Belum cukup tulisan fiksi dan berita yang diragukan validitasnya. Kitalah yang menguatkan ide dan pemikiran yang mengakar pada esensi kehidupan. Karena ada sisi kehidupan yang tidak bisa dipermainkan atau disia-siakan begitu saja. Termasuk pilihan orang untuk malas atau rajin ke masjid.
Kita tidak perlu mengatakan pada orang lain ketika representasi beragama diukur atau disandarkan pada kedekatannya dengan masjid.Â
Belum tentu di era digital dapat menjamin orang berdasarkan kualitas ilmu pengetahuan mengenai kebijakan kartu vaksin dengan segala pernak perniknya seiring hasrat seseorang supaya rajin ke masjid.Â
Memang betul, masjid sebagai tempat ibadah sebagai tanda beribadah seseorang, tetapi tidak lantas sudah cukup sampai di situ.
Tempat beribadah dan bermedia sosial yang taat beragama hingga sampailah kita pada berita tentang perubahan kebijakan kartu vaksin diterapkan di luar masjid. Kebijakan lama dirubah dengan kebijakan baru.
Perpanjangan dan perubahan kebijakan PPKM level 4 ditunjukkan pada wilayah kapasitas, dari duapuluh lima persen menjadi limapuluh persen untuk tempat ibadah. Sisi ritual perayaan secara formal dimungkinkan muncul di luar rumah ibadah. (tempo.co, 17/08/2021)
Sedikit menyinggung formalisme syariah melalui masjid, di mata seseorang lebih cenderung menjadi suatu pilihan terpusat pada tekstual. Apa-apa saja yang tertera atau tertulis dalam teks (agama, hukum formal), begitu pula pengamalan lahiriah yang mencirikannya.
Kita telah mengetahui, bahwa rumah ibadah merupakan simbolisme keagamaan.Â
Tetapi, ada jurang antara apa yang dipikirkan melalui disiplin kuasa negara melalui kebijakan dan presentasi vaksin sebagai anti-bodi yang ditemukan melalui disiplin ilmiah. Simbolisme yang direpresentasi oleh kuasa negara secara material terhadap rumah ibadah.
Jika tidak ditelaah secara lebih teliti, apa yang disebut simbol akan mengarah pada ruang kosong. Bisa dikatakan, rumah ibadah bukan lagi simbol, melainkan tanda.Â
Seperti sekarang, kita masih menghadapi krisis. Jacques Derrida dalam Speech and Phenomena (1973 : 81) melihat aura krisis seiring dengan aura tanda. Simbol dan simbolisme ketidaksadaran tertuju pada rumah ibadah, ketika ia hanya perpaduan antara lahiriah dan batiniah, tetapi meninggalkan tanda kehidupan yang lebih luas dan beragam. Dari tanda kehidupan satu ke tanda lain.