Lebih parah lagi, jika praktik ini dibiarkan, maka terjadi preseden berbahaya. Aparat bisa dengan mudah menyita benda apa pun yang dianggap "berbahaya secara ideologis."
Besok, bukan hanya buku, bisa jadi poster, karya seni, bahkan catatan kuliah ikut dianggap sebagai barang bukti. KUHAP lalu kehilangan fungsinya sebagai pagar rasional dan berubah menjadi instrumen kekuasaan.
Dengan demikian, logika hukum positif telah ditinggalkan. Polisi tidak lagi berdiri pada landasan objektif, melainkan pada logika insinuatif yang membuka ruang kriminalisasi pemikiran.Â
Ini bukan sekadar pelanggaran prosedur, melainkan penyelewengan atas makna hukum itu sendiri.
Moral Panic dan Securitization
Dari perspektif sosiologi kritis, penyitaan buku ini bisa dibaca sebagai produksi moral panic. Stanley Cohen, dalam kajian klasiknya, menunjukkan bagaimana kelompok sosial tertentu bisa dilabeli sebagai folk devils, yakni biang kerok imajiner bagi keresahan masyarakat. Dengan menyita buku "kiri", polisi sedang membangun narasi bahwa biang kerok kerusuhan adalah ideologi tertentu.
Narasi ini berguna untuk mengalihkan perhatian dari akar struktural kerusuhan. Demonstrasi Agustus 2025 tidak lahir dari ruang hampa. Ada konteks ekonomi, politik, dan sosial yang menyulut amarah.
Namun, dengan menyalahkan buku, aparat memindahkan sorotan publik dari persoalan struktural ke persoalan ideologis. Ini strategi klasik untuk meredam kritik, termasuk terhadap aparat yang justru terbukti melakukan tindak kekerasan berlebihan.
Selain itu, tindakan ini juga bisa dibaca dalam kerangka securitization ala Ole Waever. Aparat menjadikan ideologi tertentu sebagai ancaman keamanan.Â
Begitu suatu isu dikonstruksi sebagai ancaman eksistensial, maka langkah-langkah ekstra-legal seolah-olah bisa dibenarkan. Penyitaan buku pun seakan-akan tampak sah, meski bertentangan dengan asas hukum.
Dampaknya, ruang publik menjadi semakin sempit. Demokrasi seharusnya memungkinkan pluralitas gagasan.Â