Simbol ini memperkuat stereotip bahwa ideologi kiri selalu identik dengan kekerasan. Padahal, sejarah membuktikan banyak pula kekerasan lahir dari ideologi kanan atau ultra-nasionalisme.
Dengan demikian, tindakan polisi ini sebetulnya menyingkap pola pikir yang tak pernah selesai: fobia terhadap "buku kiri".Â
Ketakutan yang lebih merupakan warisan sejarah politik daripada hasil analisis hukum rasional. Polisi sedang beroperasi dengan logika lama, di mana pengetahuan dianggap sebagai ancaman.
Meninggalkan Logika Hukum Positif
Hukum acara pidana Indonesia (KUHAP) secara jelas mengatur tentang apa yang dapat disita sebagai barang bukti. Pasal 39 KUHAP menyebut bahwa yang dapat disita adalah benda yang diduga diperoleh dari tindak pidana, dipergunakan dalam tindak pidana, atau secara langsung berkaitan dengan tindak pidana. Dengan kerangka ini, buku hanya bisa disita bila memenuhi syarat tersebut.
Namun, dalam kasus kerusuhan Agustus 2025, aparat tidak menunjukkan bukti keterkaitan langsung buku dengan tindakan pidana.Â
Tidak ada keterangan bahwa buku dipakai sebagai manual kekerasan, tidak ada bukti catatan perencanaan yang mengutip langsung isi buku, dan tidak ada pula hubungan kausal konkret yang bisa diverifikasi. Polisi hanya menyebut buku-buku itu berbahaya karena mengandung ideologi.
Logika hukum positif menuntut bukti material, bukan dugaan ideologis. Membaca Marx atau Emma Goldman tidak termasuk perbuatan pidana. Tanpa nexus langsung, penyitaan kehilangan legitimasi.
Jika aparat mengandalkan "pengaruh ideologi", maka secara hukum, bukti itu rawan digugurkan di pengadilan. Artinya, penyitaan bukan lagi tindakan penyidikan yang sah, melainkan tindakan politis yang dibungkus tindakan prosedural.
Kelemahan ini memperlihatkan problem serius: aparat cenderung menafsirkan hukum bukan berdasarkan teks normatif, melainkan berdasarkan prasangka ideologis. Mereka memaksakan pasal hukum ke dalam kerangka pikir moral-politik.
Inilah bentuk bias institusional, di mana hukum dipakai untuk menjustifikasi pandangan politik dominan, bukan untuk melindungi keadilan substantif.