"Dia distrap oleh Abah tuuh! Tapi Bang Daus yang menyelamatkannya dengan mengajaknya makan martabak!"
Ruang keluarga sudah kosong hanya tinggal satu meja dengan gramophone dan piringan hitam.  Malam itu Geng Bandung Hebat merayakan dansa mereka yang terakhir bersama memutar semua lagu-lagu  yang pernah mengiringi mereka sejak Geng itu terbentuk pada 1955.
Widy berpasangan dengan Syafri, Angga dengan Utari, Yoga dengan Paramitha, Willy dengan Suzzane dari dana rock and roll Billy Halley and His Commets, Â lagu Elvis Presley, lagu Twist hingga lagu dansa klasik.
Berapa orang Belanda sebaya Hein yang masih di Bandung dan teman-teman SMA Widy juga ikut hadir main terompet, trombone, hingga gitar.
Di luar Herlanda dan Daus menunggu takut reaksi orang-orang yang lagi anti Belanda kebablasan. Â Tentu saja Kinan ikut dan sekali-sekali nyelenong masuk seenaknya mengambil Syafri dan Widy.
"Nggak apa Widy, dia seperti kamu dulu!" teriak Herlanda dia luar.
"Iya! Iya!" Widy pasrah.
Malam itu mereka semua  merayakan farewell party di Dago Thee Huis. Beberapa polisi berjaga. Namun Daus menyanggupi sendiri di areal bersama Kinan mojok berdua. Posisinya juga berjauhan.
"Dulu dia punya teman anak perempuan kecil, anak uleebalang, tetangganya seringa main dengan dia,  tetapi anak itu  hilang waktu perang Cumbok.  Sejak itu  dia kembali ke kampungnya di Sumatera Barat. Padahal dia banyak bantu waktu Fujiawara Kikan," jelas Syafri.
Widy menunjuk luger  di bangku sebelahnya yang ditutupi dengan kain. Mata Daus sekali-sekali melihat ke arah jalan maupun ke bukit.
"Mudah-mudahan kita bertemu lagi dengan keadaan lebih damai!" teriak keenam sahabat itu, diikuti oleh teman-temannya.