Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Pelajaran tentang Pluralitas

10 Januari 2023   12:33 Diperbarui: 13 Juli 2023   09:00 424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pluralitas (SUmber gambar: kompas.com)

Apa yang dimaksud dengan pluralitas? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pluralitas diartikan sebagai kemajemukan.

Umpamanya, seorang sohib tiba-tiba bertanya. "Bung, mengapa diciptakan kemajemukan bangsa Indonesia?"

Pertanyaan tersebut bukan kepo, tetapi rasa ingin tahu. Lebih lazim, bocah-bocah yang banyak bertanya, malah dari gen X. Penekanan pertanyaan dari pria yang sudah berkumis dengan kata "mengapa" begitu khusyuk.

Sebetulnya, sohib itu sudah paham apa yang menjadi gambaran mengenai pluralitas. Tetapi, sepintas pertanyaan tersebut sepeleh, padahal pluralitas alias kemajemukan cukup mendasar.

Umpama lagi, serupa pertanyaan dari bocah-bocah, maka jawabnya apa? Coba nak, pernah lihat orang berambut geriting, berambut cepak atau orang berkulit hitam dan orang bule! 

Seperti suku Aceh, suku Batak, suku Minang, suku Jawa, suku Sunda, suku Dayak, suku Minahasa, suku Mongondow, suku Ampana, suku Toraja, suku Makassar, suku Bugis, suku Tolaki, suku Buton, suku Sasak, suku Abui, suku Atoni, suku Ambon, suku Tidore, suku Asmat, suku Komoro, dan seterusnya. Singkat kata, lebih dari seribu suku bangsa Indonesia. 

Ya, memang berbeda-beda suku bangsa dalam pluralitas, dalam kemajemukan. 

Lebih seribuan suku diharapkan hidup untuk saling mengenal. Nah, begitulah nak! Kita mesti hidup rukun dan saling menghormati satu sama lain. 

Kita diciptakan berbeda-berbeda karena kuasa-Nya. Kita juga berbeda-beda agar saling tolong-menolong dan saling kerja sama dalam menjalani kehidupan.

Coba bayangkan nak! Seandainya kita diciptakan satu suku atau satu warna kulit, misalnya. Dunia ini terasa indah tidak?  Berbeda tetapi satu rasa, berbeda bagai pelangi yang indah.

Semakin banyak warna, semakin menarik. Berbeda pula cara pandangnya dari setiap suku dan budaya. Itulah daya tariknya dari perbedaan. Begitulah cara kita memahami kemajemukan. Oh, begitu pak!

Pluralitas, Diskursus atau Bukan?

Dari contoh kecil itu saja sudah menggambarkan mengenai apa yang perlu dipahami kehidupan yang berbeda. Semakin memahami perbedaan, maka semakin paham mengenai pluralitas di sekitar kita.

Pluralitas merupakan pilihan. Ia dianggap aneh saat diskursus atau penafsiran baru diabaikan. Jika Anda tidak ingin menempatkan pluralitas sebagai taraf diskursus, pada taraf apa dan siapa yang telah mengatakan diskursus kami memasuki wilayah permainan?

Kami telah mengusahakan terbentuknya perbedaan-perbedaan melalui diskursus.

Pluralitas menjadi taraf penanda tertentu. Ia membuka jalan bagi obyek pengetahuan hingga bukan lagi pernyataan sekadarnya.

Siapa yang memasukkan tema-tema pluralitas sebagai celoteh? Kami pun tidak bercuap-cuap tentang relasi apa yang ingin Anda arahkan pada diskursus-diskursus, yang selama ini tidak jelas juntrungnya. Padahal, masih jelas akan berlanjut pada taraf diskursus lainnya.

Permasalahan pertama kali atas penggunaan pluralitas sebelum yang lainnya muncul sebagai perbincangan adalah perbedaan-perbedaan dan sekelompok tanda-tanda yang dibentangkan oleh diskursus.

Suatu pertanyaan yang membuat kami tidak tergesa-gesa untuk mengatakan setelah sebagian mereka menaruh curiga tentangnya.

Sebaliknya, bagi mereka yang masih menyenangi diskursus-diskursus, maka kami tidak ingin mengumbar-umbar diskursus yang menopang tema-tema pluralitas.

Paling penting, sejauh mana Anda amati langsung atas individu yang tidak memiliki alasan untuk berbicara sebuah konsep mengenai perbedaan? 

Bagaimana Anda investigasi terhadap bentuk penampakan pluralitas terjadi melalui peristiwa diskursif atau masa tertentu?

Seseorang mungkin menghaturkan suka cita, jika pluralitas bukan hanya diskursus, tetapi juga dalam praktik keseharian. Sementara itu, pihak lain mempermasalahkan konsep antara pluralitas san pluralisme. Kita tidak pungkiri kenyataan, bahwa diskursus begitu rawan memperbincangkan sesuatu sebelum pluralitas itu dipraktikkan menjadi ruang pengetahuan.

Sejauh peristiwa telah diperbincangkan secara gamblang, diskursus mencoba untuk membuka wilayah yang lebih luas. Saat keriuhan perbedaan antara pluralitas dan pluralisme, tidak berarti titik temu dalam ruang bersama.

Keduanya tidak terlepas dari rangkaian-rangkaian penyampaian, kelompok pernyataan, susunan, dan pembentukan obyek. Rangkaian-rangkaian tersebut mungkin bisa dipertimbangkan jejak-jejak ketidakhadirannya pada diskursus lainnya.

Karena itu, penemuan pluralitas obyek tidak memiliki kemiripan dengan yang lainnya, yang menghadirkan pada kita hanya perbedaan yang muatannya semacam perbedaan obyek. Celah kata-kata tidak teridentifikasi secara berulang-ulang.

Ruang penyampaian, kelompok pernyataan dan pembentukan obyek memungkinkan menembus wilayah diskursus. Statusnya tidak diperlukan lagi menjadi pengetahuan melalui diskursus lainnya secara partikuler.

Meskipun nampak semakin menjaga jarak jauh dengan kelompok dan obyek pernyataan, maka setiap pemaksaan kehendak akibat penolakan atas  pluralitas dan pluralisme. Padahal, ia sesuai dengan tanda kehidupan.

Perbedaan-perbedaan tidak lebih sebagai 'pengulangan diskursus' dengan ucapan dan teksnya menjadi jejak-jejak yang plural. Keduanya bukan kontradiksi dan negasi, melainkan pembentukan ulang diskursus.

Jejak-jejak plural menentukan pengulangan ucapan dan perbedaan-perbedaan. Diskursus boleh jadi memghamparkan jejak-jejak baru bagi pluralitas melalui ruang bersama, sekalipun ia dipandang sebelah mata.

Kelompok pernyataan yang berbeda dibentuk dan ditentukan bukan hanya diarahkan untuk mengatasi relasi-relasi yang berfungsi sebagai perbedaan antara ilusi dan pengetahuan, yang saling melibatkan dan menyisihkan penyampaian. Bentuk-bentuk pernyataan muncul di depan mata sesuai kelompok obyek diskursus yang berbeda saat menyeruak kembali  penampakan pluralitas di tengah kehidupan kita.

Analisis atas pernyataan yang berbeda terbentuk tanpa merujuk pada satu obyek diskursus dan memungkinkan benda-benda mendahuluinya. Ia mendeskripsikan pembentukan obyek yang beragam dari sebuah diskursus.

Diskursus bukan hanya menjadikan perbedaan-perbedaan sebagai obyek, tetapi juga penentuan titik tolak pembentukan cahaya yang menyinari perbedaan obyek yang berwarna-warni sebagai sosok-sosok pluralis.

Satu kedipan mata kamera sebuah fotografi untuk melampaui mekanisme permainan tanda atau permainan kata. Diskursus lainnya memungkinkan juga untuk menentukan kemunculan obyek yang terpencar-pencar menjadi pernyataan, yang pembentukannya berada di luar wilayah bahasa keseharian.

Kita tidak sepenuhnya mengerti bagaimana melacak jejak-jejak yang ditinggalkan oleh seseorang. Dari semenjak kecil hingga mencapai usia dewasa, yang setiap kata, huruf dan tanda ditorehkan di atas kertas, bergerak keluar dari dinding-dinding yang kuat atau tembok tebal yang menjemukan hadir sepanjang ingatan manusia diantara permasalahan pluralitas.

Bagaimana tidak betahnya orang-orang, berpikir dan bermain pun terputus dari pencetus kata dan tanda yang dibentuk diskursus.

Apa yang terjadi jika seluruh rangkaian pernyataan menjadi obyek diskursus ternyata tidak hadir di depan mata.

Jika aturan-aturan telah merenggut khayalan mereka dengan kenyataan bahwa diskursus sebagai ruang mereka untuk mengeluarkan pernyataan. Justeru pernyataan diam-diam bukanlah pluralitas dilontarkan saling bertolak belakang dengan gambaran kehidupan.

Tatanan diskursus sesungguhnya penuh kedamaian dan kenikmatan atau kegairahan tersendiri.

Fenomea pluralitas bukanlah kilatan cahaya mengatasi bayangan orang-orang berdiri setelah diambil foto bersamanya dengan latar belakang yang berbeda-beda. Tetapi, seandainya pluralitas dianggap sebagai bagian dari peristiwa diskursif, lalu mengajukan berbagai pertanyaan.

Apakah perbedaan itu harus ditunjukkan sesuatu yang berbeda pula? Bagaimana cara menentukan dan memilah perbedaan terhadap perbedaan lainnya? Pluralitas 5 semacam apa yang bisa ditunjukkan sebagai obyek dirinya sendiri berhadapan dengan identitas, yang wilayah kemunculannya berada dalam perbedaan?

Peristiwa-peritiwa khas apa yang bisa dihadirkan dalam wilayah diskursus? Aturan-aturan dan rangkaian pernyataan bagaimana menjadi penampakan kelompok obyek?

Obyek dari berbagai identitas bukan hanya berdasarkan sudut pandang yang harus menjadi dirinya sendiri, tetapi juga obyek yang dilihat secara berlapis-lapis dalam perbedaan, yang tidak serta merta teridentifikasikan. Sama halnya jika kita mengaitkan penampakan obyek-obyek yang lebih luas menjabarkan kemunculan dirinya pada lapisan obyek yang kecil, lapisan obyek yang kecil bisa dilihat sebagai obyek yang lebih kecil.

Orang tentu bisa saja mengenal obyek yang berbeda-beda dalam wilayah kemunculannya di depan mata. Tatkala rentang waktu tertentu hadir rangkaian pernyataan tentang kegilaan atas pluralitas memasuki ambang batas kemunculan obyek diskursus.

Tiba-tiba berlawanan arah dengan mereka yang mempertajam dan memperkeruh  perbedaan secara ekstrim dari kelompok pernyataan lainnya.

Diskursus bukan dibentuk oleh kespontanan kata-kata sebagai pusat pembicaraan menarik. Sebaliknya, kita tertuju pada bentuk-bentuk penyimpangan pluralitas. Konyolnya, pluralitas yang disalapahami oleh pihak tertentu tidak menerima perbedaan-perbedaannya bisa dianalisis, dideskripsikan, dan dinilai.

Kekaguman atas pluralitas bukanlah sejenis sakit jiwa. Ia dikaitkan dengan obyek diskursus psikiatri. Bisa jadi mereka telah memasuki obyek-obyek diskursus kesejahteraan atau diskursus ekonomi.

Rangkaian tanda-tanda pluralitas yang dilihat sebelah mata memungkinkan berada dalam kelompok relasi yang begitu kompleks antara kata-kata nampak samar-samar dan benda-benda yang kelabu akan melampaui diskursus demi mendapatkan kembali bentuk-bentuk yang muncul secara tidak terduga. Kata-kata yang samar lebih dekat kemiripan obyek-obyek pra diskursus.

Benda-benda yang kelabu dalam dirinya menjadi 'proses penampakan obyek-obyek'. Obrolan kita tentang latar belakang identitas seseorang mengarah pada syarat pembentukan relasi-relasi.

Identitas dan perbedaan seseorang memungkinkan munculnya obyek-obyek diskursus. Tetapi, kita mengenal perbedaan kecil dan besar, yang terbentuk dalam diskursus.

Misalnya, apa yang dikatakan psikiater tentang kegilaan pada kebenaran atau terhadap tanda pluralitas belum mencapai sebuah kesimpulan dari hasil diagnosisnya. Tetapi, tindakan psikiater terhadap seseorang menghasilkan berbagai perbedaan konsep, analisis, dan penilaian tentangnya.

Kadangkala obyek yang muncul sebagai korelasi dari kelompok pernyataan non medis pada periode tertentu tidak identik dengan obyek-obyek kegilaan atas kebenaran tunggal, yang kemunculannya ditemukan dalam wilayah doktrinal pada periode sesudahnya.

Awalnya, setelah kita tidak tertarik untuk membahas orang gila, kita menyebutkan kegilaan dalam pengertian baru, yang penanganannya juga berbeda-beda, dimungkinkan mencoraki kelompok pernyataan. Kita bisa saja mempertanyakan apa hakikat, apa yang diinginkan, kandungan rahasia yang tersembunyi dari kegilaan atas kebenaran, yang bukan sakit jiwa.

Semuanya itu terbuka untuk diarahkan pada obyek diskursus, apalagi dipertajam oleh krisis pluralitas. Bentuk-bentuk kegilaan atas kebenaran tunggal dalam pengertian baru yang bisa juga dilacak jejak dan tandanya, dideskripsikan, dianalis perkembangannya, dan ditemukan hal-hal yang belum disentuh oleh diskursus teoritis sebelumnya.

Kita lebih memilih pembentukan obyek dan pada kelompok pernyataan berlangsung dalam periode yang sedang kita jalani. Mungkin penjelasan umum tentangnya tidak cukup ruang bagi pengetahuan menyangkut penanganan obyek kegilaan.

Jika merujuk hanya pada rangkaian-rangkaian pernyataan deskriptif dan memberi ungkapan-ungkapan dengan mengartikulasikan dalam kata-katanya yang diberikan oleh diskursus neurosains, diskursus kuasa, dan diskursus kemiskinan.

Kita tidak lagi memenuhi syarat-syarat untuk membentuk kelompok-kelompok diskursif dan relasi-relasi yang terdapat dalam pernyataan-pernyataan.

Relasi-relasi yang terbentuk mungkin terdapat peristiwa melalui subyek yang berbicara. Ia dideskripsikan tanpa mengenyampingkan perbedaan antara percakapan dan teks tertulis mengenai 'pluralitas obyek' (sastra, teknik, politik, sosial, ekonomi dengan genre-genre yang memiliki kekhasan).

Percakapan dan teks tertulis yang mengartikulasikan diskursus seperti filsafat, sejarah, agama, dan ilmu pengetahuan eksak) belum selesai dikerjakan sintesa-sintesanya.

Dari kemunculan tanda-tanda pluralitas tanpa beriak, kita tidak menemukan lagi tema-tema pemikiran yang berkembang.

Tanda-tanda yang berbeda melalui pergerakan individu dan kolektif bisa dirampungkan. Pengulangan bisa dirahi, pemulihan konflik, dan kekerasan mengalihkan perhatian kita pada ujung yang ekstrim.

Setiap yang kita bicarakan telah membelok melampaui dirinya sendiri. Pembicaraan umum menantikan kelimpahannya, membawa ruang pembicaraan menuju bentuk plural. Orang paham atas dirinya, berarti mengingat dirinya bukanlah pola tunggal  dalam identitas.

Banyak orang di luar dirinya yang memiliki latarbelakang etnis, bahasa, budaya, agama, dan warna kulit. Memahami pluralitas akan membantu penguraian kekusutan permasalahan kemanusiaan.  

Berkenaan dengan pluralitas, pembentukan obyek diskursus seiring perbedaan dalam dirinya sendiri, yang berlangsung ditengah perbedaan 'di dalam' dan perbedaan 'di luar' individu sebagai obyek yang memiliki relasi timbal-balik dengan subyek. Perbedaan antara kegilaan psikiatris dan kegilaan non psikiatris atau perbedaan kegilaan dan nalar dalam diskursus filosofis dan diskursus ilmiah.

Perbedaan dan penanda kosong ternyata memberi garis pemisah dalam diskursus. Karena  yang muncul berupa 'perbedaan yang tersembunyi dalam kemiripan dan pluralitas menyamarkan dirinya dalam keserupaan, akhirnya menghilang dalam keserbaragaman (multiplisitas)'. Bentuk lain dari kegilaan' itulah 'melampaui diskursus atau teks filosofis'. 

Kegilaan atas kebenaran yang plural dihubungkan dengan non-pluralitas memiliki perbedaan antara 'bentuk lain dari kegilaan' dan kegilaan dari sakit jiwa.8

Sementara, non pluralitas bukanlah unitas dan dualitas, melainkan posisi terakhir dari diskursus. 

Ia ditandai perbedaan alami dirinya sendiri menjadi perbedaan artifisial, perbedaan internal seiring perbedaan eksternal dirinya sendiri.

Pilihan kita pada tatanan lebih memberi alasan bagi orang-orang yang tidak ingin berada dalam ruang kosong, satu sama lain berbicara dalam jalinan yang hanya menentukan jalan yang belum mereka hadapi. Pada titik paling dekat, pertentangan terjadi antara satu sama lainnya, yang renggang, tidak solid. Ia membuat fungsi pembentukan relasi-relasi yang serasi dan terpadu tidak bisa dimengerti dalam satu arah.

Pada titik ekstrim yang lebih jauh, terdapat pertentangan (oposisi) antara identitas dan perbedaan. Tidak ada lagi struktur yang sama. "Aku adalah ras superior, selalu dan selamanya." Kita tidak mengetahui apakah masuk dalam wilayah diskursus psikiatris atau hanya retorika. Ibu, Ayah, Anak, saudara, tetangga, dan teman dalam "satu keluarga global." Kita atau mereka tidak lagi dibangun dalam hubungan satu sama lain menurut ruang yang tunggal.

Tetapi, ia dibangun dalam bentuk yang plural. Perbedaan besar dan kecil tidak terelakkan seiring pluralitas muncul ke permukaan. Daripada kita binasa, lebih baik bergabung dan bersatu dalam perbedaan dan pluralitas. Sebagaimana orang-orang berada dalam bahasa dan pikiran logis, maka pilihan pada ruang yang plural dan berbeda merupakan hal yang lumrah.

Mungkin juga, kita terlalu percaya pada bentuk-bentuk pertentangan mencuat ke permukaan. Keterbukaan atas dunia yang plural membuat kita seakan-akan tidak meraba-raba dalam ruang gelap diidentitas dan perbedaan.

Kita lebih tertuju dari mana perbedaan dibentuk dan apa yang melatarbelakangi melalui cara berpikir kita yang plural dan lebih cair.  

Kemunculan wilayah diskursus yang dibicarakan lebih sengit sejak kurang lebih satu jam yang lalu mengingatkan kita pada titik ekstrimitas pemikiran tentang obyek-obyek yang tidak dipaksa berada di atas permukaan benda-benda yang plural ketika jejak, tanda, dan celah bisa dihubungkan dengan kelahiran kembali teori ilmiah dan interpretasi ulang filosofis. 

Perbedaan tidak berkembang ketika tujuan untuk membuka jalan sedikit demi sedikit bagi orang-orang berbicara secara terus terang dalam sebuah ruang kosong. Setidak-tidaknya kita mencoba menjelaskan mengapa ada perbedaan sebagai syarat pembentukan sebuah tatanan.

Seseorang mendengarkan sesuatu, yang sangat dikenal dekat apa-apa yang dibicarakannya, padahal dia sendiri yang membicarakan dan menyetujui apa yang dirinya sendiri tidak mengerti, yang baru saja dibicarakan. Dia bukan menjadi orang yang 'Sama', karena orang itu sendiri tidak bisa berbicara mengenai orang di luar dirinya sendiri yang pluralis. Hanya orang itu sendiri bisa melakukan, mengatakan dan memikirkannya, bagaimanapun juga apa yang telah dikatakannya adalah mustahil dan omong kosong.

Bisa dikatakan, pembentukan diskursus yang berbeda-beda menyentuh 'penanda kosong' di balik ujaran kebencian. Kelompok pernyataan yang menjadi obyek diskursus tidak terbentuk lantaran penanda kosong merenggut pikiran seseorang tanpa merujuk lagi pada hirarki ujarannya sendiri. Ia berubah menjadi ambang batas perbedaan murni.

Ketidakhadiran perbedaan murni berubah menjadi perbedaan-perbedaan lainnya, yang pada akhirnya perbedaan-perbedaan alami, esensial, artifisial, absolut, kecil, dan besar saling memposisikan dirinya sendiri dengan apa yang disebut diskursus filosofis. Kelompok pernyataan tidak menjadi tempat terjadinya relasi antara perbedaan dan kemunculan peristiwa-peristiwa diskursif tertentu (politik, sosial, ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi) selama tidak membuka jalan seluas-luasnya bagi pluralitas.

Rangkaian perbedaan dan gagasan yang berlawanan antar kelompok kembali dipluralitaskan secara khusus atau ditangani dengan cara tertentu. 

Seseorang mencoba menemukan apa maksud dan tujuan pernyataan-pernyataan, seperti seakan-akan berbicara dengan kata-kata tanpa berpikir terlebih dahulu hingga menjurus pula pada tindakan yang tidak masuk akal. 

Sebagian pernyataan tertulis dan pidato-pidato yang mengandung 'doktrin kebenaran' tertentu tidak harus membuat orang berpikir logis. Atau ia dianggap memiliki tindakan yang tidak masuk akal datang dari sebuah doktrin yang sama dibentuk dan disebarkan oleh ideologi konservatisme yang anti pluralitas atau pluralisme di sekitar kita.

Wilayah pembentukan pluralitas tidak bisa menghindari ujaran-ujaran yang memasuki arena diskursus, yang menghubungan doktrin, mencakup kata-kata dari si pembicara dengan individu-individu sebagai pendengar. 

Setiap pengetahuan tentang pluralitas berada dalam garis pemisah konflik sosial yang ditularkan oleh sosok-sosok ideologis 'tertutup', yang berseberangan dengan sosok-sosok epistemologis, yang sama-sama memainkan dan meneguhkan diskursus. Sesuatu hal yang menarik. Pertama, permasalahan perbedaan terlibat dalam kemiripan antara doktrin-doktrin dan diskursus ilmiah dan pengendalian diskursif hanya mengarah pada bentuk atau muatan dari keyakinan dan ujaran yang disebarkan keluar. 

Bukan dari si penceloteh atau si pembicara. Dari kelompok doktrinal (seperti agama, politik dan filsafat) memiliki daya pikat, yang membuat individu dan jamaah berada dalam kepatuhan doktrinal melalui 'si penulis dan si pembaca', 'si produser dan si konsumer', 'si pembicara dan si pendengar' dengan mekanisme tertentu.9 Kedua, wilayah doktrinal bersama strategi dan mekanismenya ternyata tidak memerhatikan lagi aspek nilai maupun diskursus filosofis dan diskursus ilmiah. 

Dalam perkembangan terakhir, terdapat kemiripan ditunjukkan oleh doktrin ideologis dan genre pemikiran filosofis yang mengarah pada subyektifitas, dibandingkan disiplin ilmiah masih bersifat obyektif atau terbuka.

Namun demikian, semuanya beriringan memasuki wilayah pembentukan obyek-obyek diskursus. Setiap diskursus akan bersentuhan dengan rangkaian peristiwa penampilan verbal dan penyisihan ritualisasi kata dengan mekanisme kepatuhan atas kemajemukan.

Lain pula, ketika pluralitas melulu agama. Pluralitas begitu luas cakupanya. Ia tidak pernah diperjelas dalam penafsiran tunggal alias satu pemikiran saja.  
 
Tatanan bersifat plural dan bersentuhan dengan satu sistem pengetahuan. Tentu saja, ia berbeda dengan diagnosa penyakit dalam diskursus kedokteran, yang tidak mereduksi patokan-patokan keilmiahan sejalan dengan nalar positivitas yang ditopang oleh metode verifikasi.

Mungkin, di tengah ketumpang-tindihan masih terdapat relasi ideologi terhadap ilmu pengetahuan, yang dituntut keterlibatannya dalam krisis demi krisis tanpa perbedaan maupun permasalahan pluralitas yang membayanginya.
 
Permasalahan pernyataan dan pandangan negatif bisa jadi tidak dipluralitaskan pertentangan, yang membentuk ulang diskursus lain, kecuali ditemukan kembali ucapan-ucapan yang tidak ada titik akhirnya, yang gaungnya didengar dan diterjemahkan oleh orang.

Kelompok pernyataan dan pemikiran bersifat inklusif berseberangan dengan kesatuan doktrin ideologis bersifat eksklusif tentang 'kehidupan tanpa perbedaan' tidak lebih sebagai paradoks yang dimainkan.

Sayangnya, doktrin kebenaran tidak seiring praktek diskursus, karena kelompok pernyataan dari kesatuan doktrin ideologis juga tidak mudah dimengerti dalam diskursus ilmiah sejauh tema-tema perbedaan dipertajam muatannya dalam pluralitas obyek, yang relasi-relasinya melibatkan diskursus filosofis. 

Suatu hal yang tidak bisa dipungkiri, bahwa pembentukan diskursif kita akan menemukan konsep tanda, yang setiap aspeknya ditentukan oleh sejauh mana peristiwa terjadi dalam relasi antara diskursus ilmiah dan ideologi. Penggunaan diskursuslah memberi ruang yang cukup bagi ideologi, yang dideskripsikan melalui diskursus kimia dan ekonomi pasar, sekalipun kata-kata yang diartikulasikan dari produk kemasan tidak ditopengi oleh kebenaran, obyektifitas dan tidak memiliki pertentangan.

Satu pihak, kemunculan wilayah diskursif tidak berkurang dan hilang pada saat pluralitas yang dilihat sebelah mata dan dipertentangkan oleh individu-individu sebagai subyek yang berbicara sesuai doktrin kebenarannya. 

Pihak lain, kita tidak menangani kontradiksi konsep dan pilihan-pilihan pluralitas.

Ketidakhadiran pluralitas bisa dipermasalahkan oleh ilmu pengetahuan selama masyarakat mendapatkan penjelasan yang berat sebelah tentang kemunculan ujaran-ujaran. Ia hanya teridentifikasi sebagai sebuah mekanisme penyampaian, susunan, dan pembentukan obyek-obyek diskursus yang dinilai artikulasinya berbahaya. 

Selebihnya, pluralitas diperhadap-hadapkan pada individu-indvidu yang terhimpit ditengah permasalahan kemungkinan atau ketidakmungkinan terjadinya kepatuhan doktrinal. Muatan-muatan dan eksistensinya dibentuk oleh diskursus bersifat destruktif bagi pengetahuan atau pemikiran dan kehidupan.

Pada sudut pandang yang lain, seseorang harus maju ke depan beberapa langkah dan harus berbicara selama huruf, angka, tanda, dan jejak masih ada, hingga mereka itu menghinggapinya. 

Biarkanlah seseorang berbicara sepatah dua kata atau plural! 

Mungkin kata-kata yang dibentuk dalam wilayah diskursus telah diucapkannya, yang membuat seseorang berhasrat untuk bangkit dari tidur panjangnya gara-gara hanya pada satu kata, terulang-ulang dan terngiang-ngiang dalam ingatannya. 

Kata-kata yang dibebaskan dari kebenaran yang 'Satu' menjadi 'Banyak'. Yang plural dalam nama-nama, tempat dimana sifat-sifat yang berbeda dimuatinya dalam kelahiran kembali.

Tetapi, semakin menjauh dari ingatan, maka semakin tergerus pula hal-hal yang tidak perlu dibicarakan. Kita tidak perlu berhasrat untuk mempertontonkan semuanya itu melalui satu identitas, bentuk, medium, atau diskursus tunggal belaka.

Dalam kenyataannya, hasrat individual akan kebenaran yang memposisikan dirinya sebagai pencetus tunggal menggebu-gebu merupakan langkah awal tentang pemaksaan kebenaran.

Suatu mekanisme pengelompokan diskursus tentang kebenaran perlu ditopang oleh ketersediaan ruang penerapan pengetahuan melalui riset, pengamatan, dan analisis terhadap isu-isu yang berkembang hanya dapat dibicarakan secara bebas dan dinamis dalam masyarakat demokratis. 

Dari sanalah mereka ditawarkan semacam pembicaraan seputar tema-tema pluralitas bersifat inklusif dan cair tanpa menina-bobokkan dirinya dengan permasalahan proposisi-proposisi dalam perbedaan.

Kita percaya atau mungkin kita tidak berpikir tentang bagaimana diskursus menggoyahkan kelompok kata-kata yang dibicarakan dalam lingkaran anti pluralitas, seperti kepicikan pikiran. 

Kita juga tidak percaya, jika kekuatan yang tertancap pada diskursus bukan membicarakan diri kita sendiri. Kita tidak sedang berpikir tentang cara mengetahui perbedaan dalam diri kita sendiri. Karena titik ujaran-ujaran paling banyak kita hadapi, maka dengan alasan logis yang saya maksud justeru menjadi tidak penting dan tidak jelas hingga sekarang perbedaan yang dicari tidak pernah gagal menopenginya.

Pada suatu saat kebenaran tidak muncul ke depan mata kita, kecuali momentum kebenaran yang sudah sejak lama dimainkan untuk menyinari wilayah abu-abu sebuah obyek diskursus. 

Kegilaan berpikir mengenai obyek diskursus yang dibicarakan berulang-ulang dan plural akan menentukan apa muatan atau maksud dari teks yang hilang dan kadangkala ujaran-ujaran muncul menggeser posisinya. 

Penolakan mentah-mentah terhadap pluralitas dan pluralisme tidak lebih dari sekedar pengulangan ujaran-ujaran kembali yang dibentuk oleh diskursus. Apapun nama dan obyeknya, terlibat atau tidak, ia tetap dicari oleh hasrat untuk mengetahui yang tidak pernah asal berkoar-berkoar begitu saja dalam hiruk pikuk kehidupan sehari-hari.

Akhirnya, teks-teks ekonomi yang dibicarakan telah diperhitungkan, ketika manusia muncul sebagai jenis makhluk misterius, yang memiliki kebutuhan dan hasrat, berusaha untuk memenuhi kuasa, cita rasa untuk menentang kebenaran, dan karena itu memiliki kekayaan, kepentingan untuk bebas dari penghancuran kreatif melalui kemiskinan yang tidak dimimpikan. 

Singkat kata, diskursus yang telah memasuki wilayah pertentangan dengan manusia lain akan tetap diucapkan dan terus menerus dibahas. Hal-hal yang tidak ada habis-habisnya diperbincangkan sebagai titik kritis dari diskursus, yang dibicarakan dalam pertemuan-pertemuan resmi atau forum dialog akan hilang seperti asap yang terbang melampaui asal-usulnya.

Dalam cara yang berbeda ketika kata-kata hanya semacam daya tarik, yang tidak disadari oleh orang-orang ternyata membuat mereka telah berada dalam kekosongan praktik diskursif. Demikian pula saat pembentukan teks-teks keagamaan, teks-teks ilmiah, dan seperti teks-teks lainnya.

Ia akan muncul saat menengahi igauan dalam mimpi-mimpi individu berupa ketidakpatuhan terhadap manusia plural, yang digantikan dengan kesatuan formal dan eksklusifitas atas kebenaran. 

Ketika diskursus yang disubyektifikasi dalam ujaran-ujaran si pembicara membuat sosok-sosok pluralitas tidak habis berpikir bagaimana suatu mekanisme doktrinal yang dimainkannya tetap diterima sebagai bagian dari ekspresi perbedaan. Mereka bukanlah bentuk pemaksaan doktrin kebenaran.

Doktrin seperti ujaran-ujaran dari mana saja kemunculannya berubah menjadi tanda, sekalipun dalam situasi konflik atau kontradiksi nampaknya tidak bisa dikurangi.

Kaum pluralis menghindari konflik-konflik apalagi kekerasan, mereka tidak melarikan diri dari kenyataan atau menggantikan pengetahuan. Pada sistem doktrin sebagai kaki tangan politik, yang mencampuri atau mengutak-atik diskursus. 

Paling tidak dalam skala yang lebih luas dan untuk sementara waktu, kita bisa menyadari celah besar yang terdapat dalam kontradiksi dan menenangkan konflik, dimana setiap individu memiliki akses yang lebih terbuka menerima perbedaan dalam suatu diskursus. 

Kita percaya, bahwa paling menantang bagi kaum pluralis adalah rangkaian-rangkaian pernyataan, susunan dan kelompok obyek di bawah sebuah doktrin, yang membentuk penyisihan atau penegasian diskursus, selanjutnya membentuk hirarki antara penulisan dan pembicaraan, yang membisikkan pada kita tentang dunia impian.

Suatu realitas yang mereka ingkari ketika dunia impian terdapat ketakutan tersembunyi di balik penampakan wujud ideal. Bentuk pertentangan datang dari efek pengisolasian dirinya yang berubah dari dunia impian menjadi sebuah "tembok raksasa." 

Penampakan mimpi dan fantasi yang dihadapi oleh kaum pluralis dalam peristiwa-peristiwa diskursif. Benda-benda kadangkala telah terucapkan di seantero dunia mimpi, fantasi, dan kata-kata. Apa yang terucapkan telah membisikkan tanda kebenaran tunggal, satu metode pembacaan dan penafsiran teks-teks.

Mulai dari awal mula pembentukan obyek diskursus ilmiah dalam pemikiran psikologis dan sosiologis, dimana jejak-jejak memberi nama dan bentuk pengingkaran atas realitas yang berusia tidak muda lagi (pluralitas, perbedaan). Kita tidak khawatir apakah tema-tema ilmu pengetahuan dan filosofis tertentu menjadi tidak sesuai dengan aturan main negara. 

Sementara, pluralitas dalam kehidupan bersifat regulatif melalui normalisasi, pembatasan, penjinakan ujaran kebencian, dan tindakan intoleran lainnya. Tema-tema filosofis juga dianggap tidak cocok. Karena itu, pilihan ke arah sana dibalik penampakan obyek, kecuali kekuatan doktrin kebenaran yang menggiringnya pada hanya satu pilihan mereka.

Pluralitas dengan menjadikan dirinya lebih plural dan semakin plural dari sisi tawaran, yang dari sisi terluarnya dijajaki kemungkinan ada wilayah diskursif. Ketika sistem keterbukaan terisolasi, bentuk-bentuk aturan main tertutup. Ketika norma ditempatkan pada pilihan bebas mereka, maka bidang pemikiran menemukan dirinya sendiri dalam pembentukan relasi-relasi, kelompok obyek, dan rangkaian pernyataan. 

Relasi-relasi antara filsafat tentang asal-usul dan pengalaman terhadap kekerasan, filsafat tentang mikrokosmik: hasrat, ingatan, selera, dan imajinasi maupun teori-teori ilmiah tentang ruang makrokosmik begitu sangat menakjubkan. Tiba-tiba, hal-hal tersebut tidak lagi dibenturkan dengan dikotomi nilainya yang terdahulu.

Suatu momentum bagi orang-orang, yang kemungkinan untuk bisa berpikir dan berbicara kembali tentang peristiwa dan konsep yang terkait dengan kesatuan pluralitas sebagai selipan peristiwa diskursif yang belum hidup. Kesatuan pluralitas seakan-akan mereduksi dan memanipulasi.

Pertama, prinsip perbedaan. Dalam prinsip perbedaan, selain memiliki jarak dari kita begitu dekat dan disamping kemunculannya, ekstrimitas bahasa analitis, keilmiahan dan interpretasi filosofis mengelilinginya.

Tetapi, mereka juga bukanlah bentuk dan tujuan pertentangan atas konsep pluralisme dan pluralitas. Yang suatu saat ia digantikan oleh tanda-tanda dan jejak-jejak yang terpantul dari sebuah 'cermin perbedaan' tanpa diberikan kedok demi sebuah tatanan diskursif.

Kedua, prinsip keterbalikan. Ia ditandai ketika kita mengatakan pada orang. Ketika kata-kata dan benda-benda menawarkan pada kita daya pikat lebih daripada konflik kepentingan terselubung. Di balik aktivitas di siang hari, setiap konflik akhirnya ditolak dibicarakan dan diinterpretasikan dalam diskursus filosofis. 

Karena riuhnya, ia dianalisis ulang melalui disiplin ilmiah di hari-hari lain. Saat kita menduga menurut identitas atau tradisi, bahwa kita tidak atau belum mengetahui dimana peristiwa diskursif muncul.

Demi prinsip-prinsip yang ada dibalik kelahiran hasrat untuk pengetahuan, maka kita harus menegatifkan kebenaran menuju kebenaran lain yang ditopengkan sebelumnya. Prinsip keterbalikan mengulang kembali bentuk-bentuk pembatasan, pengecualian, dan penyisihan diskursus terhadap tema-tema dan kinerja verbal yang dimilikinya. 

Para pembicara dan penulis selalu dikaitkan dengan kata-kata bersifat terbuka dan benda-benda plural yang dimuatinya. Mereka terus menerus memperluas identifikasi peristiwa tertentu dengan titik tolak penentuan rangkaian tidak berujung, bentuk-bentuknya yang berbeda kadangkala pergi tidak beriringan, dan tidak saling merujuk pada batas terakhir dan syarat-syarat kemunculannya.

Ucapan-ucapan dan teks-teks membentangkan ambang batas diskursus, lalu pada suatu saat  kekuatan tidak tertancap lagi pada diskursus lain.

Diskursus adalah bukan hanya diagnosa, tetapi juga urutan ucapan dan teks tersebut telah ditentukan oleh obyek-obyeknya, yang keluar dari titik kemunculan identitas.

Pernyataan dan sang Lain

'Aku' sedang berbicara tentang bagaimana kita berpindah dari masyarakat yang terisolasi sebelum 'Aku' terbebani makna serta pengaruhnya disangkutpautkan dengan teks tertulis yang disusun oleh pengarang. Aku percaya apa yang dikatakan orang dalam menanggapi ucapan dengan kaidah-kaidah untuk mengatur diskursus.

Tetapi, Anda sekarang masih berbicara tentang sikap toleransi sebagai peristiwa diskursif yang dibicarakan dan ditulis oleh pengarang dalam kelahirannya kembali. 

Anda kemudian tentu akan menata berpikir dan berbicara tentang kerumitan apa yang dimaksud oleh Martin Heidegger setelah kematiannya, yang juga berbicara tentang ciri-ciri yang melekat pada individualisasi sekaligus mengisolasi 'Aku' sebelum mencari cara untuk mengakhiri 'sang Lain'.

Jadi, mau tidak mau kita harus mengatakan benda-benda kosong ternyata paradoks yang tidak bergeser dalam kelompok pernyataan, yaitu apa yang telah dikatakan dan diulang-ulang pada kepentingan hidup bersama diperlukan pluralitas dalam 'Aku' yang bersinergi dengan 'sang Lain'.

Kata-kata tertentu pun tidak pernah berhenti untuk memiliki pertentangan dari apa yang telah dikatakan. Terciptanya riak yang tidak berujung pangkal dari ujaran dipancing oleh doktrin kebenaran berlindung di belakang pengulangan-pengulangan.

Dari sebuah masa penantian panjang, tidak ada yang dapat menentukan kapan berakhir pertentangan, selain apa-apa yang telah terdapat titik temu pernyataan-pernyataan secara tulus untuk mengatasi kebenaran yang bertopeng dalam aktivitas sehari-hari.

Titik temu yaitu perbedaan-perbedaan ada dalam pengulangan dan keterbalikan berusaha untuk mencegah ujaran-ujaran kemungkinan kata-kata menuju pembentukan diskursus tandingan. Ujaran-ujaran memberi kita kesempatan untuk berbicara dan menafsirkan apa yang dimaksudkan di luar teks tertulis itu sendiri. Tetapi, terdapat syarat dimana kita mendengarkan berbagai ujaran setelah tertata dalam teks dan dikatakan belum berakhir.

Pluralitas yang terbuka atau inklusif terjadi secara tidak alami. Ia dipindahkan oleh prinsip perbedaan dan prinsip keterbalikan.

Dari hal-hal yang pantas dibicarakan ke arah citra artifisial dan jejak-jejak digital.

Kata-kata dalam teks tertulis dibantu oleh teks lain sesudahnya. Alur-alur dan bentuk-bentuk penyampaian hal-hal memungkinkan masuk dalam obyek diskursus bukanlah apa-apa yang bisa diucapkan, tetapi terletak dalam relasi-relasi kemunculan perbedaan nampak berulang-ulang.

Kata-katanya yang terserap dalam indentitas tidak masuk hitungan pengulangan yang menyentuh permasalahan-permasalahan yang kita hadapi dalam situasi saat ini nampaknya tidak tertarik lagi dibicarakan oleh kelompok pernyataan ideologis yang ekstrim. Mereka sering berbicara: "Aku tidak masuk dalam tatanan diskursus yang memparadokskan kehidupan tanpa perbedaan." 

Tidak ada yang bisa Aku bicarakan dan pikirkan selama pluralisme dan pluralitas melihat relas-relasi antara dominasi dan subordinasi manusia secara kasat mata. Lebih dari apa yang Aku impikan begitu mendalam dan satu per satu muncul dengan membawa kebenaran. 

Apa yang kita inginkan hanyalah membiarkan diri kita untuk tetap menolak kelahiran kembali dari perbedaan tanpa tipu muslihat di dalam dan di luar diskursus.    

Dalam titik awal kemunculan komitmen hidup bersama dan dalam sinergisitas, ia berbicara: "Aku manusia," "Aku biomesin."

Manusia dan biomesin apa? Sang Lain. Perbedaan kecil "Aku makan, Aku berpikir, Aku berimajinasi." Sang Lain dalam hal perbedaan dirinya sendiri. "Aku" melibatkan "sang Lain" untuk menyatukan dan memisahkan perbedaan. Makan dibutuhkan oleh seseorang, mirip kucing, kecuali obyek warna.

Berpikir dan berimajinasi meletakkan perbedaan antara manusia, binatang, dan obyek warna. Manusia menjadi "sang Lain-Plural" muncul di balik "Aku-Plural" dalam relasi bolak-balik, yaitu relasi antara yang 'Sama' dalam 'berbeda dirinya sendiri'.

Dalam perbedaan yang setara, dalam relasi bolak-balik, Aku telah berbicara jelas untuk menghargai sang Lain. Dalam perbedaan sebagai bagian inti dari pengulangan identitas. 

Individu sebagai "Aku" tidak percaya terhadap sikap intoleran atau ujaran kebencian dalam hirarki ujaran antara satu dengan sang Lain. Anda tidak perlu khawatir dengan perbedaan tersebut, kami hadir bersama Anda dalam kenyataan, bahwa manusia berpikir dan berbicara, yang membuat mereka dapat hidup bersama.

Meskipun membosankan dalam kemonotonan, hampir dapat dibicarakan oleh Anda sendiri untuk mematahkan ujaran-ujaran yang memecah-belah dan kita tidak terkejut jika pintu-pintu terbuka untuk kita semua.

Untuk menandai subyek keluar dari hirarki lisan menuju tulisan di sekitar kita, jejak dalam pengulangan bentuk-bentuk pertanyaan.

Siapa yang memulai kebencian? Datang dari mana aura kekerasan? Kapan persaudaraan lahir? Siapa subyek dan obyek, Aku ataukah sang Lain? Dimana letak ancamannya di situ?

Untuk sekian kali, kita masih akan melibatkan pengulangan perbedaan identitas, yang menghilang dalam seluk beluk tanda pluralitas berpindah pada ujaran-ujaran tidak terpisahkan dalam penampakan wujud-wujud ataupun sirna kembali.

Terhadap orang-orang yang seringkali heran agar meluncurkan kata-kata yang sama dalam ucapan dan teks. 

Efek kata-kata yang sama bisa mempersembahkan rangkaian ketumpangtindihan makna-makna asali dan aktual yang berbeda dari ucapan atau teks.

Dari makna-makna yang berbeda tersebut diusung ke orang-orang yang berada di luar ambang batas ucapan dan teks melalui relasi antara Aku dan sang Lain berubah dalam sinergi-kolaborasi yang bersentuhan dengan tanda plural. Keduanya bukan makna yang dibentuk oleh wilayah konflik dan kekerasan lainnya menjadi makna-makna yang berbeda dan berubah perlahan-lahan dari individu.

Begitu banyak ucapan dan teks dalam relasi antara penulis dan pembaca di antara perbedaan kecil dan besar dengan makna dan pengaruhnya tidak bisa dilenyapkan.

Meskipun peran si pembicara dan si pendengar tidak bisa disalingtukarkan, tetapi wilayah diskursus bisa menjadi syarat berlangsungnya pemikiran dan kehidupan yang dinamis dan cair.

Sudah tentu orang akan berbicara bahwa saat ini semua peristiwa belum berakhir atau dalam proses penentuan batas-batas peristiwa semakin dibicarakan atau pengalihan batas-batas terakhir dari penampakan.

Kita malah lebih berinteraksi dengan permasalahan-permasalahan yang sedang kita hadapi sekarang, berarti Anda mendengar seseorang berbicara tentang toleransi dan meminta pada orang yang sama untuk tetap merawat kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. 

Aku kembali sadar akan hal pilihan perbedaan paling beralasan betapa tanda kedamaian identik dengan kemurahan hati bersama. Ia menjadi wilayah diskursus menghadirkan penampakan wujudnya dalam diri individu-individu.

Ketika Aku dalam relasi timbal balik dengan sang Lain berusaha untuk memperluas wilayah penampakan wujud yang plural, dimana bentuk kemurahan hati sesuai dengan 'alasan untuk hidup bersama dalam perbedaan'.  Kehidupan kita seakan-akan dimulai dari perbedaan doktrin filsafat, keagamaan, politik, dan ilmu pengetahuan. 

Anda tidaklah lebih banyak menyia-nyiakan waktuku sendiri. Dalam rangkaian proses pembentukan batas-batas terakhir dari peristiwa, yang tidak bisa kulampaui dengan hasrat untuk berbicara dan berpikir dalam perbedaan.

Ucapan dan teks, yang saling menopang dan mengisi dengan toleransi, dimana penampakannya adalah syarat, dan yang telah dipikirkan telah tuntas sebelum mengarungi hidup bersama di tengah gelombang ujian, terjal, penuh lika-liku kehidupan.

Perbedaan bersama toleransi adalah 'alasan paling kuat'. Aku meninggalkan pertemuan resmi ini yang menyediakan ruang untuk saling berpikir, berbicara dan saling mendengarkan tentang 'makna yang berbeda-beda' dalam forum dialog.

Kesepakatan umum mengatur kata-kata untuk hidup bersama dengan Anda di rumahku. Jangan lupa bahwa bukan saja di sini adalah rumahku, tetapi paling penting bagaimana bentuk pembicaraan tersebut diwujudkan dalam penampakan betul-betul ada dan solid di luar rumah kita. 

Dalam situasi dan tempat apapun. Karena itu, kita tidak bisa membayangkan bahwa dunia yang kita ucapkan adalah dunia kita sendiri, yang hadir di hadapan kita saat ini terjadi penampakan wujudnya sebagaimana yang kita lihat.

Selebihnya, bagaimana mengelolah dunia yang membuat eksistensi eksternal kita bukanlah hidup sebatang kara. Syarat-syarat perbedaan juga hadir di hadapan kita itulah yang menentukan rangkaian relasi-relasi antara tanda kehidupan yang tidak bisa diselesaikan dengan ujaran-ujaran. Ia berada dalam wilayah diskursus yang menentukan batas-batas peristiwa pada saat kita telah berbicara secara terbuka.

Dibalik keputusan institusional, ujaran orang, konflik, kekerasan kata, dan tulisan atau penghargaan atas perbedaan. Di benak orang tidak terlalu yakin terhadap subyek pembicara meyakini doktrin kebenaran hanya bekerja dalam satu arah saja, yaitu kebenaran dari dan untuk dirinya sendiri.

Sebaliknya, dalam persfektif Derridian, kaum pluralis melihat doktrin dengan makna-makna yang tersedia tidak selalu pasti dan stabil.

Bagaimana kita memperluas wilayah peristiwa-peristiwa dan terus menemukan lapisan-lapisan realitas, jika satu atau lebih banyak makna muncul di depan kita, suatu makna yang kosong dari efek kenampakan.

Peristiwa bukan hanya bersifat lahiriah, tetapi juga hal-hal yang tersembunyi, sehingga individu yang berhadapan dengan Aku dan sang Lain merupakan penggalan-penggalan yang tidak mampu kita baca secara keseluruhan.

Perbedaan itu perlu ditarik benang merahnya yang bukan untuk mencari persamaan dari sesuatu yang imanen, murni dan kosong, melainkan pembentukan relasi-relasi yang menciptakan garis-garis konsekuensi dan jejaring sirkular mekanis. Ia yang bisa muncul ke permukaan sebuah penghubung antara pengulangan yang terpadu dan pikiran kita.

Dilihat dari kenyataan lain apa yang dipahami tidak dapat diselipkan dalam peristiwa ide-ide yang dituntut kemunculannya secara eksplisit. Lantas, kita akan menemukan unsur pluralitas diri yang subyektif di antara unsur heterogen. 

Dari ujaran-ujaran atau pernyataan-pernyataan, yang dia tandai sebagai sesuatu yang melampaui ruang dimana dia berbicara. Heidegger (1962) melihat "Aku di sini" dialamatkan secara eksplisit oleh Dasein, mencekoki spasialitas individualnya sendiri dari suatu jejaring relasi-relasi bernama basis material dari setiap kali kita berbicara atau menulis.

Entah itu kita berbicara di atas mimbar, di belakang meja, di depan khalayak atau teman-teman sendiri. Begitu pula aktivitas menulis di depan layar baru: virtual-digital atau di atas meja dan sejenisnya.

Terdapat kemungkinan akan terjadi proses pembenaran atau penolakan atas ujaran-ujaran, dari bentuk-bentuk dan obyek-obyek diskursus yang dinilai usang oleh si pembaca atau si pendengar dalam ruang lingkup yang lebih luas. Kata-kata yang diartikulasikan oleh seseorang saat berbicara dan dimaterialisasi dengan cara menulis adalah salah satu kesenangan tersendiri. Akan tetapi, kuasa seseorang melalui pikiran dan hasratnya dalam teks Immanuel Levinas, Time and The Other (1987) meletakkan "sang Lain adalah apa yang bukan Aku diriku sendiri." Lanjutnya, "sang Lain ini adalah bukan sebab dari karakter, atau fisiognomi, atau psikologi sang Lainnya, melainkan perubahan dari sang Lain itu.".

Di sini, terdapat keterserakan teks yang terjadi dalam peristiwa diskursif menandai setiap celah wilayah kemunculan penyampaian. Ia bukan menyangkut pertentangan antara satu sama lain1, tetapi bentuk-bentuk pluralitas di sekitar kita, yang harus berada pada semua jalur. 

Meskipun individu-individu masih bercokol dalam wilayah ontologi keanekaragaman, tetapi perbedaan sulit menangani ranah eksistensi individualnya sendiri sebagai rangkaian relasi-relasi diskontinu dengan benda-benda plural. 

Tetapi, semuanya merupakan kata-kata bersifat diskontinu dan penggalan-penggalan yang terputus-putus tidak bisa dikelompokkan dalam tanda sebagai subyek yang dadakan dan berserakan. 

Kemunculan peristiwa yang berada di luar diri eksistensi individual membatalkan satuan-satuan terbesar yang dijajaki, diketahui, dan ditepis secara referensial pada kata-kata dan subyek yang berbicara. Satu langkah lagi, ia akan terjatuh dalam ruang kosong sebelum terproses pengisian ulang pikiran, pilihan, dan hasrat untuk pengetahuan.

Saat ini dengan segala rupa sebagaimana kita lihat, jangankan lapisan-lapisan baru, wilayah penampakan obyek-obyek (pendidikan yang membebaskan, ekonomi yang menyejahterahkan, dan kesehatan terjamin atau kebebasan berbicara terpenuhi tanpa saling menghancurkan) sirna ditelan bersama dirinya sendiri.

Ketika kelompok pernyataan lain yang terlebih dahulu memiliki kuasa dan pengetahuan, maka setiap rinciannya tidak bisa semua dikontrol oleh diskursus. Karena rezim diskursus itu juga sistem kuasa dan pengetahuan. Pertemuan-pertemuan resmi akan menghilang dalam diskursus yang telah diucapkan dengan cara yang berbeda saat kemunculannya. 

Hal ini terdapat kemungkinan terjadi pada bentuk-bentuk diskursus yang masih menyentuh pluralitas obyek yang telah dibentukny. Ia bukan pluralitas subyek yang berpikir yang bersembunyi di balik 'jurang perbedaan' secara leluasa bisa dibicarakan. 

Misalnya, "sang Lain adalah lemah, miskin, "janda dan yatim piatu," sedangkan Aku yang kaya atau berkuasa." Aku tergantung pada diriku sendiri, sang Lain juga tergantung pada dirinya sendiri. Keduanya terlibat dalam relasi 'sistem kehidupan bersama' yang menggantikan ruang intersubyektif. 

Salah satu dari keduanya bukanlah menifestasi kebencian atau kekerasan antara satu dengan lainnya. 

Orang tidak lebih khawatir dalam melihat dunia. Ketika semuanya terbalik dari kenyataan yang sesungguhnya, maka bukan penolakan kebencian atau kekerasan, melainkan kelenyapan relasi timbal balik yang terbentuk sebelumnya.

Setiap pertemuan yang tidak tersyaratkan, individu dibukakan jalan menuju rumahku adalah sang Lain itu sendiri sebagai Aku. 

Sebaliknya juga demikian. Ketidakhadiran masa depan terjadi saat sang Lain memposisikan diri dan lainnya sebagai sang Lain, subyek yang sama atau Aku sebagai Aku.

Satu keputusan yang disepakati merupakan keputusan bersama, bukan keputusan sang Lain atau Aku di tengah pluralitas yang tidak bisa dihilangkan. Pada menit-menit terakhir, Anda yang menolak keputusan dengan cara menarik 'subyek yang berbicara' keluar dari ruang pertentangan. 

Apapun yang terjadi pada pertemuan-pertemuan tidak luput dari interaksi antara perbedaan makna-makna yang muncul dan ucapan serta teks. Keputusan apapun dari yang lebih tua atau yang muda, lebih berpengetahuan dan yang awam memiliki tanggungjawab di hadapan peristiwa penting dalam hidup mereka. 

Ketika keinginan kita untuk mengetahui syarat-syarat yang diperlukan menuju jalan hidup bersama, sekalipun dianggap mustahil melalui usaha-usaha pencarian titik celah perbedaan ditolak dalam kehomogenan. Sementara itu, pembentukan obyek-obyek diskursus sendirilah mengambil arah memutar balik ke titik tolak 'pembentukan rangkaian perubahan tanda kehidupan'. Dari akar tempat dia tumbuh dan berkembang dengan cara berpikir berbeda.

Kita juga melihat proses permulaan kembali sebagai pengulangan dalam ketidakhadiran bentuk, dibandingkan dengan rangkaian-rangkaian paradoks hidup tanpa perbedaan, yang ternyata kita sadar belum diucapkan. Hanya jejak-jejak peristiwalah yang bisa dilacak melalui catatan-catatan resmi, arsip-arsip atau dokumen-dokumen.

Bahwa ternyata sejak dulu terdapat tatanan manusia dengan latar belakang yang berbeda-beda. Dari sini, diakui atau tidak, begitulah kenyataannya.

Meskipun bukan satu-satunya cara, rangkaian-rangkaian peristiwa yang tercatat, terbukukan atau terdokumentasikan berfungsi untuk menyegarkan kembali ingatan kolektif. Kita juga sadar, meskipun sesungguhnya yang akan diingat tidak bisa direlevansikan pada situasi saat ini sebagai ruang pembacaan. 

Setidaknya orang-orang akan mengetahui dan mengembangkan beberapa jalan yang akan mereka tempuh. Setelah diingat kembali, peristiwa yang dialami orang akan berusaha mentransformasikan dengan langkah-langkah ke depan melalui rangkaian relasi-relasi. 

Peristiwa yang dibicarakan bukanlah jejak-jejak yang ditinggalkan manusia, lalu ia ditarik dalam perbedaan melalui ruang pengulangan yang dibentuk sebelumnya. 

Apa yang kita bicarakan sebagai babakan pendahuluan menuju ruang pertemuan bersama tanda-tanda titik terang.

Jejak-jejak melalui teks menandai pluralitas sebagai bagian dari usaha untuk meredakan konflik antara pembentukan ulang representasi logis dan struktur bahasa.

Jika satu identitas di balik perbedaan, mengapa harus bermusuhan? Mengapa kita harus tercabik-cabik hanya gara-gara ujaran kebencian, padahal sesungguhnya bisa didamaikan? Seandainya kita paham tentang pluralitas sebagai keniscayaan, maka kekerasan akan terhindarkan.

Dari titik ini, pluralitas tafsir atas teks menjadi langkah awal untuk melihat tanda-tanda zaman yang telah berubah. Salah satu syarat, yaitu tanpa sekat-sekat 'hirarkis' ("kita" dan "mereka," subyek dan obyek). 

Karena itu, yang plural dan berbeda adalah dirinya sendiri. Semuanya saling mengisi dan menopang antara satu dengan lainnya.

Apa yang dimaksud dengan pembentukan ulang diskursus dan penafsiran ulang atas teks adalah ruang yang plural untuk mempertanyakan seluruh disiplin ilmu. Ia ditandai oleh rangkaian relasi-relasi metode ilmiah yang melampaui pikiran dan pengalaman. Perbedaan itu tidak terhapus lantaran pikiran--- deduksi dan persepsi inderawi--- induksi masih selalu ada. Keduanya memiliki cara yang berbeda karena tanda pluralitas selalu melekat dalam dirinya.

Sementara, pemikiran maupun penafsiran baru atas teks-teks berhadapan dengan kompleksitas permasalahan yang kita hadapi saat ini. Di situlah validitas kebenaran harus diuji.

Dalam rangkaian relasi-relasi dan pembentukan keserbaragaman diskursus melalui ucapan dan teks tidak bisa lari dari kenyataan atas Aku dan sang Lain sebagai pengulangan sintesis a priori. Yang validitas obyektifnya dari representasi yang plural (intelek, persepsi inderawi, hasrat, dan imajinasi). Representasi semakin sering diucapkan, semakin ada kemungkinan terjadi pembentukan rangkaian relasi-relasi yang tidak terputus-putus. 

Jika terjadi peristiwa bersifat 'dadakan', yang diperankan oleh anak gadis. Dia tersenyum di tengah kesedihan yang menimpanya. Anak gadis itu seperti manusia lain hidup dengan latar belakang dan identitas yang berbeda dengan lainnya di muka bumi.

Kini, seekstrim-ekstrimnya pertentangan antara satu dengan lainnya, maka perbedaan sebagai kenyataan yang kita hadapi bukanlah penampakan horor atau monster. Bahasa yang digunakan oleh anak gadis bisa diurai, dianalisis, dan dideskrispsikan melalui disiplin ilmu pengetahuan. Akhirnya, semua bisa tertuju pada pembentukan obyek-obyek diskursus.

Dari situlah juga terjadi proses pembentukan rangkaian relasi-relasi antara kenyataan yang dihadapi dan representasi yang tersuguhkan di depan kita. Fakultas hasrat melibatkan psikologi. "Aku damai, Anda bahagia," "Aku bersalah, Anda memaafkanku." Dalam Writing and Difference (2001), Jacques Derrida mencoba mengorelasikan rangkaian pernyataan-pernyataan afirmatif tentang keserbaragaman diskursus, "bahwa penduduk terdiri dari berbagai macam latar belakang secara epistemologis, ontologis, dan fenomenologis, yang berusaha untuk tidak terjadi kebungkaman di bumi." Dia percaya pada ruang komunikasi, yang tidak lebih titik partikularitas dari ruang manusia.

Derrida menyatakan "wajah" sebagai konsep dari Levinas bukanlah sejenis bentuk yang terulang dari dunia ini. "Aku tidak mungkin berbicara dengan sang Lain, membuat sebuah tema sang Lain, mengucapkan sang Lain sebagai obyek dalam akusatif". 

Mungkin juga tidaklah berlebihan, jika pluralitas obyek sedang menuju ke obyek a priori, dan obyek a priori menyediakan dirinya sebagai bagian dari obyek diskursus. Obyek pluralitas dan obyek perbedaan bisa jadi merupakan bagian dari obyek a priori, sebagaimana kita tidak perlu khawatir pada keserbaragaman diskursus seiring dengan keserbaragaman inderawi.

Seseorang mengajukan pertanyaan. Mungkinkah pluralitas obyek sesuai dengan representasi obyek (intelek atau indera)? 

Orang memiliki hasrat untuk hidup bersama dalam perbedaan juga suatu kekuatan dari sintesis a priori ala Kant. Kita masih bisa mengajukan pertanyaan berulang-ulang tentang rangkaian relasi-relasi tertuju pada representasi subyek yang dikaitkan dengan disiplin psikologi dan representasi obyek dengan disiplin ekonomi atau diskursus medis. 

Akan tetapi, setiap ide tentang pluralitas memiliki bentuk logis tidak bisa disamarkan oleh prinsip pengulangan dan dibingungkan oleh diskursus ilmiah seperti disiplin psikologi, ekonomi, dan lainnya. Kita masih terus maju beberapa langkah dan terus mengontrol cara berpikir dan berbicara tentang perbedaan sebagai anugerah. Terlepas senang atau tidak, kita tidak bisa membiarkan kedok menutupi kenyataan atau noda apapun yang melekat pada wujud kehidupan, yang menjadi bagian dari kita sendiri.

Saudara, teman, dan tetangga, musuh atau mereka bukan musuh. Karena kita semua terdapat proses pembentukan relasi-relasi. Untuk apa kita banyak berbicara. Sementara keharmonisan dan kemurahan hati sebagai syarat toleransi dirusak oleh kebencian merajalela antara manusia. Pada orang yang sama berbicara dengan dia dan membebaskan bahasa: "Aku" adalah dia. Aku hidup, dia sendiri adalah sang Lain melalui "Kita Semua." 

Kalimat seperti: "Kita telah menunjukkan bahwa 'Satu' adalah bukanlah sang Lain dan subyek tunggal", dalam ruang bersama secara sadar atau tidak sadar telah melibatkan pernyataan-pernyataan yang syarat ucapan dan teksnya sangat situasional, jika bukan dikatakan kontekstual yang tidak tersyaratkan. Dia bertahan pada situasi keindependenan eksistensi yang tidak perlu dimunculkan oleh individu-individu yang sama saat Aku adalah dia, yang berbicara baru saja berlalu dari sini.

Syarat-syarat yang diajukan sebagai rangkaian relasi-relasi yang masih dibicarakan tidak sedikit jumlahnya. 

Apapun alasan yang kita ingin bicarakan dan dimanapun berada. Aku adalah dia dan sang Lain sebagai subyek atau obyek tidak lagi dalam pengulangan yang sama, tetapi dalam yang berbeda. 

Dalam teks Difference and Repetition (1994), Gilles Deleuze menandainya di ujung kalimat: ... "dan dimanapun sang Lain dalam pengulangan yang sama." Aku dapat menerima kenyataan bahwa orang-orang harus tegar dan berlapang dada dengan diskusi tentang pertentangan yang menyita perhatian di mana kita bicara saat ini.

Kelihatannya, perbedaan terjadi antara kita terhampar dalam permasalahan, acapkali kita tidak mengetahui dari mana kemunculan inti perdebatannya dan tidak jelas ujung pangkalnya. 

Seperti Anda mengetahui, jika Aku tidak terlalu tertarik dengan eksklusifitas. Tetapi, akhir-akhir ini, Aku tidak jarang mengajak pada Anda semuanya.

Marilah kita menikmati permainan kecil dari perbedaan besar! Anggaplah saja setiap peristiwa yang menegangkan merupakan bagian dari hiburan untuk melepas penat dan beban pikiran kita sendiri yang pernah Anda ucapkan. 

Deleuze tidak jauh beda dengan Derrida, tanda-tanda kehidupan menyebabkan orang bisa menarik garis perkembangan untuk membicarakan tentang kemungkinan subyektifitas yang terpusat. Kita bisa berbicara berbagai diskursus yang semula menjauhi dari diri seseorang. 

Setelah itu, Anda tidak akan lupa, bahwa eksistensi dirinya sendiri antara struktur perbedaan termasuk sistem Aku-Diri dan proses penciptaan penafsiran atas ucapan dan teks yang terjatuh dalam kedalaman hasrat dan kesadaran yang kosong.

Bisa jadi, penafsiran berubah menjadi hak dan pola tunggal dari individu atau institusi tertentu. Bahasa yang kita gunakan dianggap direduksi sepanjang peristiwa besar terdapat selah dan imbuhan disediakan lidah untuk membaca atau retina mata untuk melihatnya, persis terdapat benda-benda yang tersusun di sekeliling kita. 

Anda selanjutnya mencoba sedikit menata apa yang dibicarakan seperti gambar hidup. Anda harus mengimpikan keterpaduan antara seseorang yang berpikir dan apa yang dinampakkan. Seperti Anda cita-citakan muncul dari kesadaran subyek. 

Kita harus mengatakan sekali lagi, kesadaran bukanlah kesadaran naif. Suatu kesadaran yang hanya melahirkan kefanatikan buta, yang bersumber dari si pencetus dan si penafsir atas ide, ucapan, dan teks. Jika tidak terkontrol, ia akan memancing pertentangan baru.

Anda melihat, membaca, dan mendengar sendiri bagaimana masih kuatnya beberapa doktrin kesadaran subyek yang menghubungkan individu-individu melalui ujaran-ujaran, yang secara tradisional menjadi instrumen kepatuhan-kepatuhan, ketaatan pada kelompok atau golongannya, perlawanan, dan perjuangan untuk mewujudkan dunia mimpinya. Deleuze melanjutkan, individu-individu dilihat menjadi obyek lain.

Ketika Aku menjadi subyek, dan tidak menjadi subyek tatkala Aku berbalik menjadi obyek. Sementara, sang Lain a priori tidak dianggap ada sama sekali. Tetapi, siapa dirinya untuk lainnya dan lainnya untuk diri, yang darinya berada dalam dua sistem, yang didefinisikan sebagai nilai ekspresi dari sebuah sistem berlaku antara satu dengan lainnya.

Semuanya ada di depan kita begitu menarik karena berada dalam rangkaian relasi-relasi yang kompleks. Kita bisa mengatakan, dalam suatu permasalahan yang lebih luas dampaknya, seperti doktrin dalam sistem pendidikan atau sistem politik. 

Kita harus lebih jelih melihat adanya celah besar yang terdapat dalam apa yang disebut 'perang narasi' terhadap diskursus, yang berdampak pada kehidupan sosial. Pendidikan dan politik saling menopang. 

Sehingga ada istilah pendidikan politik, yang memiliki akses dalam suatu diskursus. Kita belum terlambat untuk mengetahuinya, bahwa pendidikan atau politik merupakan sarana untuk mengelola atau memodifikasi diskursus tertentu, yaitu dengan cara penyebaran kuasa sekaligus pengetahuan yang dirahinya.

Belum lagi ketika kita berbicara mengenai apa selera hidup. Sisi yang lebih luas, bagaimana diskursus tentang pluralitas dalam kehidupan bisa dinikmati oleh setiap individu?

Diskursus tentu melibatkan rangkaian pernyataan-pernyataan yang didalamnya bersemayam suatu proposisi. Anda sendirilah yang akhirnya mengatakan: "Aku tidak mengetahui". "Anda dan lainnya tidak mengetahui, tetapi Anda di bawah fantasi yang kuat." "Anda mengatakan, Aku tidak mengetahui, bahwa tindakan intoleran dan kekerasan membuat tontotan gratis sebagai peristiwa yang menarik." 

Fantasi dan tontonan dalam perhitungan dari kuasa yang efektif. Jika Aku mengatakan "Aku mengetahui", "Aku yakin dan pasti", jelas dan terpilah. Bukan hanya Aku dipengaruhi oleh fantasi tontonan, tetapi juga sungguh-sungguh terdapat sesuatu hal berada di luar diriku. 

Aku juga sadar bahwa tontonan yang mengundang tanda tanya besar harus segera dipecahkan, bukan menolaknya tetapi menundanya. Aku sebagai sang Lain atau sebaliknya akan berlawanan secara a priori. Hal ini ketika Aku tidak mengatakan: "Aku yakin dan Aku mengetahui" bahwa ada beberapa penonton di sana, sekalipun tanpa mengatakan yang sebaliknya terjadi dan tanpa penonton bersemangat menyaksikan peristiwa.

Cobalah kita bandingkan, yang mungkin berbeda persfektifnya. 

Dalam satu peluang, "Aku ingin membaca", tetapi persepsi yang berbeda muncul saat Aku mengatakan: "Aku tidak senang membaca buku." 

Kita tidak ingin ketinggalan untuk menerima rangkaian-rangkaian diskursus keagamaan ditandai dengan teks-wahyu keagamaan, kata-kata propetik atau esoterik terjadi sekian abad lalu sebelum terbentuk pola pernyataan di tengah perbedaan spasial ke perbedaan temporal.  Pembacaan atas teks Al-Qur'an: "Maka, apabila telah Aku sempurnakan kejadiannya (dari tanah) dan Aku tiupkan ruh (ciptaan)-Ku kepadanya ..." "Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur'an dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya." Kita mengetahui bahwa prinsip keterbukaan dalam penafsiran atas pluralitas teks tersebut ditandai dengan makna-makna yang berbeda setelah kita terlibat interaksi antara penafsir dan pembaca melalui metode penafsiran disertai pendekatan kontekstual yang dimuatinya.

Tetapi, di sini kita tidak ingin larut dalam perdebatan sekitar tema-tema pluralitas. Serangkaian tanda-tanda yang ditentukan oleh obyek diskursus. 

Selanjutnya, ia dibicarakan pada rangkaian relasi-relasi ucapan dan teks dengan Aku dan Kami melalui bentuk plural, yang bermuatan konflik dan kekerasan. Kita sebaiknya segera meninggalkan pembicaraan tersebut dan kita melangkah pada rangkaian pernyataan-pernyataan, yang dibicarakan tentang penghargaan pada perbedaan (wujud toleransi) menampakkan dirinya dalam diskursus keagamaan, mungkin terjadi di sekeliling kita.

Taruhlah misalnya, "Aku berkesan dengan ucapan seorang bapak yang ada di sana "kalau di sini tidak ada pembeda-bedaan, mana yang Muslim, Katolik, Hindu, Konghucu, dan sebagainya. Kami di sini menganggap semuanya sama." "Tak jarang kita menganggap diri kita berbeda. 

Memang tak ada yang menyalahkan jika kita menganggap diri kita berbeda." Mungkin disebut dalam diskursus filosofis berhubungan dengan diskursus lainnya menandai "yang Sama dalam yang Berbeda." Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulum Al-Din. "Nabi berkata: Aku hanya manusia. Aku marah saat yang lain marah." "Hal lain untuk yang lain. Aku tidak mendapatkan masa lalu, Aku juga tidak bisa mengharapkannya untuk mendapatkan masa depan. Aku tidak akan pernah mendapat apa yang tidak diperintahkan untukku. Apa yang ditetapkan untukku semestinya mendatangiku. Aku tidak tahu dimana dua hal hidupku ini akan berakhir." Untuk mengatasi status subyek berubah menjadi obyek, dari situlah pluralitas makna mengambil arah memutar kembali ke permulaan. Kita bisa mengambil bentuk perbandingan.

Misalnya, kata-kata atau kalimat sakti Al-Hallaj: Ana Al-Haq, "Aku adalah Kebenaran" (I am the Absolute Truth). Diskursus profetis dan esoteris bukan hanya tidak dicirikan obyek-obyek khusus, tetapi juga oleh cara pembentukan lain dari obyek-obyek yang berbeda setelah merampungkan semua yang bercerai-berai. 

Pembentukan tersebut dimungkinkan oleh kelompok relasi yang terdapat dalam kemunculan perbedaan dan arah memutar balik ke titik tolak. Orang bisa saja menilai kalimat-kalimat tersebut bukanlah ucapan dan teks menjadi pusat perhatian.

Suatu hal mungkin, kita belum sepenuhnya berpikir, ketika kesadaran subyek dalam sebuah sistem Aku-Kami-sang Lain dinina bobokkan secara gegabah dalam wilayah konstekstual. Orang tanpa berhati-hati akan terperangkap kedua kalinya, yaitu ketidakhadiran rangkaian relasi-relasi antara teks dan konteks.

Keduanya dihubungkan dengan pluralitas yang ditafsir dan dibacakan dalam kurun waktu yang telah berubah. Kita mengetahui dan barangkali permasalahan ini telah muncul semenjak umat manusia mulai menggunakan bahasa lisan. 

Bahwa satu nama acapkali diucapkan pada tempat nama lain, satu kata seringkali bisa memiliki dua makna atau lebih dalam waktu yang bersamaan.

Satu makna atau lebih tentang pluralisme dan pluralitas tidak merubah makna lainnya yang telah 'jelas' dan 'tidak sulit' dipahami oleh orang, yang kemungkinan tersembunyi makna yang bersifat profetik dan esoterik. Mungkin, hanya soal waktulah bagi kita. 

Saat kita berpikir dan berbicara untuk mengungkap makna lain yang tertanam dan tertuju di luar kata-kata dan benda-benda dalam bentuk plural.

Di balik rangkaian relasi-relasi ucapan dan teks terdapat suatu formulasi yang tampak, ada kemungkinan akan terjadi sesuatu yang mengatur perkembangan dan kemunculan kembali peristiwa. 

Langkah lain, pemisahan kata demi kata bukanlah permasalahan, melainkan nama-nama atau benda-benda yang telah diberi makna dalam bentuk plural tidak lebih banyak daripada diingat kembali.

Hal yang menarik pada makna adalah bentuk plural dianggap tidak berpengaruh apa-apa melalui doktrin kebenaran secara filosofis dan keilmiahan.

Bisa jadi pencarian makna-makna lain hanya berkaitan dengan susunan kata-kata atau kalimat dan wilayah pembentukan relasi-relasi antara keduanya bisa 'mentransendenkan ucapan dan teks'. Keduanya bukanlah hanya sekedar bagian dari kesadaran subyek dan kerja-kerja individual, tetapi proses ke arah pembentukan obyek-obyek diharapkan rangkaiannya memperlihatkan jejak-jejak yang harus kita lacak kembali.

Saya, kita, atau sahabat-sahabat mungkin punya cerita tentang bagaimana bertetangga dan berkawan dengan latar belakang pendidikan, pilihan politik, bahasa, etnis hingga agama yang berbeda.

Sejak dini, kita memang perlu memahami kehidupan bagaikan pelangi yang indah.

Pernyataan-pernyataan profetik, esoterik, dan paradoksal diucapkan tidak luput dari proses pelibatan makna dalam bentuk plural sekaligus dalam struktur perbedaan yang melekat dalam setiap teks atau susunan diskursif. 'Perbedaan dalam perbedaan' bukanlah hasil tampilan-tampilan duplikasi maupun kelompok kata-kata yang bisa disuguhkan dalam wilayah kinerja verbal tanpa penampakan relasi-relasi dengan wilayah obyek-obyek yang tersebar. 

Kita perlu belajar tentang sebuah keberlimpahan dan kepenuhan muatan kebenaran yang rancu terjadi bersembunyi antara kemurahan hati dan kekerasan. 

Contoh lain, saat perbedaan-perbedaan kecil melalui pernyataan dan tindakan individual tidak memiliki kecenderungan untuk menyulut bara pertentangan keras. 

Disamping itu, perbedaan-perbedaan juga tidaklah terlalu berperan dalam proses pengaburan identitas kelompok pernyataan atau orang-orang yang telah berbicara dengan identitas yang berbeda. Karena perbedaan-perbedaan tersebut telah dilokalisir dan dinetralisir pada wilayah diskursif yang bersifat material dan kepentingan kuasa lainnya. Padahal dari kuasa itulah yang sesungguhnya menjadi permasalahan kita di tengah lingkaran perbedaan-perbedaan.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun