Mohon tunggu...
Christanto Panglaksana
Christanto Panglaksana Mohon Tunggu... Penulis

Warga pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Politik

Penyitaan Buku: Polisi, Orde Baru, dan Ancaman Terselubung terhadap Presiden Prabowo

20 September 2025   05:16 Diperbarui: 20 September 2025   08:09 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku sitaan polisi dijadikan barang bukti kasus pengerusakan dan pengeroyokan anggota di pos lantas Waru Sidoarjo dibawa Kapolda Jatim (Kompas.com)

Namun, moral panic yang diciptakan polisi membuat gagasan tertentu dikategorikan sebagai "berbahaya". Ruang diskusi kritis pun dibatasi, dan masyarakat didorong untuk melihat bacaan tertentu sebagai tabu.

Fenomena ini memperlihatkan bagaimana kekuasaan bekerja bukan hanya melalui hukum, tetapi juga melalui konstruksi wacana. 

Polisi tidak sekadar menegakkan hukum, melainkan juga memproduksi narasi tentang apa yang boleh dipikirkan dan apa yang tidak. Inilah bentuk kekuasaan dan kekerasan simbolik.

Dengan kata lain, penyitaan buku bukan hanya tindakan prosedural, melainkan sebuah praktik hegemonik. Ia menciptakan batas-batas baru bagi imajinasi sosial, sekaligus mengukuhkan posisi aparat sebagai penentu legitimasi pengetahuan.

Jejak Orde Baru dalam Bayangan Penyitaan

Praktik penyitaan buku oleh polisi ini tidak lahir begitu saja. Ia merupakan pengulangan dari tradisi panjang Orde Baru yang menempatkan bacaan kiri sebagai ancaman laten. 

Selama tiga dekade, rezim Orde Baru melarang, menyita, dan membakar buku yang dianggap berbau komunis, kiri, atau kritis terhadap pemerintah.

Kebijakan itu bukan hanya tindakan represif, melainkan juga strategi hegemoni. Orde Baru membangun narasi bahwa ideologi kiri identik dengan kekerasan 1965. 

Stigma itu diturunkan dari generasi ke generasi melalui kurikulum pendidikan, media, dan sensor buku. Akibatnya, membaca buku kiri dianggap tabu, seolah-olah itu jalan pintas menuju makar.

Tindakan penyitaan hari ini, di bawah rezim demokrasi, justru mengulang logika lama itu. Polisi tampak masih terperangkap dalam paradigma Orde Baru: menakut-nakuti publik dengan hantu komunisme atau anarkisme. Padahal, demokrasi pasca-1998 dibangun justru untuk meruntuhkan stigma dan membuka ruang bagi kebebasan berpikir.

Dengan menyita buku, polisi bukan hanya mengulang kesalahan lama, tetapi juga meneguhkan bahwa warisan represif Orde Baru belum pernah benar-benar dihapus. Reformasi tampak seperti retorika belaka, sementara praktik sehari-hari aparat masih mencerminkan mentalitas lama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun