Mohon tunggu...
Christanto Panglaksana
Christanto Panglaksana Mohon Tunggu... Penulis

Warga pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Politik

Penyitaan Buku: Polisi, Orde Baru, dan Ancaman Terselubung terhadap Presiden Prabowo

20 September 2025   05:16 Diperbarui: 20 September 2025   08:09 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku sitaan polisi dijadikan barang bukti kasus pengerusakan dan pengeroyokan anggota di pos lantas Waru Sidoarjo dibawa Kapolda Jatim (Kompas.com)

Buku Disita, Gagasan Dicurigai

Penyitaan buku oleh aparat kepolisian dari sejumlah tersangka kerusuhan Agustus 2025 membuka babak baru dalam relasi aparat dengan pengetahuan. Polisi menempatkan buku bukan semata-mata sebagai benda mati, melainkan sebagai artefak ideologis yang dianggap berbahaya.

Dalam konstruksi aparat, buku bukan hanya teks, melainkan senjata potensial yang mampu menggerakkan tindakan. Di sinilah muncul persoalan mendasar: pergeseran batas antara tindakan kriminal dan gagasan.

Dalam kerangka hukum acara pidana, barang bukti harus punya relevansi langsung dengan tindak pidana. Namun, polisi dalam kasus ini justru mendasarkan legitimasi penyitaan pada sifat ideologis buku.

Itu artinya, hubungan kausal yang dibangun bukan antara buku dan tindakan konkret, melainkan antara buku dan "pola pikir" para tersangka. Hubungan semacam ini bersifat spekulatif: membaca Karl Marx tidak otomatis berarti seseorang akan meledakkan fasilitas publik.

Jika ditarik lebih jauh, langkah ini mencerminkan pandangan negara yang memosisikan ide tertentu sebagai ancaman eksistensial. Ideologi anarkisme, Marxisme, atau sosialisme diperlakukan seakan-akan bom waktu.

Padahal, di banyak ruang akademik, ide-ide tersebut diajarkan, diteliti, bahkan diperdebatkan secara terbuka. Dengan menyita buku, polisi menampilkan wajah anti-intelektual.

Lebih jauh, penyitaan buku juga menciptakan efek gentar (chilling effect). Mahasiswa, peneliti, dan aktivis akan merasa ragu membaca teks tertentu, meski dalam kerangka ilmiah.

Ketakutan itu mereduksi kualitas demokrasi deliberatif yang bergantung pada keterbukaan wacana. Bila membaca buku Marx saja dianggap bukti kriminal, bagaimana mungkin masyarakat bisa membangun daya kritis terhadap struktur ekonomi-politik?

Kita melihat, penyitaan buku bukan sekadar praktik hukum, melainkan praktik simbolik. Polisi sedang mengirim pesan bahwa ada wilayah pemikiran yang dilarang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun