Taruhlah misalnya, "Aku berkesan dengan ucapan seorang bapak yang ada di sana "kalau di sini tidak ada pembeda-bedaan, mana yang Muslim, Katolik, Hindu, Konghucu, dan sebagainya. Kami di sini menganggap semuanya sama." "Tak jarang kita menganggap diri kita berbeda.Â
Memang tak ada yang menyalahkan jika kita menganggap diri kita berbeda." Mungkin disebut dalam diskursus filosofis berhubungan dengan diskursus lainnya menandai "yang Sama dalam yang Berbeda." Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulum Al-Din. "Nabi berkata: Aku hanya manusia. Aku marah saat yang lain marah." "Hal lain untuk yang lain. Aku tidak mendapatkan masa lalu, Aku juga tidak bisa mengharapkannya untuk mendapatkan masa depan. Aku tidak akan pernah mendapat apa yang tidak diperintahkan untukku. Apa yang ditetapkan untukku semestinya mendatangiku. Aku tidak tahu dimana dua hal hidupku ini akan berakhir." Untuk mengatasi status subyek berubah menjadi obyek, dari situlah pluralitas makna mengambil arah memutar kembali ke permulaan. Kita bisa mengambil bentuk perbandingan.
Misalnya, kata-kata atau kalimat sakti Al-Hallaj: Ana Al-Haq, "Aku adalah Kebenaran" (I am the Absolute Truth). Diskursus profetis dan esoteris bukan hanya tidak dicirikan obyek-obyek khusus, tetapi juga oleh cara pembentukan lain dari obyek-obyek yang berbeda setelah merampungkan semua yang bercerai-berai.Â
Pembentukan tersebut dimungkinkan oleh kelompok relasi yang terdapat dalam kemunculan perbedaan dan arah memutar balik ke titik tolak. Orang bisa saja menilai kalimat-kalimat tersebut bukanlah ucapan dan teks menjadi pusat perhatian.
Suatu hal mungkin, kita belum sepenuhnya berpikir, ketika kesadaran subyek dalam sebuah sistem Aku-Kami-sang Lain dinina bobokkan secara gegabah dalam wilayah konstekstual. Orang tanpa berhati-hati akan terperangkap kedua kalinya, yaitu ketidakhadiran rangkaian relasi-relasi antara teks dan konteks.
Keduanya dihubungkan dengan pluralitas yang ditafsir dan dibacakan dalam kurun waktu yang telah berubah. Kita mengetahui dan barangkali permasalahan ini telah muncul semenjak umat manusia mulai menggunakan bahasa lisan.Â
Bahwa satu nama acapkali diucapkan pada tempat nama lain, satu kata seringkali bisa memiliki dua makna atau lebih dalam waktu yang bersamaan.
Satu makna atau lebih tentang pluralisme dan pluralitas tidak merubah makna lainnya yang telah 'jelas' dan 'tidak sulit' dipahami oleh orang, yang kemungkinan tersembunyi makna yang bersifat profetik dan esoterik. Mungkin, hanya soal waktulah bagi kita.Â
Saat kita berpikir dan berbicara untuk mengungkap makna lain yang tertanam dan tertuju di luar kata-kata dan benda-benda dalam bentuk plural.
Di balik rangkaian relasi-relasi ucapan dan teks terdapat suatu formulasi yang tampak, ada kemungkinan akan terjadi sesuatu yang mengatur perkembangan dan kemunculan kembali peristiwa.Â
Langkah lain, pemisahan kata demi kata bukanlah permasalahan, melainkan nama-nama atau benda-benda yang telah diberi makna dalam bentuk plural tidak lebih banyak daripada diingat kembali.