Kita tidak bermimpi, bahwa orang hampir saja gencar mengkritik seandainya episode pembatasan ditandai bukti kartu vaksin di rumah ibadah.
Sebagian orang menyebarkan narasi atau pernyataan bernada miring mengenai kartu vaksin di media sosial.Â
Beberapa kali media mengunggah sharing seputar kartu vaksin. Judul dan konten dari narasi anyar sengaja dipilih demi daya tarik pemberitaannya. Setelah itu, ia ditunggu untuk dikomentari oleh warganet.
Begitu seru dan beragam komentarnya karena ada pihak yang mendukung dan pihak yang menolak. Bisa saja orang yang pada dasarnya malas pergi ke masjid atau rumah ibadah lain merasa terhibur dengan adanya pemberlakuan kartu vaksin.
Orang jarang apalagi malas ke masjid memanfaatkan keadaan untuk tidak terbebani kartu vaksin dan protokol kesehatan.Â
Orang malas ke masjid biasanya tidak peduli pada permasalahan kapasitas dua puluh persen atau lebih. Yang penting mereka tidak terlibat langsung dengan lingkaran warganet yang bebas berselancar komentarnya di media sosial.
Sekedar mengingatkan orang di sekitar rumah kita sendiri tentang informasi kartu vaksin tidak apa-apa sejauh hal itu pemberitaannya jelas dan pasti.Â
Orang-orang pada akhirnya melihat kondisi terkini, bukan lantaran ikut arus atau melawan arus informasi yang melimpah ruah di jagat maya.
Orang-orang bergerak ke tahap perkembangan kebijakan kartu vaksin hanya berlaku di luar rumah ibadah. Seperti diberitakan oleh media sosial dan media lain.Â
Sisa apa lagi terjadi yang mesti diperhatikan seksama dalam ruang informasi melalui media sosial dan media lain?
Jika bukan kita membicarakan kembali sekitar tema kartu vaksin dengan rangkain kata-kata "seandainya," "kengototan pengambil kebijakan," "apa yang akan terjadi" tatkala kartu vaksin berlaku bagi jamaah masjid.