Bagi publik, hal ini menimbulkan trauma historis. Orang mengingat kembali masa ketika membaca Pramoedya Ananta Toer bisa membuat seseorang diawasi, ketika menyimpan teks kiri bisa menyeret orang ke penjara. Kini, pola itu muncul lagi dalam bentuk yang nyaris serupa.
Dengan demikian, penyitaan buku bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi juga kemunduran demokrasi. Ia mengembalikan Indonesia pada bayangan Orde Baru, sebuah masa di mana pengetahuan dicurigai, gagasan ditindas, dan aparat menjadi sensor berjalan.
Dampak Politik: Citra Presiden Prabowo dalam Bahaya
Dari sisi politik, langkah aparat ini justru kontraproduktif terhadap citra Presiden Prabowo. Publik sudah lama mengaitkan Prabowo dengan masa Orde Baru, baik karena kedekatannya dengan Soeharto maupun karena rekam jejaknya di militer.Â
Dengan penyitaan buku yang menyerupai praktik Orde Baru, publik semakin mudah menghubungkan Presiden Prabowo dengan pola represif tersebut.
Padahal, bagi seorang presiden baru, citra demokratis sangat penting. Prabowo butuh legitimasi politik yang kokoh, terutama di mata generasi muda yang lahir pasca-Reformasi.Â
Namun, tindakan aparat seperti itu membuatnya tampak seperti mewarisi gaya lama: anti-intelektual, represif, dan paranoid terhadap gagasan kiri.
Lebih jauh, lawan politik bisa memanfaatkan kasus ini untuk menegaskan narasi bahwa rezim Prabowo adalah "Orde Baru jilid dua."Â
Narasi ini bisa menjadi beban politik serius, terutama bila dikaitkan dengan isu lain seperti kebebasan pers, kebijakan keamanan, atau kontrol terhadap aktivisme mahasiswa.
Di sisi lain, komunitas internasional juga akan memandang penyitaan buku sebagai tanda regresi demokrasi. Reputasi Indonesia sebagai negara demokratis terbesar di Asia Tenggara bisa tercoreng, sementara Presiden Prabowo akan dituding memimpin kemunduran itu.
Oleh karena itu, secara politik, penyitaan buku bukan hanya tindakan aparat, melainkan juga ancaman citra bagi Presiden.Â