Mohon tunggu...
Deni Saputra
Deni Saputra Mohon Tunggu... Guru - Seorang Guru dan Penggiat Literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Belajar menulis untuk memahami kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Layang-layang (2)

8 Oktober 2021   13:08 Diperbarui: 8 Oktober 2021   13:09 293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Layang-Layang

(ADS)

 

Sudah hampir pukul tujuh tetapi teman-teman belum juga datang. Aku sudah lama menunggu di depan rumah. Rihad yang berjarak dekat dengan rumahku, belum juga nongol. Bisa-bisa aku terlambat sampai di sekolah. Kriing...kring...bunyi sepeda sudah terdengar dekat rumahku. Aku pun lekas mengambil sepedaku. Setelah berpamitan pada Ibu aku langsung berngkat.

"Ke mana dulu kalian?" tanyaku.

"Tadi nunggu Nihal lama banget." Jawab Bagus.

"Maaf, aku tadi nyari buku tugasku." Ucap Nihal.

"Sekarang sudah ketemu?"

"Sudah. Ada di map Bunda." Lanjut Nihal.

"Ayo kita berangkat!! Sudah jam tujuh nih." Ajak Rihad.

Untung saja tidak sampai terlambat. Satpam sekolahku hampir saja mengunci pagarnya. Terlambat satu menit saja, kami sudah tidak dibolehkan masuk kelas. Setelah menyimpan sepedanya, kami segera masuk kelas. Tidak lama kami duduk di bangku masing-masing, Pak Herdi datang.

"Selamat paga, anak-anak!"

"Selamat pagi, Pak!"

Dengan senyum ramah, Pak Herdi mengabsen kami semua. Mata pelajaran pertama adalah matematika. Hitung-menghitung dan tidak akan pernah absen dalam masalah pekerjaan rumah, itulah matematika. Setiap belajar matematika pasti ada PR. Tetapi semua itu untuk kebaikanku. Berlatih lagi di rumah agar yang dipelajari di sekolah tidak lupa.

"Yosep kerjakan nomor satu, Nihal kerjakan nomor dua, dan Dani kerjakan nomor tiga." Ujar Pak Herdi.

Semua soal-soal itu adalah PR yang semalam aku kerjakan. Jadi, aku tidak kesulitan untuk mengerjakan lagi di papan tulis. Nihal juga begitu. Saat ada pekerjaan rumah, aku dan teman-teman akan mendiskusikannya kalau tidak mengerti.

"Dani, sekarang giliranmu."

Dani dengan percaya diri mengerjakan soal nomor tiga.

"Dani, kamu salah. Kamu belum mengerti ya? Rihad coba kamu kerjakan!"

Rihad tidak berpikir panjang lagi langsung mengerjakan soal nomor tiga dengan benar. Kelompokku selalu mendapat pujian dari Pak Herdi. Aku dan teman-teman menjadi contoh di kelas. Kami membuat kelompok belajar di rumah. Kami pun tidak pernah ada masalah. Makanya, teman-teman suka ada yang iri, apalagi geng-nya Dani.

"Anak-anak untuk pelajaran keterampilan besok, kalian bawa alat dan bahan untuk membuat layang-layang. Karena besok kita akan belajar membuat layang-layang." Kata Pak Herdi sambil menutup pelajaran pertama.

Pak Herdi menyebutkan satu persatu bahan yang harus dibawa. Kertas, benang, bambu yang sudah menjai kerangka, dan yang lainnya.

***

Setelah mendapatkan tugas dari Pak Herdi, aku dan teman-teman sibuk mencari bahan-bahan untuk membuat layang-layang. Kami pergi ke pasar untuk membeli bahan-bahan yang disebutkan Pak Herdi. Sedangkan untuk bambu jarang ada yang jual di pasar.

"Sekarang hanya bambu yang belum ada." Ujar Nihal.

"Di mana kita cari?" tanya Windi.

Kami masih kebingungan. Di sekitar kompleks tidak ada pohon bambu. Jadi, kita harus bersusah payah untuk mencarinya. Kami beristirahat di pinggir jalan karena sudah kelelahan mencari pohon bambu.

"Kalian sedang apa di sini?" tanya seorang pemulung mengejutkan kami.

"Kami sedang beristirahat." Jawabku.

"Kalian habis dari mana, sepertinya kelelahan?"

"Kami habis mencari bambu. Tapi belum ketemu."

"Untuk apa?"

"Untuk membuat layang-layang. Tugas dari sekolah."

"Kalau begitu ikut Bapak. Di dekat rumah Bapak banyak pohon bambu."

Aku tidak ragu utuk ikut dengan pemulung itu. Aku sudah mengenalnya karena aku sering melihat dia melewati rumahku. Dia bernama Mang Jana. Dia mencari barang-barang bekas di kompleks tempat kami tinggal. Setelah sampai di sebuah perkampungan di belakang kompleks, aku melihat anak-anak sebaya sedang bermain layang-layang.

"Di sini sedang musim bermain layang-layang.Hampr semua anak memainkannya." Ujar Mang Jana.

Aku sampai di depan rumah dan lebih tepatnya dikatakan gubug karena hanya berdinding bilik dari bambu.

"Kalian tunggu di sini, Mang Jana ke belakang dulu untuk mengambil bambunya."

"Silakan diminum! Maaf hanya air putih." Lanjut isteri dari Mang Jana.

"Tidak apa-apa. Terima kasih." Ucapku.

Tidak lama kemudian Mang Jana membawa sebatang bambu yang lumayan panjang. Kami lekas membantunya membawa ke depan rumah. 

"Nanti Mang Jana potong dulu."

"Tidak usah, Mang. Biar nanti saja di rumah." Ucapku.

"Tidak apa-apa."

Mang Jana memotong bambunya hingga kecil-kecil. Hanya tinggal dipakaikan benang maka kerangka layang-layang pun akan terbentuk. Namun, Pak Herdi menyuruh kami hannya membawa bambunya saja. Nanti di sekolah baru dipasangkan benang.

"Kalian mau diajarkan membuat layang-layang?" tanya Mang Jana.

"Boleh juga." Ucap Rihad.

Kami pun diajarkan bagaimana caranya membuat layang-layang. Mulai dari membuat kerangkanya sampai pada kertas yang di tempel pada kerangka tersebut. Sudah hampir dua jam aku dan teman-teman berada di rumah Mang Jana. Dan waktu sudah sore. Aku berpamitan untuk pulang. Tetapi sebelum pulang aku dan teman-teman mengumpulkan uang untuk diberikan pada Mang Jana.

"Tidak usah. Mang Jana senang kalian mau main ke gubug ini." Tolak Mang Jana.

"Terima saja, Mang. Kami ikhlas. Tidak besar sih." Ucap Bagus.

"Bapak juga ikhlas. Koq hanya bambu, di sini mah banyak."

"Terima kasih, Pak. Kalau begitu, kami pamit dulu." Ucapku.

***

 Kami membawa bambu yang sudah dipotong banyak sekali. Mang Jana telah merapikannya. Aku dan teman-teman dengan hati riang menuju sekolah. Aku ingin segera membuat layang-layang. Bukan untuk memamerkan kemampuanku tetapi untuk memainkan layang-layang. Aku melihat teman-teman di perkampungan Mang Jana sepertinya asyik dan mnyenangkan. Meskipun aku sudah diajarkan Mang Jana tetapi aku masih belum mengerti.

Di perjalanan menuju ke sekolah, aku dan teman-teman berpapasan dengan Dani dan geng-nya. Mereka juga memakai sepeda ke sekolah. Mereka menghalangi perjalanan kami.

"Sep, kalian sudah membawa semua tugas dari Pak Herdi?" tanya Dani.

"Sudah, memangnya kenapa?" ucapku balik bertanya.

"Sudah ambil saja, Dan!" ucap teman geng Dani.

"Mau apa kalian?" tanya Rihad dengan garang.

Dani dan geng-nya sepertinya mau merebut barang-barang yang kami bawa. Tetapi untuk hari ini Dani tidak bersikap keras. Dia hanya bertanya. Namun, teman-teman Dani terus mendorong Dani agar merebut barang-barang yang kami bawa.

"Maafkan kami, selama ini selalu membuat kalian susah." Ujar Dani.

Entah mengapa Dani tiba-tiba bersikap seperti itu. Apa ada maunya? Mudah-mudahan dia sadar untuk selamanya. Rasa heran telah muncul di pikiranku dan teman-teman.

"Memang kamu tidak bawa?" tanyaku pada Dani.

"Bawa! Tapi tidak membawa bambu. Kemarin aku mencari tapi tidak menemukannya."

"Ini, kami punya lebih. Mudah-mudahan cukup untuk kalian."

"Sep, ngapain kamu memberikannya pada orang seperti itu?" tanya Rihad dengan emosi.

"Kamu jangan begitu. Mereka sudah meminta maaf."

"Nanti juga mereka balik lagi ke sikap yang semula." Ujar Rihad.

"Yang dikatakan Yosep benar, Had." Ucap Nihal membelaku.

"Jadi kalian memaafkan Dani dan geng-nya atas ulahnya selama ini?" tanya Rihad pada kami.

"Ya sudah. Lihat saja nanti." Lanjut Rihad.

Setelah memberikan sebagian bambu kepada Dani, kami berangkat ke sekolah.  Dani dang eng-nya sudah pergi lebih dulu. Setelah hampir lima tahun berteman dengan Dani, aku baru pertama kali ini melihat Dani bertanya ramah kepadaku dan teman-teman.. Ini adalah moment yang jarang aku temukan. Sesampainya di sekolah aku langsung menuju kelas. Di sana sudah ada Pak Herdi. Beliau keheranan melihat kami datang terlambat.

"Kalian dari mana?" tanya Pak Herdi.

"Kami tadi ada urusan sedikikit. Maafkan kami." Jawabku.

"Paling-paling habis main, Pak!" teriak Dani dari bangkunya.

"Dasar!! Anak tidak tahu terima kasih." Gerutu Rihad dengan pelan.

"Kalian, silakan duduk karena kita akan mulai pelajaran keterampilannya. Anak-anak, sudah membawa semua peralatannya?"

"Sudah, Pak." Suara satu kelas berdengung.

"Sekarang kita menuju lapangan tetapi jangan berisik." Pengarahan dari Pak Herdi.

Aku dan teman-teman merasa kesal dengan tingkah Dani dan teman-temannya. Aku kira sikap ramah Dani tadi adalah perubahannya untuk menjalani kehidupan di sekolah. Ini pelajaran untukku. Agar aku tidak terlalu percaya dengan orang. Setelah mendengar pengarahan dari Pak Herdi, kami langsung menuju lapangan yang ada di belakang sekolah.

"Apa yang aku katakan, benar kan?" ucap Rihad merasa benar.

"Ya, kami yang salah. Maaf!!" ucapku mewakili teman-teman yang lainnya.

"Anak-anak, silakan duduk dengan kelompoknya masing-masing. Buat sebuah layang-layang yang bagus. Waktunya hanya dua jam."

"Iya, Pak!!"

Pak Herdi memberikan pengarahan bagaimana membuat sebuah layang-layang. Aku sibuk menyiapkan semua alat-alat dan bahan-bahannya untuk membuat layang-layang. Kelompokku sudah dibagi tugas untuk dikerjakan masing-masing. Misalnya, aku dan Rihad bertugas memasang benang ke bamboo untuk dijadikan kerangka layang-layang. Sedangkan Nihal dan Windi bertugas menggunting kertas. Dan Bagus bertugas membuat hiasan layang-layangnya agar kelihatan bagus.

Semua siswa kelas lima di kelasku dengan sibuk mondar-mandir. Ada yang sibuk menyontek pekerjaan kelompok lain. Ada yang meminjam barang kelompok lain karena tidak membawa dari rumah. Ada pula yang hanya bermain-main.

Ketika kami disibukkan dengan tugas kami, siswa-siswi dari kelas lain berkumpul di lapangan untuk melihat kami. Ada juga yang hanya melihat dari jendela kelas. Atau ada juga yang mengganggu pekerjaan kami. Sepertinya kelasku membuat keributan yang mengganggu kelas lain. Padahal dari tadi aku dan teman satu kelas berusaha tidak bersuara agar tidak mengganggu kelas lain yang sedang belajar.

"Pak, Anda dipanggil Kepala Sekolah!" teriak Bu Nita dengan ketus.

"Ada apa?"

"Mungkin Anda telah melanggar peraturan sekolah. Atau anak didik Anda telah mengganggu kelas lain karena menggunakan sistem yang Anda pertahankan." Jawab Bu Nita.

"Terima kasih."

Pak Herdi dengan santainya menuju ruang Kepala Sekolah. Paling-paling masalah kecil yang diadukan oleh Bu Nita. Bu Nita dari awal sudah tidak  akur dengan kelas kami. Ada saja yang ia adukan kepada Kepala Sekolah agar Pak Herdi tidak menjalankan cara pengajaran barunya di sekolah ini.

"Bapak memanggil saya? Ada masalah, Pak?" tanya Pak Herdi ketika masuk ke ruangan Kepala Sekolah.

"Bu Nita tadi mengatakan bahwa anak didik Bapak telah mengganggu kelas Bu Nita yang sedang belajar."

"Maaf, Pak. Memang saya sedang mengajarkan keterampilan di lapangan tetapi sejak awal kami berusaha tidak membuat keributa. Sedangkan lapangan dan kelas empat yang diajarkan Bu Nita berjarak lumayan jauh. Tidak mungkin kami mengganggu kelasnya Bu Nita." Ucap Pak Herdi menjelaskan.

"Baik. Mungkin ini ada kesalahpahaman. Saya akan memanggil Bu Nita."

Setelah Kepala Sekolah menyuruh petugas sekolah untuk memanggil Bu Nita di kelasnya. Bu Nita masuk ke ruangan Kepala Sekolah dengan bertunduk malu. Aku yakin Bu Nita telah berbohong.

"Bu Nita, apa yang Anda adukan tadi benar?" tanya Kepala Sekolah dengan tegas.

"Benar, Pak."

"Tetapi Pak Herdi sudah menjelaskannya. Jika ada masalah pribadi Anda terhadap Pak Herdi, Anda tidak boleh mengganggu Pak Herdi yang sedang mengajar anak didiknya. Anda bisa selesaikan masalah Anda di luar jam pelajaran." Lanjut Kepala Sekolah.

"Maaf, Pak. Saya telah berbohong. Saya hanya iri kepada Pak Herdi karena telah membuat anak didiknya bisa berprestasi dengan sistem yang diterapkan Pak Herdi."

Pak Herdi dan Bu Nita diperbolehkan keluar ruangan oleh Kepala Sekolah.

"Bu, seharusnya Ibu menjadi seorang guru bisa menjadi tauladan anak didiknya. Jasa seorang guru itu sangat besar. Jadi kalau Ibu bersikap seperti ini tidak baik untuk anak didik Ibu. Ibu boleh mengikuti sistem pengajaran yang saya pakai di kelas saya." Penjelasan Pak Herdi membuat Bu Nita malu sendiri.

"Baik, Pak. Maafkan saya dan terima kasih. Saya akan kembali ke kelas."

Setelah ada gangguan dari Bu Nita, Pak Herdi kembali ke lapangan untuk mengecek pekerjaan kami. Sudah hampir dua jam untuk pelajaran keterampilan kami lewati. Dan sudah hampir semuanya selesai membuat layang-layang. Aku dan teman-teman membuat layang-layang seperti ikan. Hiasan yang dibuat Bagus sudah kami tempelkan dan hasilnya sangat bagus. Sekarang, layang-layang tersebut tinggal diterbangkan.

"Bagus, anak-anak. Nanti kita bersama-sama menerbangkannya." Ucap Pak Herdi.

Aku tahu mengapa Pak Herdi menyuruh kami membuat layang-layang. Hidup itu seperti layang-layang. Ke mana pun layang-layang terbang tetapi ada yang mengendalikannya. Begitupun hidup. Kemana pun manusia pergi hanya Tuhan-lah yang mengendalikannya. Dalam setiap mata pelajaran, Pak Herdi selalu memberikan penjelasan. Apa hikmah di balik semua itu. Seperti saat ini, dalam pelajaran keterampilan membuat layang-layang, hikmahnya adalah apa yang aku katakan tadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun