Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sang Pengubah dan Nyaris Menyerempet Simbolisme Ketidaksadaran

1 Oktober 2022   08:05 Diperbarui: 9 Oktober 2022   20:18 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : detik.com, 10/07/2021

Sekitar dua wujud sang pengubah, yaitu pemerintah sebagai pembuat kebijakan dan media sosial. 

Pemerintah melalui regulasi sebagai basis kebijakan pembatasan mobilitas masyarakat dengan segala tahapan perubahannya. 

Media sosial sebagai ruang baru atau ruang siber menggambarkan peristiwa mengenai jumlah pasien, sembuh,  meninggal, wilayah sebaran hingga dampak-dampak pandemi dan kebijakan.

Sekiranya pembuat kebijakan menutup kuping dan matanya, bisa saja kartu vaksin berlaku untuk jamaah di rumah ibadah.

Tidak khayal lagi, orang akan berharap-harap cemas. Mengapa demikian? 

Masyarakat tidak ingin lagi dibebani oleh sebuah mekanisme pengaturan secara individual yang ketat.

Suatu pengaturan yang ketat dengan titik permukaan tubuh yang ditandai. 

Pokoknya, mulut, hidung, tangan, dari ujung rambut hingga ujung kaki harus bebas dari penularan virus.

Ditambah lagi, ada rasa cemas bercampur-aduk dengan harapan menyertai kebijakan berupa pengaturan ketat dan pelonggaran bagi rumah ibadah.

Kita bisa bayangkan, ketika kebijakan pembatasan ruang pergerakan beribadah dibuat secara gegabah, maka akan melahirkan efek pemerosotan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

Rumah Ibadah sebagai Simbolisme Ketidaksadaran

Pembatasan ruang gerak individu secara administratif terdapat pengecualian bagi yang punya kartu vaksin. 

Tetapi, sasaran rumah ibadah ditinjau kembali.

Dari sini, saya membayangkan simbolisme ketidaksadaran dalam pandangan Jacques Derrida (1982 : 85) muncul di balik 'rumah ibadah' melebihi kartu vaksin.  

Selang beberapa hari sebelum sebuah pernyataan diralat mengenai sasaran kartu vaksin. Satu ditujukan pada rumah ibadah, yang lain pusat perbelanjaan seperti mall.

Hal yang pertama ditarik kembali kebijakannya, kecuali hal yang kedua.

Pemerintah mencoba untuk merancang sebuah 'peta jalan' dalam kaitannya dengan sebaran penularan, uji coba, dan upaya pencegahan virus corona di lintas sektor, termasuk rumah ibadah.

Mengikuti pemberitaan media sosial, tidak sedikit pihak merasa keberatan atas kepemilikan kartu vaksin yang berlaku untuk jamaah rumah ibadah, termasuk para jamaah masjid. 

Bukan perkara kartu vaksin itu penting atau tidak, melainkan kreatifitas dan ketenangan menghadapi permasalahan lonjakan kasus corona.

Apa mungkin yang terjadi jika semuanya tidak terkontrol? Kartu vaksin bukan hanya bagian dari intsrumen dan mekanisme pendisiplinan individu.

Tetapi, sejauh mana pengukuran untuk mengetahui bahwa suatu wilayah sudah aman atau belum dari penularan virus. 

Mereka yang telah divaksin bisa melakukan kegiatan di rumah ibadah, tetapi satu pengaturan, yang ditandai vaksinasi dengan kapasitas hanya dua puluh lima persen atau maksimun dua puluh orang.

Memang betul, peristiwa pandemi corona melahirkan instrumen kebijakan. Perjalanan waktu pun berbicara pada kita.

Konsekuensi dari perpanjangan kebijakan dengan alasan untuk menekan angka penularan kasus Covid-19 menjadi perhatian pemerintah melalui kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level 4.

Target cakupan vaksinasi di seluruh wilayah tanah air nampaknya tidak seragam. Ia tergantung pada tingkat keparahan.

Belum lagi vaksinasi yang diberlakukan untuk usia anak sekolah, lanjut usia, dan penyandang disabilitas juga memiliki target cakupan tersendiri. Khusus kartu vaksin bagi jamaah masjid sudah membuat kita kelabakan.

Tetapi, rupanya koordinasi dan pemantauan merupakan model kerja pemerintahan. Ia harus melihat langsung apa sesungguhnya yang sedang terjadi di lapangan. 

Pemerintah bertugas untuk memantau, mencatat, dan membuat laporan hasil pemantauan kasus pandemi dibarengi tindak lanjut.

Begitulah upaya penanganan kasus pandemi yang patut untuk diberi nilai tidak mengecewakan.

Akankah terjadi? Dalam benak saya, suatu pernyataan pra ralat dibalik kebijakan pemerintah betul-betul efektif. 

Setiap tempat yang memenuhi syarat menjadi rumah ibadah, termasuk ruang ibadah secara teknis bisa digunakan oleh jamaah di luar masjid.

Lalu, apa keterkaitannya antara orang-orang malas pergi ke masjid dan peniadaan kartu vaksin di rumah ibadah yang ditetapkan oleh pemerintah? 

Paling gencar pengenaan kartu vaksin, isolasi, dan protokol kesehatan lain, ketika klaster penularan virus melalui kerumunan jamaah di masjid.

Kita tidak bermimpi, bahwa orang hampir saja gencar mengkritik seandainya episode pembatasan ditandai bukti kartu vaksin di rumah ibadah.

Sebagian orang menyebarkan narasi atau pernyataan bernada miring mengenai kartu vaksin di media sosial. 

Beberapa kali media mengunggah sharing seputar kartu vaksin. Judul dan konten dari narasi anyar sengaja dipilih demi daya tarik pemberitaannya. Setelah itu, ia ditunggu untuk dikomentari oleh warganet.

Begitu seru dan beragam komentarnya karena ada pihak yang mendukung dan pihak yang menolak. Bisa saja orang yang pada dasarnya malas pergi ke masjid atau rumah ibadah lain merasa terhibur dengan adanya pemberlakuan kartu vaksin.

Orang jarang apalagi malas ke masjid memanfaatkan keadaan untuk tidak terbebani kartu vaksin dan protokol kesehatan. 

Orang malas ke masjid biasanya tidak peduli pada permasalahan kapasitas dua puluh persen atau lebih. Yang penting mereka tidak terlibat langsung dengan lingkaran warganet yang bebas berselancar komentarnya di media sosial.

Sekedar mengingatkan orang di sekitar rumah kita sendiri tentang informasi kartu vaksin tidak apa-apa sejauh hal itu pemberitaannya jelas dan pasti. 

Orang-orang pada akhirnya melihat kondisi terkini, bukan lantaran ikut arus atau melawan arus informasi yang melimpah ruah di jagat maya.

Orang-orang bergerak ke tahap perkembangan kebijakan kartu vaksin hanya berlaku di luar rumah ibadah. Seperti diberitakan oleh media sosial dan media lain. 

Sisa apa lagi terjadi yang mesti diperhatikan seksama dalam ruang informasi melalui media sosial dan media lain?

Jika bukan kita membicarakan kembali sekitar tema kartu vaksin dengan rangkain kata-kata "seandainya," "kengototan pengambil kebijakan," "apa yang akan terjadi" tatkala kartu vaksin berlaku bagi jamaah masjid.

Akhirnya, kelanjutan PPKM dengan kebijakan pelonggaran level satu bisa seratus persen menjadi lebih leluasa melaksanakan kegiatan di rumah ibadah. (kompas.com, 22/03/2022)

Simbolisme Ketidaksadaran, Dilarang ini, Perlihatkan itu

Hari demi hari kita menunggu perubahan atas nama 'normal baru' dan pemulihan ekonomi nasional menuju fase endemik. 

Kita hanya mendengar dan membaca perkembangan berita melalui media sosial dan media lain yang memberitahukan bahwa perlahan-lahan irama kehidupan sehari-hari kembali dirahi sebagaimana pidato dan pernyataan pesohor negara.

Tidak ada tanda "tanya besar" dalam benak orang-orang, karena hal demikian merupakan harapan bersama untuk menjalani rangkaian kisah atau episode kehidupan berbangsa dan bernegara di tahun-tahun mendatang akan keluar dari krisis. 

Lebih baik wait and see sebelum terjadi di hadapan mata kita.

Hemat saya, sekali lagi, seandainya pengaturan kartu vaksin berlaku bagi para jamaah rumah ibadah seperti masjid dan rumah ibadah lain, kita mungkin bisa berimajinasi. 

Daripada kita dikenai bukti pelanggaran karena tidak bisa menunjukkan kartu vaksin, lebih baik kita urungkan niat dulu pergi ke masjid. 

Ataukah mungkin juga ada dasarnya jika kita memang malas atau jarang ke masjid?

Tempo hari, pelarangan diantaranya bentuk "kerumunan", ditengarai berasal dari jamaah masjid. 

Coba saja masjid memajang: "Dilarang berkerumun!" "Longgarkan safnya!" Terakhir, "Perlihatkan kartu vaksin Anda!" Bandingkan dengan kata-kata: "Lurus dan rapatkan safnya!" 

Sebaliknya, aparat negara merevaluasi dan berimajinasi juga untuk menghindari lebih banyak kasus corona.

Cukup banyak alasan dari berbagai pihak. Bukan permasalahan mengetahui atau tidak tentang agama, tetapi kemaslahatan umat jauh lebih penting ketimbang menggiring penolakan atas kartu vaksin menuju langkah "bunuh diri." 

Formalisme beribadah tidak jarang berada dalam pandangan dan sikap 'kaku' dan kemungkinan menyulitkan diri umat untuk menentukan pilihan dalam keadaan darurat seperti zaman sekarang.

Orang malas atau jarang ke masjid sehingga terlepas atau terikat dengan kartu vaksin bukanlah sumber pemicu, melainkan pemahaman tentang bahaya penularan virus atau pengetahuan tentang kartu vaksin memang diakui luput dari pemberitaan media.

Orang malas ke masjid hanya lebih banyak kemungkinan untuk membatasi dirinya sebelum pembatasan ruang beribadah di masjid. 

Esensi kebijakan kartu vaksin bagi penduduk juga bukan bertujuan untuk membatasi hingga melarang orang-orang beribadah di rumah ibadah, tetapi diantaranya untuk mencegah kepunahan umat manusia dari bahaya pandemi yang mematikan.

Hanya orang malaslah ke masjid tidak berusaha untuk bermain sebebas-bebasnya agar tidak terikat pengaturan kartu vaksin. 

Kecenderungan orang malas ke masjid bukanlah lantaran tidak siap menerima resiko penularan virus.

Bagi kaum fatalis, orang yang menyerah bulat-bulat atas nasib memandang dan mengambil sikap berbeda, ketika mengatakan bahwa buat apa ada kartu vaksin. 

Ada atau tidak ada kartu vaksin, jika memang ajal kita sudah ditakdirkan, kita siap saja untuk menghadapi kematian yang pasti diantara setiap manusia. Mengapa kita bisa menggunakan segala macam pengaturan?

Menurut pandangan dan sikap kaum fatalis atas kasus orang malas ke masjid tidak ada hubungannya dengan penggunaan kartu vaksin. Kaum fatalis merupakan ujung ekstrim dari 'kaum bebas untuk berikhtiar'. 

Hal ini pula membuat orang malas ke masjid tidak memiliki representasi pengetahuan atas ikhtiar untuk mengubah dunia.

Kita sadar bahwa dasar pemahaman yang keliru tentang dunia saja sudah membuat keadaan kita berbahaya dan mungkin lebih berbahaya dari pandemi saat sekarang.

Orang malas ke masjid tidak lebih dari sensasi dan kompensasi untuk mengambil pilihan dalam kehidupan pribadinya. 

Padahal kemunculan orang malas ke masjid bukanlah menyangkut permasalahan pribadi, tetapi juga berkelindang dan berselang seling dalam sisi kehidupan sosial, intelektual, dan spiritual.

Selain itu, orang tidak perlu marah dan nyinyir hanya karena masjid terus menjadi sasaran dan obyek kebijakan negara. 

Kita tidak ingin larut dalam situasi seperti orang menarik dirinya dari bayangan gelap, ia bukan ketika orang malas ke masjid menampilkan dirinya cukup beralasan untuk memilih yang mana telah jelas dan pasti dalam kehidupannya.

 Ada yang perlu digaris bawahi di sini. Mengisahkan bagaimana cuitan demi cuitan muncul dari warganet yang mencoba menyoroti kartu vaksin. 

Mengingat berbagai komentar beragam ada yang dibalas dengan candaan. "Biasalah itu, seseorang malas ke masjid." Seseorang disangka terbatas informasi dunia luar, tidak ditahu justeru lebih cepat menerima informasi perkembangan kartu vaksin.

Secara fisik, kenyataannya si fulan malas ke masjid seakan-akan memiliki jarak dengan jamaah masjid bergaya ustadz. 

Tetapi, buktinya seseorang tidak meraba-raba apa-apa yang terjadi di luar dunianya sendiri. Dia tidak tampak terisolir dari dunianya, justeru masih percaya, bahwa kartu vaksin, akhirnya tidak berlaku di rumah ibadah.

Mujurlah orang-orang yang setiap hari menyempatkan dirinya pergi shalat berjamaah di masjid, tetapi lebih beruntung lagi orang-orang membuat alasan pembenaran yang tidak rajin ke masjid berdasarkan kepemilikan kartu vaksin. 

Seseorang yang hatinya di masjid tidak tergantung pada kondisi di sekelilingnya, bukan karena kartu vaksin, apalagi ingin dipuji.  

Sebelumnya, tidak semua masjid ditutup. Pengaturan individu ketat dan kaku berakhir pada mekanisme pelonggaran karena terjadi perkembangan baru dari rangkaian efek kebijakan yang dimungkinkan dibuat untuk lebih luwes.

Sesuai perkembangan kondisi kekinian yang kita hadapi tidak berjalan satu arah, maka betuk kebijakan pun memungkinkan berubah-ubah. Jika individu memakai kartu vaksin itulah pilihan, sekalipun malas atau jarang ke masjid.

Simbolisme Ketidaksadaran dan Ruang Baru

Di era revolusi industri keempat seperti sekarang, orang-orang yang membaca medial sosial tidak dapat menyembunyikan gelak tawanya. 

Lalu, di zaman ini, kita bisa merenung kembali apa yang keliru dalam diri kita.

 Apa latar belakang kita sehingga menjauhi kartu vaksin dan protokol kesehatan? 

Mungkin kita telah banyak kehilangan momentum untuk berubah.

Kita juga lebih sering menyoroti hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan inti permasalahan. Apa yang tidak mustahil tanpa jejak data digital. 

Jika memang seseorang malas, karena mungkin terdapat alasan satu pengaturan untuk menghindari berkumpul-kumpul atau berkerumunan saat ini. 

Bukan karena alasan pembenaran bermalas-malasan ke masjid. Kita telah mengikuti protokol kesehatan jauh sebelum ada kebijakan kartu vaksin diberlakukan.

Kita berada di zaman krisis, suatu era dimana ruang informasi bebas kita akses sesuai apa selera, minat, dan tujuan kita. 

Kita mengetahui, era sekarang adalah era revolusi teknologi digital yang menimbulkan efek buruk atau baik. 

Terhadap orang-orang yang patokannya kartu vaksin dipersilahkan belajar bersama dengan orang-orang tidak pernah mengalami sebelumnya.

Terbilang banyak arus informasi yang melimpah ruah dan berbagai jenis informasi tentang masjid dan bukti sah kepemilikan vaksin di tingkatan dalam negeri maupun dunia. Melalui buku elektronik dan internet, maka teks tertulis tidak ketinggalan untuk dilahap dengan berbagai jenis informasi kita unggah.

Tidak ada efek lain, kecuali melimpahnya arus informasi seiring dengan informasi tentang pentingnya vaksin bagi penduduk global. Misalnya, terkait keberadaan masjid dalam hubungannya dengan ruang ritual, kehidupan religius, dan sosial (Jasser Auda, 2007 : 75) disertai dengan ruang kerumunan yang tidak terelakkan dan ruang beribadah (Abdulkarim Soroush, 2009 : 182) dalam masjid.

Marilah kita memenuhi kartu vaksin sebagaimana pilihan kita untuk datang beribadah atau tidak di masjid!

Melalui googling, meskipun masih dibutuhkan, buat apa lagi kita membeli buku, sementara tersedia di internet. 

Bukan hanya membaca teks tertulis di media sosial menyangkut kartu vaksin dalam titik perkembangan mutakhir mudah diperoleh. Tinggal cari link tulisan yang terkait dengannya.

Di era teknologi informasi semakin mudah mengaksesnya, tetapi bukan mustahil akan ada peristiwa kelahiran ironi. 

Tidak bisa juga dipungkiri di tengah melimpah ruahnya arus informasi, bukan hanya orang malas ke masjid, tetapi orang juga malas membaca atau paling kurang minat baca masyarakat cenderung menurun.

Kita tidak mengetahui persis apa niat dan tujuan seseorang mencari informasi di era digital. 

Pada umumnya, kurangnya orang membeli buku karena minat bacanya yang rendah. 

Orang lebih memilih untuk membaca jika bernilai ekonomi. 

Era digital juga mengubah sebuah kenikmatan ritual ibadah atau keranjingan membaca buku elektronik seputar kehidupan ritual ibadah menuju ritual perayaan yang berbeda dan baru.

Jika kita tergolong orang malas ke masjid dengan gaya lama, kita akan tersisihkan di era informasi, bukan karena kartu vaksin didapatkan informasi melalui internet. 

Dibandingkan orang akan menempatkan perbedaan dalam perolehan limpahan arus informasi, karena dia terhubung dengan televisi dan media daring. 

Melalui internet, kita bisa menempatkan diri kita dengan orang malas ke masjid. Seseorang bisa mengakses informasi dengan cara googling tentang kebijakan kartu vaksin.

Biarkanlah orang berseloroh aneh-aneh, yang penting bagaimana kita bisa memanfaatkan waktu untuk bercengkrama secara sosial melalui media. 

Di balik sisi samar-samar bahkan sisi gelap, ruang siber kita gulati dengan segenap kemampuan kita. Bukan menjauhi panggilan nurani dan arus informasi. Kita tidak tenggelam dalam arus informasi.

Era digital yang memengaruhi cara berpikir dan tindakan kita merupakan sebuah arena bermain untuk bisa menemukan siapa sesungguhnya diri kita. 

Arus informasi tenggelam dalam arusnya sendiri; suatu zaman perubahan yang menemukan arus berikutnya. 

Sekarang, kita bisa mengakses informasi tentang kartu vaksin dalam berita nasional tinggal cari media daring. Dari sanalah terlibat ritual perayaan tertentu.

Belum cukup tulisan fiksi dan berita yang diragukan validitasnya. Kitalah yang menguatkan ide dan pemikiran yang mengakar pada esensi kehidupan. Karena ada sisi kehidupan yang tidak bisa dipermainkan atau disia-siakan begitu saja. Termasuk pilihan orang untuk malas atau rajin ke masjid.

Kita tidak perlu mengatakan pada orang lain ketika representasi beragama diukur atau disandarkan pada kedekatannya dengan masjid. 

Belum tentu di era digital dapat menjamin orang berdasarkan kualitas ilmu pengetahuan mengenai kebijakan kartu vaksin dengan segala pernak perniknya seiring hasrat seseorang supaya rajin ke masjid. 

Memang betul, masjid sebagai tempat ibadah sebagai tanda beribadah seseorang, tetapi tidak lantas sudah cukup sampai di situ.

Tempat beribadah dan bermedia sosial yang taat beragama hingga sampailah kita pada berita tentang perubahan kebijakan kartu vaksin diterapkan di luar masjid. Kebijakan lama dirubah dengan kebijakan baru.

Perpanjangan dan perubahan kebijakan PPKM level 4 ditunjukkan pada wilayah kapasitas, dari duapuluh lima persen menjadi limapuluh persen untuk tempat ibadah. Sisi ritual perayaan secara formal dimungkinkan muncul di luar rumah ibadah. (tempo.co, 17/08/2021)

Sedikit menyinggung formalisme syariah melalui masjid, di mata seseorang lebih cenderung menjadi suatu pilihan terpusat pada tekstual. Apa-apa saja yang tertera atau tertulis dalam teks (agama, hukum formal), begitu pula pengamalan lahiriah yang mencirikannya.

Kita telah mengetahui, bahwa rumah ibadah merupakan simbolisme keagamaan. 

Tetapi, ada jurang antara apa yang dipikirkan melalui disiplin kuasa negara melalui kebijakan dan presentasi vaksin sebagai anti-bodi yang ditemukan melalui disiplin ilmiah. Simbolisme yang direpresentasi oleh kuasa negara secara material terhadap rumah ibadah.

Jika tidak ditelaah secara lebih teliti, apa yang disebut simbol akan mengarah pada ruang kosong. Bisa dikatakan, rumah ibadah bukan lagi simbol, melainkan tanda. 

Seperti sekarang, kita masih menghadapi krisis. Jacques Derrida dalam Speech and Phenomena (1973 : 81) melihat aura krisis seiring dengan aura tanda. Simbol dan simbolisme ketidaksadaran tertuju pada rumah ibadah, ketika ia hanya perpaduan antara lahiriah dan batiniah, tetapi meninggalkan tanda kehidupan yang lebih luas dan beragam. Dari tanda kehidupan satu ke tanda lain.

Demikian pula kelahiran era digital  sebagai tanda kemajuan menandai pengetahuan intuitif berasal dari tanda kehidupan masa lalu.

Terhadap informasi perkembangan baru tentang kebijakan kartu vaksin setiap saat bisa kita akses melalui internet. 

Dalam era digital, orang bisa jadi akan mengalami misinterpretasi tanda. 

Orang malas ke masjid atau rumah ibadah lainbisa saja tergiring dalam misinterpretasi tanda atau citra melebihi simbol. 

Era digital tanpa simbol, kecuali tanda kelimpahan arus informasi. Suatu era tidak terkira jika kita hanya bisa terperangkap dalam simbol. Apa yang terjadi jika kita bergantung terhadap simbol?

Misalnya, penggunaan representasi simbolik secara kasar, liar, atau tidak terkontrol dari "antaragama" dan "antara negara dan rakyat" memungkinkan akan memicu konflik dan kekerasan.

Kita bisa percaya terhadap orang malas ke masjid, karena jelas pilihan dan tujuannya. Sama pentingnya antara pilihan seseorang terhadap masjid atau tidak dan kartu vaksin. 

Kita tidak ingin terjebak pada taraf simbolik-formalis belaka. Orang malas lebih getol dalam satu sisi kehidupan yang tidak boros dan kemampuan merefleksikan dirinya di luar orang-orang tidak mengerti jalan pikirannya dalam kegilaan.

Bagi kaum formalis menganggap, bahwa beribadah di masjid secara fisik dan ruhani merupakan satu-satunya tanda kebajikan. 

Suatu saat, kartu vaksin bukan bahasa universal karena ditelan oleh tanda zaman, dari zaman krisis ke zaman lain, yang lebih baru. 

Suatu ritual perayaan sebagai tanda tidak berarti beribadah secara mutlak di rumah ibadah saja, tetapi juga kartu vaksin merupakan bagian dari momen tanda ritual perayaan yang terlupakan.

Saya juga tidak mengerti perkembangan reinterpretasi pemikiran Islam. Ketika orang-orang pergi ke rumah ibadah di zaman pandemi dan saat sebagian orang akan melupakan kartu vaksin. 

Begitulah kasus paling banyak ditemukan dalam ruang beribadah di masjid yang cukup mengejutkan saat sekarang.

Seseorang tidak berperan untuk mengatasi sisi kontradiksi antara malas ke masjid dan kartu vaksin, wahyu dan nalar. 

"Beruntunglah seseorang malas ke masjid atau rumah ibadah lain, jadi tidak mampu memperlihatkan kartu vaksin." 

Saat keluar dari simbolisme ketidaksadaran kita akan terjatuh dalam kelupaan. Karena kelupaan, mungkin kita lebih tergoda oleh "kartu ATM."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun