"Pertanyaannya, apa nanti nggak masalah dengan politik Bung Karno?" Â tanya Syafri.
"Seperti kau bilang politik tidak bisa ditebak. Kalau ada polisi ganti saja lagunya dengan selera Bung Karno."
Mereka tertawa.
Jakarta, Perpustakaan Nasional, Â Senin 5 Januari 2015
Aku kembali mengisi waktu senggangku ke Perpustakaan Nasional, seperti biasanya di Lantai Tujuh tempat koran lama. Aku bertemu Ramdhani (Sejarah UI 2011) sedang skripsi tentang sejarah korupsi, Â dua mahasiswa sejarah Upad. Â Salah seorang di antara mereka menulis soal PUDI terkait 1998. Partainya Sri Bintang Pamungkas
"Menurut saya gerakan mahasiswa dan peristiwa reformasi  1998 di Bandung itu unik, ketika Jakarta dan Solo rusuh, Bandung justru relatif aman. Padahal ada sentiment anti China  tercatat dalam sejarah 10 Mei 1963 dan 5 Agustus 1973, tetapi orang China di Bandung tidak diganggu," ujar saya.
"Ah, itu uniknya. Pada 1965 Jabar tidak terlalu berdarah. Tokoh PKI di Jabar melepas jabatannya dnegan cepat setelah peristiwa Gestapu," sela seorang mahasiswa sejarah Unpad.
Tiba-tiba saya ingat catatan diberikan Gendhis tentang perempuan bernama Widy. Â Sebagian besar potongan terakhir ditulis 1963, 1966, 1967. Belum saya baca.
"Para menak yang tadinya banyak di PNI pindah ke Golkar," kata mahasiswa itu lagi.
Saya saat ini sedang menyiapkan  Majalah Plesir edisi ketiga soal Semarang. Riset habis-habisan soal dunia menyelam dan kawan saya Widya Yustina menggarap  kota tua Semarang.
Setelah selesai meriset Bandung 1957-1958, saya turun untuk makan siang di Gang Kecil dekat perpustakaan Nasional untuk makan sate ayam. Â Saya membawa catatan terakhir tentang Widy waktu 1958 sebelum melompat ke tahun 1960-an. Menurut Gendhis salah satu tokohnya mungkin terkait aku.