Sebuah Kemunduran yang Patut Diwaspadai
Penyitaan buku oleh polisi dalam kasus kerusuhan Agustus bukan sekadar tindakan hukum biasa. Ia adalah simbol kemunduran demokrasi, pengulangan kesalahan Orde Baru, dan ancaman bagi kebebasan berpikir.
Dari perspektif hukum positif, tindakan itu lemah karena tidak memenuhi syarat nexus. Dari perspektif sosiologi kritis, ia adalah moral panic yang diciptakan oleh aparat.
Lebih dari itu, tindakan ini bisa menodai citra Presiden Prabowo. Publik akan mudah mengaitkannya dengan Orde Baru, sementara lawan politik akan memanfaatkan narasi tersebut. Bahkan, tindakan penyitaan buku ini juga bisa dicurigai sebagai manuver insinuatif aparat terhadap Presiden dalam konflik elite.
Demokrasi Indonesia berdiri di persimpangan. Apakah ia akan tetap setia pada semangat Reformasi, atau kembali terjerumus ke pola represif masa lalu?Â
Jawabannya bergantung pada bagaimana negara merespons kasus ini. Jika dibiarkan, penyitaan buku akan menjadi preseden buruk yang mengikis kebebasan intelektual.
Sejarah mengajarkan bahwa menindas pengetahuan tidak pernah menyelesaikan masalah. Buku yang disita tidak akan memadamkan gagasan, justru membuatnya semakin dicari.Â
Dengan demikian, langkah paling rasional adalah menghentikan kriminalisasi pemikiran dan mengembalikan buku ke tempat yang semestinya: ruang terbuka demokrasi.
Jika tidak, Indonesia berisiko mengulang bab gelap sejarahnya. Atau, jika penyitaan buku oleh aparat adalah ancaman terselubung terhadap Presiden Prabowo dalam konflik elite, itu berarti rakyat dan demokrasi jelas sedang sengaja dikorbankan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI