"Politik tidak bisa ditebak. Â Ingat nggak Om Sofyan buru-buru pulang?" kata Syafri.
"Sumatera dan Minahasa jadi satu kubu. Kita di ambang Perang Saudara kawan," sahut Angga lirih.
"Apa iya Komunis begitu menakutkan?" tanya Yoga.
"Cerita Pemberontakan Madiun bukti kuat, belum lagi cerita soal perang Saudara di Tiongkok," jawab Syafri. "Dua-duanya perang saudara."
Mereka makan sebentar di rumah makan dekat Tanjung Priuk. Â Di situ ada surat kabar Desember 1957 di mana PBB mengatakan Irian Barat tetap di bawah kekuasaan Belanda. Hal yang memicu kemarahan Bung Karno.
Di sekitar Tanjung Priuk ribuan orang Belanda sedang menunggu giliran naik kapal. Â Widy, Syafri dan para sahabatnya menyaksikan dengan sedih. Anak-anak Belanda berlarian untuk terakhir kalinya. Bahkan ada nenek yang harus digendong kapal. Â Bukan saja orang Belanda, tetapi juga ada orang Indonesia pro Belanda.
Di dekat meja ada beberapa orang Belanda menggerutu. "Itu Ratu tidak memikirkan kita nanti mau apa di Belanda. Ini tempat kita dan aku tidak pernah ke Belanda. Â Tidak ada kerabatku di sana Rene!"
Dia masih muda. Kawannya juga. "Untuk apa Irian itu  bagi petinggi-petinggi di Netherland. Kita sudah baik-baik dengan orang Indonesia. Mereka ramah."
"Ada kawanku yang pulang dengan baju melekat di badan,"
Mereka mendengar dengan seksama dengan wajah murung. Â Masih ada orang Belanda yang berkeliaran di hutan Priangan. Sayangnya malah membuat runyam suasana.
"Sepupumu Sophia kawin dengan orang Padang itu?"