JKP.

Saat terutang pajak PPN berkaitan dengan kapan suatu objek terutang pajak sehingga menentukan kapan pembuatan Faktur Pajak dan pembayaran PPN ke Kas Negara harus dilakukan. Kesalahan dalam memahami "saat terutang" dapat menyebabkan keterlambatan pemungutan PPN, sehingga mengakibatkan pengenaan denda dari KPP. Sedangkan "tempat terutang" berkaitan dengan di KPP mana Objek PPN harus dilaporkan. Tentu saja hal ini akan berpengaruh kepada tempat Pengusaha harus dikukuhkan sebagai PKP. Maka sesuai UU PPN, PPN terutang pada saat Penyerahan BKP di dalam Daerah Pabean, Impor BKP, Penyerahan JKP di dalam Daerah Pabean, Pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean, Pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean, Ekspor BKP Berwujud, Ekspor BKP Tidak Berwujud, Ekspor JKP; dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan BKP atau JKP atau sebelum dimulainya pemanfaatan BKP Tidak Berwujud atau JKP dari luar Daerah Pabean, saat terutangnya PPN adalah pada saat pembayaran. Dengan demikian Faktur Pajak sudah harus diterbitkan pada saat terjadinya pembayaran. Namun dalam hal pembayaran terjadi setelah penyerahan BKP atau JKP, penerbitan Faktur Pajak dilakukan pada saat terjadinya penyerahan.

Tempat Pajak Terutang dalam Pasal 12 UU PPN ditetapkan bahwa pajak terutang terjadi di tempat tinggal atau tempat kedudukan; tempat kegiatan usaha dilakukan; tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak; tempat BKP dimasukkan, dalam hal impor; tempat tinggal, tempat kedudukan atau tempat kegiatan usaha, dalam hal pemanfaatan BKP Tidak Berwujud atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; atau Satu atau lebih tempat yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak atas permohonan tertulis dari PKP.

Saat penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) yaitu sebagai berikut:

1. Barang Kena Pajak (BKP) yang berwujud menurut sifat atau hukumnya berupa barang bergerak, terjadi pada saat antara lain:

a. Barang Kena Pajak (BKP) yang berwujud tersebut diserahkan secara langsung kepada pembeli, atau pihak ketiga untuk dan atas nama pembeli;

b. Barang Kena Pajak (BKP) yang berwujud tersebut diserahkan secara langsung kepada penerima barang, untuk pemberian cuma-cuma, pemakaian sendiri dan penyerahan dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan antar cabang;

c. Barang Kena Pajak (BKP) yang berwujud tersebut diserahkan kepada juru kirim/pengusaha jasa angkutan; atau

d. Harga atas penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) tersebut diakui sebagai piutang atau penghasilan/pada saat diterbitkan faktur penjualan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum dan diterapkan secara konsisten.

2. Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) berwujud yang menurut sifat atau hukumnya berupa barang yang tidak bergerak, terjadi pada saat penyerahan hak untuk menggunakan atau menguasai BKP berwujud tersebut, secara hukum/secara nyata, kepada pihak pembeli.

3. Saat terutang penyerahan BKP tidak berwujud, terjadi pada saat:

a. Harga atas penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) tidak berwujud diakui sebagai piutang/penghasilan/pada saat diterbitkan faktur penjualan oleh PKP, sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum dan diterapkan secara konsisten; atau

b. Kontrak atau perjanjian ditandatangani, atau saat mulai tersedianya fasilitas atau  kemudahan cukai secara nyata, sebagian atau seluruhnya, dalam hal saat bagaimana dimaksud pada huruf a tidak diketahui.

4. Saat terutang BKP berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan terjadi adalah pada saat terjadi lebih dahulu di antara saat:

a. Telah Ditandatanganinya dokumen akta pembubaran oleh Notaris;

b. Telah Berakhirnya jangka waktu berdirinya perusahaan yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar;

c. Pada Tanggal penetapan Pengadilan yang telah menyatakan perusahaan dibubarkan; atau

d. Telah Diketahuinya bahwa perusahaan tersebut nyata-nyata sudah tidak melakukan kegiatan usaha/sudah dibubarkan, berdasarkan hasil pemeriksaaan/berdasarkan data atau dokumen yang ada.

5. Pengalihan Barang Kena Pajak (BKP) dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan serta pengambilalihan usaha yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 1A ayat (2) huruf d UU PPN / perubahan bentuk usaha, terjadi pada saat:

a. Disepakati/ditetapkannya penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha/perubahan bentuk usaha sesuai hasil Rapat Umum Pemegang Saham yang tertuang pada perjanjian penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha/perubahan bentuk usaha; atau

b. Ditandatanganinya akta yang mengenai penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan/pengambilalihan usaha/perubahan bentuk usaha oleh notaris.

Penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) terjadi pada saat:

1. Harga atas penyerahan Jasa Kena Pajak diakui sebagai piutang/penghasilan/pada saat diterbitkan faktur penjualan dari PKP, sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum serta diterapkan secara konsisten;

2. Kontrak/perjanjian ditandatangani, dalam hal saat sesuai huruf a tidak diketahui; atau

3. Mulai tersedianya fasilitas/kemudahan untuk dipakai secara nyata, baik sebagian atau seluruhnya, dalam hal pemberian cuma-cuma/pemakaian sendiri JKP.

Pengusaha Kena Pajak (PKP) setiap bulannya melakukan pelaporan pertanggungjawaban pelaksanaan mekanisme PPN dengan menggunakan SPT PPN. Perhitungan kurang atau lebih bayar dilakukan dengan "menandingkan" Pajak Masukan (PK) dengan Pajak Keluaran (PM). Pajak Masukan merupakan PPN yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) karena adanya perolehan Barang Kena Pajak (BKP), penerimaan Jasa Kena Pajak (JKP), pemanfaatan Barang Kena Pajak (BKP) Tidak Berwujud dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar Daerah Pabean, dan impor Barang Kena Pajak (BKP). Sedangkan Pajak Keluaran merupakan PPN terutang yang wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP), penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP), ekspor Barang Kena Pajak (BKP) Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak (BKP) Tidak Berwujud, dan/atau ekspor Jasa Kena Pajak (JKP).

Pajak Masukan berhubungan dengan aliran uang keluar atau cash outflow, sedangkan Pajak Keluaran berhubungan dengan aliran uang masuk atau cash inflow. Pajak Masukan merupakan uang muka pajak, sedangkan Pajak Keluaran merupakan utang pajak. Saldo keduanya akan saling di offset dalam SPT Masa PPN, setelah masa pajak berakhir, dan akan menghasilkan tiga kemungkinan yaitu:

1. Kemungkinan pertama yaitu dapat menghasilkan kekurangan pembayaran pajak, jika jumlah Pajak Keluaran/cash inflow melebihi jumlah Pajak Masukan/cash outflow;

2. Kemungkinan kedua yaitu dapat menghasilkan kelebihan pembayaran pajak jika jumlah Pajak Masukan/cash outlow melebihi jumlah Pajak Keluaran/cash inflow;

3. Kemungkinan ketiga yaitu dapat menghasilkan jumlah nihil jika jumlah Pajak Keluaran/cash inflow sama dengan jumlah Pajak Masukan/cash outflow.

Pemahaman tentang cash inflow pada Pajak Keluaran serta cash outflow pada Pajak Masukan ini menjelaskan bahwa mengapa pada transaksi penyerahan Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan Instansi Pemerintah serta ekspor akan menimbulkan kelebihan bayar PPN. Pajak Keluaran untuk transaksi tersebut tidak menimbulkan uang masuk (cash inflow) yang dapat ditandingkan dengan Pajak Msukan yang telah menimbulkan aliran uang keluar (cash outflow). Sedangkan, pada transaksi tertentu yang tidak pernah menimbulkan Pajak Keluaran maka tidak menimbulkan aliran uang masuk atau zero cash inflow, serta Pajak Masukannya juga tidak dapat dikreditkan, yaitu:

1. Transaksi penyerahan bukan Barang Kena Pajak (BKP) atau bukan Jasa Kena Pajak (JKP) yang tidak terutang PPN;

2. Transaksi penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang mendapat fasilitas di bidang PPN, seperti penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang mendapat fasilitas PPN dibebaskan. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari kelebihan bayar Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Berikut ini merupakan beberapa hal terkait prinsip dasar pengkreditan Pajak Masukan:

a. Pajak Masukan dikreditkan dengan Pajak Keluaran yang dipungut dalam Masa Pajak yang sama

Pada dasarnya Pajak Masukan yang tercantum dalam Faktur Pajak yang dibuat dalam suatu masa pajak tidak dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran yang dikenakan berdasarkan Faktur Pajak yang dibuat dalam masa pajak lain. Namun demikian, karena UU PPN menganut stelsel akrual, terbuka kemungkinan melakukan pengreditan Pajak Masukan dalam masa pajak yang tidak sama sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (9) UU PPN, yaitu Pajak Masukan yang belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran dalam masa pajak yang sama dapat dikreditkan sampai dengan paling lambat dalam bulan ketiga setelah berakhirnya masa pajak yang bersangkutan sepanjang memenuhi syarat:

- Pajak Masukan itu belum dibebankan sebagai biaya; dan

- Belum dilakukan pemeriksaan.

b. Pajak Masukan dapat dikreditkan apabila memenuhi 2 (dua) syarat:

- Syarat Formal, yaitu tercantum dalam Faktur Pajak yang tidak cacat dan belum melampaui batas waktu yang ditetapkan;

- Syarat Material, yaitu Pajak Masukan yang dibayarkan atas pembelian Barang Kena Pajak (BKP) atau perolehan Jasa Kena Pajak (JKP) yang berhubungan langsung dengan kegiatan usaha. Kegiatan usaha yang dimaksud adalah kegiatan yang berhubungan langsung dengan produksi, distribusi, pemasaran dan manajemen.

c. Kriteria Pajak Masukan yang Tidak Dapat Dikreditkan

Berdasarkan Pasal 9 ayat (8) UU PPN, Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan bagi pengeluaran untuk:

- Perolehan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai PKP;

- Perolehan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha;

- Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor sedan dan station wagon, kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan;

- Pemanfaatan Barang Kena Pajak (BKP) Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar Daerah Pabean sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP);

- Perolehan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang Pajak Masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak;

- Perolehan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya tidak dilaporkan dalam SPT PPN, yang ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan.

Faktur Pajak

Faktur Pajak merupakan bukti pungutan pajak yang dibuat oleh PKP atas penyerahan BKP dan/atau JKP. Faktur Pajak ini merupakan ciri utama pengenaan PPN. Bukti adanya Pajak Keluaran adalah Faktur pajak dan bukti adanya Pajak Masukan juga Faktur Pajak. Pengkreditan Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran yang terjadi setiap akhir masa pajak dalam SPT Masa PPN, pada hakikatnya merupakan kegiatan menandingkan antar Faktur Pajak yaitu Faktur Pajak Keluaran dan Faktur Pajak Masukan. Saat pembuatan Faktur Pajak adalah:

- Pada saat ketika penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP);

- Pada saat ketika penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP);

- Pada saat ketika penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan; atau

- Pada saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang menghasilan Barang Kena Pajak (BKP) yang atas penyerahannya termasuk dalam penyerahan yang tidak terutang pajak dan mengolah dan/atau memanfaatkan lebih lanjut Barang Kena Pajak (BKP) tersebut, baik melalui unit pengolahan sendiri maupun melalui titip olah dengan menggunakan fasilitas pengolahan Pengusaha Kena Pajak (PKP) sehingga menjadi Barang Kena Pajak (BKP) yang atas seluruh penyerahannya termasuk dalam penyerahan yang terutang pajak, seluruh Pajak masukan yang sudah dibayar dapat dikreditkan sesuai peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tersebut adalah PPN yang seharusnya sudah dibayar oleh PKP, yaitu PPN atas perolehan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP), serta pemanfaatan Barang Kena Pajak (BKP) Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, sejak tanggal 1 Januari 2014.

Menjalankan sebuah proses bisnis usaha, dapat dipastikan membutuhkan aktiva dalam rangka menjalankan kegiatan bisnis dalam operasional perusahaan. Pada saat perusahaan membeli sebuah aktiva, pada umumnya perusahaan juga akan mendapat pajak masukan pada saat proses pembelian aktiva tersebut. Pajak masukan itu dapat dikreditkan dengan pajak keluaran pada SPT PPN, yang pada akhir bulan akan menghasilkan jumlah pajak yang harus dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP). Umumnya nominal Pajak Masukan yang diterima dari perolehan barang dapat dikreditkan seluruhnya, tetapi untuk pengusaha tertentu maka pajak masukan tidak dapat dikreditkan seluruhnya. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha atas penyerahannya sebagian terutang pajak serta sebagian lainnya tidak terutang pajak, sedangkan Pajak masukan Penyerahan yang Terutang Pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan Penyerahan yang Terutang Pajak dihitung dengan menggunakan pedoman penghitungan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan. Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tersebut merupakan dari hasil penghitungan kembali serta diperhitungkan dengan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan pada suatu Masa Pajak yaitu paling lama pada bulan ketiga setelah berakhirnya pada tahun buku.

Sebagai contoh kasus berikut ini:

PT. A dalam suatu masa pajak terdapat pajak masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran. kelebihan Pajak masukan tersebut tidak dapat diminta kembali oleh PT. A kepada DJP pada Masa Pajak yang bersangkutan, tetapi dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya. Berikut gambaran perhitungannya:

Masa Pajak Juni 2020

Pajak Keluaran= Rp3.000.500,00

Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sebesar Rp 5.000.000,00

Maka Pajak lebih bayarnya= Rp 2.000.500,00

Sehingga pajak yang lebih dibayar oleh PT. A tersebut dapat dikompensasikan ke Masa Pajak Juli 2020.

Masa Pajak Juli 2020

Pajak Keluaran= Rp4.000.500,00

Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sebesar Rp 3.000.000,00

Pajak yang kurang dibayar = Rp1.000.500,00

Pajak yang lebih dibayar dari Masa Pajak Juni 2020 yang dikompensasikan ke Masa Pajak Juli 2020 = Rp2.000.500,00

Pajak yang lebih dibayar Masa Pajak Juli 2020= Rp1.000.000,00

Maka yang lebih dibayar tersebut dikompensasikan ke Masa Pajak Agustus 2020.

Apabila terdapat kelebihan dari Pajak Masukan yang berada dalam suatu Masa Pajak sesuai dengan ketentuan pada ayat (4) UU 42 Tahun 2009, maka dikompensasikan pada Masa Pajak berikutnya. Tetapi, apabila terdapat kelebihan Pajak Masukan terjadi pada Masa Pajak akhir tahun buku, maka kelebihan Pajak Masukan tersebut dapat diajukan permohonan pengembalian (restitusi). Termasuk dalam pengertian akhir tahun buku pada ketentuan tersebut dimana Masa Pajak saat Wajib Pajak melakukan pengakhiran usaha (bubar).

Pembayarn PPN dapat dilakukan dengan cara menitipkan uang pajak ekpada pihak penjual (pihak yang menyerahkan BKP dan atau JKP) yang telah bersatus sebagai PKP atau dengan cara membayarkannya secara langsung ke Kas Negara, berikut ini penjelasan mengenai mekanisme pembayaran pajak:

1. Pembayaran PPN dengan cara Menitipkan ke Pihak Penjual

Pembayaran PPN dengan cara menitipkan uang pembayarannya kepada pihak penjual, yaitu pihak yang menyerahkan BKP dan atau JKP telah berstatus sebagai Pengusaha Kena Pajak, dilakukan dalam hal terjadi konsumsi BKP dan atau JKP oleh siapapun dari pihak penjual atau pihak yang menyerahkan BKP dan atau JKP tersebut. Cara tersebut merupakan salah satu cara yang paling umum dilakukan dan dikenal dengan mekanisme umum. Dengan mekanisme tersebut, pihak penjual atau pihak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak tersebut mendapatkan aliran uang masuk atau cash inflow berupa Pajak Pertambahan Nilai - Pajak Keluaran. Pajak Keluaran yang telah diterima dan merupakan cash inflow tersebut, akan disetorkan atau tidak disetorkan kepada negara, tergantung kepada hasil penandingan antara Pajak Keluaran tersebut dengan Pajak Masukan atau cash outlow nya.

2. Pembayaran PPN yang secara Langsung ke Negara

Mekanisme pembayaran PPN dengan cara membayarakan secara langsung kepada negara dilakukan:

a. Dalam hal Pengusaha Kena Pajak menyerahkan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak kepada Lembaga atau Instansi Pemerintah serta Instansi Pemerintah tersebut tidak menitipkan uang pembayaran PPN kepada pihak penjual tetapi langsung menyetorkannya ke negara;

b. Dalam hal terjadi impor BKP, dimana pihak yang melakukan impor akan membayar PPN secara langsung kepada negara sebagai bagian dari persyaratan untuk menebus BKP yang diimpor;

c. Dalam hal terjadi pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean dimana pihak yang memanfaatkan JKP akan menyetor sendiri PPN yang terutang dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) yang berfungsi sebagai Faktur Pajak;

d. Dalam hal terjadi pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, dimana pihak yang memanfaatkan BKP tidak berwujud tersebut akan menyetor sendiri PPN yang terutang dengan menggunakan Surat Setoran Pajak yang berfungsi sebagai Faktur Pajak;

e. Dalam hal terjadi kegiatan membangun yang dilakukan sendiri, apabila persyaratan-persyaratan dipenuhi;

f. Dalam hal SPT Masa PPN berstatus kurang bayar yang disebabkan oleh jumlah Pajak Keluaran yang lebih besar dibandingkan dnengan jumlah Pajak Masukan, dimana batas paling lambat untuk menyetorkan selisihnya (Pajak Keluaran versus Pajak Masukan) adalah akhir bulan berikutnya sebelum SPT disampaikan. Terdapat PKP tertentu yang Dasar Pengenaan Pajaknya menggunakan Nilai Lain, artinya jumlah Pajak Masukannya dianggap (deemed) selalu lebih kecil dibandingkan dengan jumlah Pajak Keluarannya, sehingga SPT Masa PPN-nya selalu bertatus kurang bayar.

Berikut ini contoh penghitungan kembali Pajak Masukan:

- Pengusaha Kena Pajak A adalah perusahaan yang bergerak di bidang industri pembuatan tas.

- Pada bulan Januari 2015, Pengusaha Kena Pajak A tersebut membeli generator listrik yang akan digunakan untuk seluruhnya pada kegiatan pabrik dengan nilai perolehan sebesar Rp1.000.000.000,00 dengan Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp100.000.000,00

- Pajak Masukan atas perolehan generator listrik sebesar Rp100.000.000,00 yang secara keseluruhan dikreditkan pada Masa Pajak Januari 2015.

- Masa manfaat generator listrik tersebut sebenarnya adalah 5 (lima) tahun, tetapi untuk penghitungan kembali Pajak Masukan ini, masa manfaat generator listrik tersebut ditetapkan 4 (empat) tahun, sehingga alokasi pengkreditan Pajak Masukan untuk setiap tahunnya adalah sebesar Rp100.000.000,00 : 4 = Rp25.000.000,00

- Selama tahun 2015 ternyata generator listrik tersebut digunakan:

a. Untuk bulan Januari-Juni 2015:

- 10% untuk perumahan karyawan dan direksi;

- 90% untuk kegiatan pabrik; dan

b. Untuk bulan Juli-Desember 2015:

-20% untuk perumahan karyawan dan direksi;

- 80% untuk kegiatan pabrik.

Berdasarkan data tersebut, rata-rata penggunaan generator listrik untuk kegiatan pabrik adalah (90%+80%) : 2 = 85%

- Penghitungan kembali Pajak Masukan yang dapat dikreditkan untuk tahun buku 2015 dapat dilakukan paling lambat pada Masa Pajak Maret 2016. Pengusaha Kena Pajak A melakukan penghitungan kembali Pajak Masukan pada Masa Pajak Februari 2016. Pajak Masukan yang dapat dikreditkan untuk tahun buku 2015 seharusnya sebesar 85% x (Rp100.000.000,00 : 4) = Rp21.250.000,00

- Pajak Masukan yang harus diperhitungkan kembali dengan mengurangi Pajak Masukan untuk Masa Pajak Februari 2016 adalah sebesar Rp25.000.000,00 - Rp21.250.000,00 = Rp3.750.000,00

- Penghitungan kembali Pajak Masukan seperti perhitungan diatas dilakukan sampai dengan masa manfaat generator listrik tersebut berakhir.

ilustrasi Cara Restitusi PPN (DokPri)
ilustrasi Cara Restitusi PPN (DokPri)
Pada praktiknya memungkinkan terdapat Wajib Pajak yang mengalami kelebihan pembayaran pajak PPN. Kelebihan pembayaran pajak adalah kelebihan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran dalam suatu Masa Pajak tertentu; atau Kelebihan Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak tertentu yang telah dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak (BKP). Mekanisme Restitusi yaitu permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Masukan (restitusi) harus dilakukan pada setiap akhir tahun buku, kecuali untuk beberapa Pengusaha Kena Pajak (PKP) dibawah ini diperkenankan untuk mengajukan restitusi pada setiap Masa Pajak:
a. Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak (BKP);

b. Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) kepada Pemungut PPN;

c. Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) yang PPN-nya tidak dipungut;

d. Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak (BKP) Tidak Berwujud;

e. Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan ekspor Jasa Kena Pajak (JKP); dan/atau

f. Pengusaha Kena Pajak (PKP) dalam tahap belum berproduksi.

Permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dapat disampaikan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) melalui:

1. Surat Pemberitahuan (SPT) PPN yang mencantumkan tanda permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dengan cara mengisi kolom "Dikembalikan (restitusi)" atau

2. Surat permohonan yang terpisah apabila kolom "Dikembalikan (restitusi)" pada SPT PPN tidak diisi/tidak mencantumkan tanda permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak.

Bukti-bukti atau dokumen-dokumen yang harus disampaikan dalam rangka permohonan pengembalian, antara lain sebagai berikut:

1. Dalam hal penyerahan atau perolehan atau penerimaan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak serta pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau Barang Kena Pajak tidak berwujud yang berasal dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean adalah Faktur Pajak Keluaran dan Faktur Pajak Masukan yang berkaitan dengan kelebihan pembayaran pajak yang dimintakan pengembalian.

2. Dalam hal impor Barang Kena Pajak (BKP), yaitu:

a. Dokumen berupa Pemberitahuan Impor Barang (PIB) serta Surat Setoran Pajak (SSP)/bukti pungutan pajak oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang merupakan satu kesatuan tidak terpisahkan dengan PIB tersebut;

b. Laporan Pemeriksaan Surveyor (LPS), sepanjang termasuk dalam kategori wajib LPS;

c. Surat kuasa kepada/dokumen lain yang berasal dari Perusahaan Pengurusan Jasa Kepabeanan atau PPJK bagi pengurusan barang impor, dalam hal pengurusan dikuasakan kepada PPJK.

3. Dalam hal ekspor BKP, yaitu:

a. Dokumen berupa Pemberitahuan Ekspor Barang atau PEB yang telah diberikan persetujuan ekspor oleh pejabat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang berwenang serta dilampiri dengan faktur penjualan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan PEB tersebut.

b. Instruksi pengangkutan melalui darat, udara atau laut), maka B/L harus dilampiri dengan fotokopi B/L yang telah dilegalisasi oleh pihak yang menerbitkannya) dan packing list;

c. Dokumen berupa fotokopi wesel ekspor/dokumen bukti penerimaan uang lainnya dari bank, yang telah dilegalisasi oleh pihak bank yang bersangkutan atau fotokopi L/C yang telah dilegalisasi oleh bank koresponden, dalam hal ekspor menggunakan L/C;

d. Asli atau fotokopi yang telah dilegalisasi polis asuransi BKP yang diekspor, dalam hal BKP yang diekspor diasuransikan; dan

e. Sertifikasi yang berasal dari instansi tertentu seperti Departemen Perindustrian, Departemen Perdagangan, Pertanian, Kehutanan/badan lain seperti kedutaan besar negara tujuan, sepanjang diwajibkan adanya sertifikasi.

4. Dalam hal penyerahan BKP dan atau JKP kepada Pemungut PPN, yaitu:

a. Kontrak atau Surat Perintah Kerja (SPK) atau surat pesanan atau dokumen sejenis lainnya; dan

b. Surat Setoran Pajak.

5. Dalam hal permohonan atas pengembalian yang diajukan terdiri dari kelebihan pembayaran pajak akibat kompensasi dari Masa Pajak sebelumnya, maka untuk bukti-bukti/dokumen-dokumen yang disampaikan meliputi seluruh bukti-bukti atau dokumen-dokumen yang berkenaan dengan kelebihan pembayaran pajak Masa Pajak yang bersangkutan.

Bukti-bukti atau dokumen-dokumen tersebut dapat disampaikan secara lengkap bersamaan dengan penyampaian permohonan pengembalian, atau disusulkan setelah disampaikannya permohonan pengembalian. Dalam hal bukti-bukti atau dokumen-dokumen disusulkan, maka:

a. PKP harus melengkapi seluruh bukti-bukti atau dokumen-dokumen tersebut paling lambat 1 (satu) bulan sejak saat diterimanya permohonan.

b. Kepala KPP dapat menerbitkan Surat permintaan bukti atau dokumen kepada PKP dan bukti-bukti atau dokumen yang disusulkan tetap harus dilengkapi seluruhnya yaitu dengan waktu paling lambat 1 (satu) bulan sejak saat diterimanya permohonan. Apabila samapai dengan jangka waktu tersebut berakhir, PKP tidak melengkapi seluruh bukti-bukti atau dokumen-dokumen yang dipersyaratkan dalam permohonan pengembalian, maka permohonan pengembalian tetap diproses sesuai dengan data yang ada atau diterima dan Kepala KPP harus menerbitkan surat pemberitahuan kepada PKP, paling lambat pada saat penyampaian pemberitahuan hasil pemeriksaan. Dalam hal bukti-bukti atau dokumen-dokumen disusulkan setelah jangka waktu tersebut berakhir, maka bukti-bukti atau dokumen-dokumen tersebut merupakan informasi dan data yang tidak diperhitungkan saat pemeriksaan, saat keberatan, ataupun pada saat banding.

Saat diterimanya permohonan secara lengkap adalah:

1. Saat dimana permohonan pengembalian telah dilengkapi dengan seluruh bukti-bukti atau dokumen-dokumen yang harus disampaikan PKP dalam rangka permohonan pengembalian;

2. Saat berakhirnya jangka waktu 1 (satu) bulan sejak saat permohonan diterima dalam hal bukti-bukti atau dokumen-dokumen disusulkan.

Dalam hal permohonan pengembalian diajukan oleh PKP Kriteria Tertentu, bukti-bukti atau dokumen-dokumen di atas tidak wajib disampaikan. Akan tetapi dalam hal terdapat kompensasi kelebihan pembayaran pajak dari Masa-masa pajak sebelum PKP ditetapkan sebagai PKP Kriteria Tertentu dilakukan pemeriksaan, maka PKP Kriteria Tertentu tetap wajib melengkapi bukti-bukti atau dokumen-dokumen tersebut.

Berdasarkan UU KUP, setelah melakukanPemeriksaan atas Permohonan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak selain yang diajukan oleh PKP dengan kriteria tertentu, Direktorat Jenderal Pajak harus menerbitkan Surat Ketetapan dalam waktu paling lambat 12 bulan sejak surat permohonan diterima (dalam keadaan lengkap), kecuali untuk kegiatan tertentu, ditetapkan lain dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.

Daftar Pustaka:

UU PPN

UU KUP Nomor 6 tahun 1963

UU KUP Nomor 16 tahun 2009

PMK 563/2003

PMK 70/2010

PMK 197/2014

PMK 147/2017

PMK 71/2022

Buku Pemeriksaan, Investigasi dan Penyidikan Pajak (Prof. Gunadi, 2020)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun