Hal ini pula membuat orang malas ke masjid tidak memiliki representasi pengetahuan atas ikhtiar untuk mengubah dunia.
Kita sadar bahwa dasar pemahaman yang keliru tentang dunia saja sudah membuat keadaan kita berbahaya dan mungkin lebih berbahaya dari pandemi saat sekarang.
Orang malas ke masjid tidak lebih dari sensasi dan kompensasi untuk mengambil pilihan dalam kehidupan pribadinya.Â
Padahal kemunculan orang malas ke masjid bukanlah menyangkut permasalahan pribadi, tetapi juga berkelindang dan berselang seling dalam sisi kehidupan sosial, intelektual, dan spiritual.
Selain itu, orang tidak perlu marah dan nyinyir hanya karena masjid terus menjadi sasaran dan obyek kebijakan negara.Â
Kita tidak ingin larut dalam situasi seperti orang menarik dirinya dari bayangan gelap, ia bukan ketika orang malas ke masjid menampilkan dirinya cukup beralasan untuk memilih yang mana telah jelas dan pasti dalam kehidupannya.
 Ada yang perlu digaris bawahi di sini. Mengisahkan bagaimana cuitan demi cuitan muncul dari warganet yang mencoba menyoroti kartu vaksin.Â
Mengingat berbagai komentar beragam ada yang dibalas dengan candaan. "Biasalah itu, seseorang malas ke masjid." Seseorang disangka terbatas informasi dunia luar, tidak ditahu justeru lebih cepat menerima informasi perkembangan kartu vaksin.
Secara fisik, kenyataannya si fulan malas ke masjid seakan-akan memiliki jarak dengan jamaah masjid bergaya ustadz.Â
Tetapi, buktinya seseorang tidak meraba-raba apa-apa yang terjadi di luar dunianya sendiri. Dia tidak tampak terisolir dari dunianya, justeru masih percaya, bahwa kartu vaksin, akhirnya tidak berlaku di rumah ibadah.
Mujurlah orang-orang yang setiap hari menyempatkan dirinya pergi shalat berjamaah di masjid, tetapi lebih beruntung lagi orang-orang membuat alasan pembenaran yang tidak rajin ke masjid berdasarkan kepemilikan kartu vaksin.Â