"Keadilan tanpa kekuatan adalah tak berdaya. Kekuatan tanpa keadilan adalah tirani."--- Blaise Pascal
Presiden Prabowo Subianto yang baru beberapa bulan menjabat, namun langkah politik dan hukum yang diambilnya sudah mengguncang opini publik. Salah satu kebijakan teranyar yang membuat masyarakat terbelalak adalah: amnesti dan abolisi massal. Bukan hanya untuk tokoh-tokoh politik macam Hasto Kristiyanto dan Tom Lembong, tapi juga untuk ribuan narapidana, termasuk mereka yang pernah dihukum karena menghina Presiden Joko Widodo.
Gelombang pengampunan ini melahirkan satu pertanyaan krusial: apakah ini langkah rekonsiliasi nasional, atau justru barter politik yang dibungkus narasi kemanusiaan?
---
Amnesti dan Abolisi: Apa dan Untuk Siapa?
Sesuai Pasal 14 UUD 1945, presiden memiliki hak memberi amnesti (penghapusan akibat hukum pidana) dan abolisi (penghentian proses hukum), meski dalam praktiknya tetap memerlukan pertimbangan DPR. Tapi ketika ribuan narapidana "dibebaskan" secara massal dalam waktu singkat, kita wajib menanyakan motif dan implikasinya.
Beberapa nama dan kelompok yang mendapat pengampunan antara lain:
Hasto Kristiyanto, Sekjen PDIP, yang divonis 3,5 tahun atas kasus dugaan intervensi KPK dalam kasus Harun Masiku, menerima amnesti.
Thomas Lembong (Tom Lembong), mantan Menteri Perdagangan, mendapat abolisi atas vonis 4,5 tahun kasus gratifikasi impor gula.
Yulianus Paonganan alias Ongen, aktivis media sosial yang divonis karena kasus pornografi yang kemudian dikategorikan sebagai penghinaan terhadap Presiden Jokowi, juga mendapat amnesti.
1.178 narapidana lainnya dalam tahap awal, termasuk: