Sebaliknya, aparat negara merevaluasi dan berimajinasi juga untuk menghindari lebih banyak kasus corona.
Cukup banyak alasan dari berbagai pihak. Bukan permasalahan mengetahui atau tidak tentang agama, tetapi kemaslahatan umat jauh lebih penting ketimbang menggiring penolakan atas kartu vaksin menuju langkah "bunuh diri."Â
Formalisme beribadah tidak jarang berada dalam pandangan dan sikap 'kaku' dan kemungkinan menyulitkan diri umat untuk menentukan pilihan dalam keadaan darurat seperti zaman sekarang.
Orang malas atau jarang ke masjid sehingga terlepas atau terikat dengan kartu vaksin bukanlah sumber pemicu, melainkan pemahaman tentang bahaya penularan virus atau pengetahuan tentang kartu vaksin memang diakui luput dari pemberitaan media.
Orang malas ke masjid hanya lebih banyak kemungkinan untuk membatasi dirinya sebelum pembatasan ruang beribadah di masjid.Â
Esensi kebijakan kartu vaksin bagi penduduk juga bukan bertujuan untuk membatasi hingga melarang orang-orang beribadah di rumah ibadah, tetapi diantaranya untuk mencegah kepunahan umat manusia dari bahaya pandemi yang mematikan.
Hanya orang malaslah ke masjid tidak berusaha untuk bermain sebebas-bebasnya agar tidak terikat pengaturan kartu vaksin.Â
Kecenderungan orang malas ke masjid bukanlah lantaran tidak siap menerima resiko penularan virus.
Bagi kaum fatalis, orang yang menyerah bulat-bulat atas nasib memandang dan mengambil sikap berbeda, ketika mengatakan bahwa buat apa ada kartu vaksin.Â
Ada atau tidak ada kartu vaksin, jika memang ajal kita sudah ditakdirkan, kita siap saja untuk menghadapi kematian yang pasti diantara setiap manusia. Mengapa kita bisa menggunakan segala macam pengaturan?
Menurut pandangan dan sikap kaum fatalis atas kasus orang malas ke masjid tidak ada hubungannya dengan penggunaan kartu vaksin. Kaum fatalis merupakan ujung ekstrim dari 'kaum bebas untuk berikhtiar'.Â