"Ya, dua tahun lalu. Dia jadi warga negara Indonesia. Suaminya orang Sosialis. Sophia otaknya juga sama sejak masih kuliah. Merea masuk PSI. Aku setuju saja ada Belanda yang bisa membaur."
"Seperti si Poncke?"
"Desertir militer itu? Dia sih tidak bakal diterima di Belanda.Dia malah ikut politik di sini."
Obrolan hangat. Â Lima sahabat itu menyantap hidangan laut menyimak keluh kesah orang Belanda.
"Satu lagi peninggalan Hein untuk kita Gramophone dan piringan hitam! Teruskan dansanya kawan, anggaplah aku ada!" Angga memberikan sepucuk surat dari Hein kepadanya baru boleh dibuka ketika dia sudah berangkat. Dia membuka percakapan.
"Di mana Kang Angga simpan?" tanya Widy.
"Subuh-subuh sudah di rumah diantarkan dua orang, kita mau taruh di mana? Rumah Hein sudah ada pemiliknya?'
"Taruh di situ dulu. Nanti kita pikirkan buat apa? Mungkin buat usaha patungan rumah makan campuran," celetuk Yoga.
"Aaah, kau cerdas," kata Angga. "Kau yang kelola, aku yang modalin ya?:
"Siap!" kata Yoga. "Pamanku ada tempat di kawasan Dipati Ukur."
"Bagus sekali, nanti Kampus Unpad di tempat itu."