Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Politik

Prediksi Masa Depan Palestina dalam Dinamika Geopolitik Multipolar

2 Juni 2025   14:53 Diperbarui: 2 Juni 2025   14:53 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memprediksi Masa Depan Palestina dalam Dinamika Geopolitik Multipolar: Pendekatan Sistem Kompleks Adaptif Enam Variabel

Abstrak

Masa depan Palestina telah menjadi salah satu isu paling kompleks dan dramatis dalam politik internasional modern. Dalam konteks dunia yang semakin multipolar, kekuatan utama seperti Amerika Serikat, Republik Rakyat China, India, Rusia, serta kekuatan regional "fire from the fringe" seperti Indonesia dan Turki, membentuk pola interaksi dinamis yang berpotensi menentukan arah perdamaian atau konflik berkepanjangan di wilayah tersebut. Studi ini menggunakan pendekatan Sistem Kompleks Adaptif (Complex Adaptive System/CAS) dengan enam variabel utama---probabilitas interaksi, bobot interaksi, stabilitas interaksi, level interaksi, pola interaksi, dan output interaksi---untuk memetakan dan menganalisis hubungan antara keenam negara tersebut. Dengan mengkombinasikan analisis empiris dan teori sistem kompleks, penelitian ini mencoba menawarkan prediksi yang reflektif terhadap kemungkinan skenario masa depan Palestina, sekaligus menyoroti peran kunci aktor-aktor non-tradisional yang mampu menggerakkan dinamika global. Hasilnya menunjukkan bahwa meskipun konflik dan ketegangan geopolitik tetap membayangi, potensi diplomasi yang berakar pada interaksi multipolar dan tekanan multilateralisme dapat membuka ruang kompromi. Namun, ketidakpastian tetap tinggi, menuntut pendekatan multidisipliner dan adaptif dalam memahami masa depan konflik Palestina.

Latar Belakang

Isu Palestina telah lama menjadi pusat perhatian dan ketegangan di arena geopolitik internasional, melibatkan berbagai aktor global dan regional dengan kepentingan dan agenda yang sering bertentangan. Sejak berdirinya negara Israel pada tahun 1948 dan berbagai konflik yang menyertainya, proses perdamaian yang inklusif dan adil untuk rakyat Palestina masih menghadapi rintangan berat. Dalam era globalisasi dan multipolaritas saat ini, pergeseran kekuatan dunia menuntut analisis yang tidak hanya melihat hubungan bilateral atau regional, tetapi juga memahami kompleksitas interaksi antar banyak negara yang saling berpengaruh.

Amerika Serikat (AS), sebagai kekuatan dominan global yang selama ini mendukung Israel secara kuat, menghadapi tantangan dari Republik Rakyat China (RRC), Rusia, dan India yang menempati posisi strategis berbeda dalam isu ini. Di sisi lain, negara-negara seperti Indonesia dan Turki muncul sebagai kekuatan regional yang konsisten menyuarakan dukungan terhadap Palestina dan berpotensi menjadi katalisator perubahan dalam dinamika internasional. Kondisi ini menciptakan pola interaksi yang kompleks, adaptif, dan tidak linear, yang sulit diprediksi dengan model tradisional.

Pendekatan Sistem Kompleks Adaptif (CAS) dengan variabel yang mencakup probabilitas interaksi, bobot interaksi, stabilitas interaksi, level interaksi, pola interaksi, dan output interaksi menawarkan kerangka kerja yang relevan untuk memahami dan memetakan dinamika ini secara holistik. Sistem ini memungkinkan analisis bagaimana interaksi antar negara tidak hanya dipengaruhi oleh kepentingan geopolitik langsung, tetapi juga oleh jaringan pengaruh yang saling terkait dan adaptif terhadap perubahan situasi global.

OUTLINE

Esai ini akan dikembangkan dalam beberapa bagian utama sebagai berikut:

I. Pendahuluan

Penjelasan tentang relevansi isu Palestina dalam konteks geopolitik multipolar

Motivasi penggunaan pendekatan Sistem Kompleks Adaptif (CAS)

II. Kajian Teori

Teori Sistem Kompleks Adaptif dan aplikasinya dalam studi hubungan internasional

Definisi dan penjelasan enam variabel utama dalam CAS (probabilitas interaksi, bobot interaksi, stabilitas interaksi, level interaksi, pola interaksi, output interaksi)

III. Analisis Dinamika Multipolar Enam Negara

Profil geopolitik dan posisi masing-masing negara (AS, RRC, India, Rusia, Indonesia, Turki) terkait isu Palestina

Interaksi bilateral dan multilateral antar negara dalam konteks isu Palestina

Evaluasi probabilitas, bobot, dan stabilitas interaksi pada level 2 hingga 6 node berdasarkan pola kombinasi

IV. Prediksi dan Skenario Masa Depan Palestina

Skenario skala kecil hingga besar (konflik berkepanjangan, solusi kompromistis, tekanan multilateralisme)

Peran "fire from the fringe" (Indonesia dan Turki) dalam menggeser dinamika geopolitik

Implikasi dari dinamika interaksi yang adaptif dan tidak linear

V. Diskusi Reflektif

Tantangan metodologis dan epistemologis dalam memprediksi konflik geopolitik menggunakan CAS

Peran diplomasi, tekanan masyarakat sipil internasional, dan faktor eksternal lain

Refleksi atas kemungkinan masa depan yang dramatis dan penuh ketidakpastian

VI. Kesimpulan

Sintesis temuan dan rekomendasi kebijakan

Saran untuk studi lebih lanjut dan aplikasi model CAS dalam konflik internasional

I. Pendahuluan

A. Penjelasan tentang Relevansi Isu Palestina dalam Konteks Geopolitik Multipolar

Isu Palestina bukan sekadar konflik teritorial yang membara di jantung Timur Tengah, tetapi telah menjadi simbol perjuangan global atas keadilan, identitas, dan kedaulatan dalam dunia yang terbelah antara kepentingan kekuasaan dan aspirasi kemanusiaan. Dalam beberapa dekade terakhir, narasi Palestina telah melampaui batas geografisnya dan menjelma menjadi medan tarik-menarik kepentingan antara poros kekuatan dunia, di mana dukungan atau ketidakpedulian terhadap nasib Palestina mencerminkan konfigurasi kekuasaan global yang lebih luas.

Di masa lalu, konflik Palestina-Israel kerap dianalisis dalam kerangka bipolaritas era Perang Dingin---AS di satu sisi, Uni Soviet di sisi lain. Namun dunia telah bergeser. Kini, kekuatan global tidak lagi berputar pada dua kutub dominan, melainkan menyebar ke dalam poros-poros multipolar yang saling bersaing, berkolaborasi, dan beradaptasi secara dinamis. Amerika Serikat, dengan posisi historisnya sebagai pendukung utama Israel, terus memainkan peran determinan dalam memblokir atau mengarahkan arah resolusi konflik. Namun, posisi hegemoniknya kini ditantang oleh bangkitnya China (RRC) sebagai kekuatan ekonomi dan diplomatik global yang semakin vokal dalam isu-isu keadilan internasional. Di sisi lain, Rusia memainkan peran ganda: sebagai kekuatan militer yang strategis di kawasan, sekaligus sebagai aktor yang mencoba memosisikan diri sebagai penyeimbang terhadap dominasi AS di Timur Tengah.

India, sebagai rising power dan mitra strategis AS maupun Rusia, menunjukkan dinamika ambivalen dalam isu Palestina. Dukungan historisnya terhadap Palestina kini dihadapkan pada kalkulasi baru dalam konteks kerja sama pertahanan dan ekonomi dengan Israel. Sementara itu, Indonesia dan Turki---dua kekuatan non-Barat yang konsisten menyuarakan dukungan terhadap Palestina---muncul sebagai simbol moral dan politik dari "fire from the fringe," kekuatan dari pinggiran yang berpotensi menggeser arah narasi dominan global.

Konteks multipolar ini tidak hanya memperumit, tetapi juga membuka ruang baru dalam memahami dan memetakan masa depan Palestina. Setiap simpul dalam jaringan kekuatan global kini memiliki potensi untuk mengintervensi, memediasi, atau bahkan mengabaikan konflik berdasarkan dinamika internal dan eksternal masing-masing. Dalam struktur kekuasaan yang kian cair, pendekatan yang linier dan prediktif konvensional tak lagi mencukupi. Yang diperlukan adalah kerangka analisis yang mampu menangkap kompleksitas interaksi adaptif antar aktor---baik yang besar maupun yang selama ini dianggap marjinal.

Oleh karena itu, isu Palestina kini menjadi cermin dunia: cermin dari sistem global yang tengah bergulat antara dominasi dan desentralisasi, antara realisme kekuasaan dan idealisme moral, antara status quo dan perubahan. Relevansinya dalam konteks geopolitik multipolar bukan hanya terletak pada siapa yang memenangkan konflik ini, tetapi pada bagaimana dunia merespons penderitaan yang berlarut dalam pusaran kepentingan global. Dalam pusaran inilah, Palestina bisa menjadi katalis transformasi sistem global---atau sebaliknya, korban abadi dari sistem yang enggan berubah.

B. Motivasi Penggunaan Pendekatan Sistem Kompleks Adaptif (CAS)

Memahami masa depan Palestina di tengah dinamika geopolitik multipolar bukanlah perkara sekadar menjumlahkan posisi negara-negara besar. Dalam dunia yang saling terhubung secara ekonomi, ideologis, militer, dan digital, relasi antaraktor bersifat non-linear, adaptif, dan penuh umpan balik. Perubahan kecil di satu simpul---misalnya pergeseran posisi diplomatik India atau manuver simbolik dari Indonesia---dapat memicu resonansi besar di tingkat global. Pola ini menunjukkan bahwa sistem internasional tidak lagi bekerja dalam kerangka mekanistik atau deterministik, tetapi sebagai sistem kompleks adaptif (Complex Adaptive System/CAS) yang hidup, berubah, dan kerap kali tidak terduga.

Pendekatan CAS memungkinkan kita untuk memetakan interaksi antaraktor sebagai unit yang bukan hanya bergerak sendiri-sendiri, tetapi saling mempengaruhi dalam lingkaran adaptasi berkelanjutan. Setiap negara adalah agen (agent) yang membawa preferensi, memori historis, strategi bertingkat, dan sensitivitas terhadap perubahan konteks---baik domestik maupun internasional. Interaksi ini tidak dapat dijelaskan hanya dengan logika kepentingan rasional, tetapi juga dengan mempertimbangkan dinamika ko-evolusi, tipping point, dan bahkan bifurkasi yang muncul akibat tekanan dan krisis yang bersamaan.

Khusus dalam konteks isu Palestina, CAS menawarkan cara pandang baru untuk memahami bagaimana dukungan, netralitas, atau permusuhan terhadap aspirasi Palestina berkembang dan berubah. Tidak hanya bergantung pada satu atau dua negara kunci, tetapi pada jalinan interaksi kolektif dan respons mutual antar enam negara sentral---AS, RRC, India, Rusia, Indonesia, dan Turki---yang membentuk medan kekuatan global hari ini. Dalam pendekatan ini, setiap kombinasi negara bisa menciptakan efek baru: peluang baru untuk solusi, resistensi baru terhadap perubahan, atau bahkan konfigurasi kekuasaan yang tak terduga.

Mengintegrasikan enam variabel kunci dalam kerangka CAS---level interaksi, pola interaksi, probabilitas interaksi, bobot interaksi, stabilitas interaksi, dan output interaksi---memungkinkan pemodelan sistemik terhadap dinamika yang tampak acak namun sesungguhnya mengikuti hukum kompleksitas. Pendekatan ini menolak determinisme tetapi merangkul keteraturan yang muncul (emergence). Ia tidak mencari satu solusi absolut, tetapi membaca lanskap probabilistik dari berbagai kemungkinan masa depan.

Dengan pendekatan ini, kita tidak hanya bertanya: "Siapa yang mendukung Palestina?" tetapi lebih dalam, "Bagaimana dukungan itu terbentuk, bagaimana ia saling beresonansi, dan seberapa stabil atau rapuh jalinan dukungan tersebut?" CAS membantu kita menangkap pergeseran subtil dan perubahan mendasar yang tersembunyi dalam dinamika antaraktor. Ini menjadi sangat penting karena dalam isu sekompleks Palestina, keputusan-keputusan kecil dapat menentukan apakah yang muncul adalah harapan atau kehancuran.

Dalam dunia yang makin tidak dapat diprediksi, pendekatan CAS bukan hanya alat analisis---ia adalah kebutuhan epistemologis untuk bertahan dan memahami realitas yang terus-menerus berubah.

II. Kajian Teori

A. Teori Sistem Kompleks Adaptif dan Aplikasinya dalam Studi Hubungan Internasional

Sistem Kompleks Adaptif (Complex Adaptive Systems/CAS) merupakan sebuah kerangka teoritik yang berasal dari interdisiplin sains, terutama fisika, biologi, dan teori sistem, yang kemudian diadopsi ke dalam ranah ilmu sosial dan hubungan internasional. CAS mengacu pada sistem yang terdiri atas banyak agen atau elemen yang saling berinteraksi, belajar, dan beradaptasi dalam lingkungan yang terus berubah. Karakteristik utama dari sistem ini adalah non-linearitas, emergensi, ketidakpastian, dan kemampuan untuk berkembang melalui mekanisme umpan balik.

Dalam CAS, aktor-aktor tidak bertindak dalam ruang hampa. Mereka saling mempengaruhi satu sama lain dan membentuk pola perilaku kolektif yang tidak dapat diprediksi hanya dari tindakan individu. Alih-alih melihat dunia secara mekanistik atau deterministik, CAS menawarkan cara pandang yang lebih realistis terhadap dunia yang penuh ketidakpastian dan keterkaitan. Konsep-konsep seperti tipping point, resilience, bifurkasi, hingga path dependency menjadi sangat penting dalam menganalisis dinamika hubungan antaraktor.

Dalam konteks hubungan internasional, CAS mulai mendapatkan perhatian sebagai cara untuk menjelaskan bagaimana sistem global berkembang, runtuh, atau bertransformasi tanpa satu pusat komando. Globalisasi, konflik asimetris, proliferasi teknologi, serta dinamika perubahan iklim dan krisis kesehatan global menunjukkan bahwa tatanan dunia tidak bekerja dalam kerangka hirarkis linier, melainkan dalam jaringan adaptif yang saling bergantung. Oleh karena itu, sistem internasional dapat dipahami sebagai ekosistem geopolitik, tempat negara-negara dan aktor non-negara bertindak sebagai agen yang terus menyesuaikan diri terhadap tekanan dan peluang yang muncul dari lingkungannya.

Dalam studi kebijakan luar negeri dan konflik global seperti isu Palestina, pendekatan CAS memberikan kerangka yang tidak hanya melihat siapa "kawan" dan siapa "lawan", tetapi lebih jauh lagi, bagaimana interaksi di antara mereka membentuk struktur kemungkinan yang selalu berubah. Pendekatan ini juga memampukan kita untuk memahami dinamika koalisi, fragmentasi, dan kemunculan aktor-aktor baru yang mungkin semula dianggap pinggiran tetapi dapat menjadi pemicu perubahan besar (fire from the fringe).

Beberapa studi sebelumnya telah menggunakan pendekatan CAS untuk menganalisis konflik di Timur Tengah, transformasi tatanan global pasca-Perang Dingin, hingga manajemen krisis multilateral. Meski demikian, belum banyak kajian yang secara sistematis mengintegrasikan enam kekuatan utama global (AS, RRC, India, Rusia, Indonesia, dan Turki) dalam kerangka CAS untuk memprediksi arah masa depan Palestina. Hal ini membuka ruang baru untuk pendekatan interdisipliner yang menggabungkan teori kompleksitas, geopolitik, dan etika internasional secara holistik.

Dengan mengadopsi kerangka CAS berbasis enam variabel utama---level interaksi, pola interaksi, probabilitas interaksi, bobot interaksi, stabilitas interaksi, dan output interaksi---penelitian ini menawarkan peta jalan analitis untuk membaca lanskap kekuatan yang sedang berubah dan potensi masa depan yang mungkin terbuka bagi Palestina. Bukan sebagai nubuatan tunggal, tetapi sebagai medan probabilistik dari berbagai skenario dan titik bifurkasi.

B. Definisi dan Penjelasan Enam Variabel Utama dalam CAS

Dalam upaya menerapkan kerangka Sistem Kompleks Adaptif (CAS) untuk menganalisis masa depan Palestina dalam dinamika multipolar global, penting untuk terlebih dahulu merumuskan enam variabel utama yang menjadi dasar model analitis. Keenam variabel ini tidak hanya saling berkaitan tetapi juga berperan dalam membentuk lanskap interaksi global yang dinamis dan tidak linier. Masing-masing variabel berikut memberikan dimensi yang berbeda dalam memahami sistem hubungan internasional sebagai medan adaptasi dan pertarungan makna.

1. Level Interaksi

Level interaksi merujuk pada jumlah aktor atau node yang terlibat secara simultan dalam suatu pola interaksi. Dalam konteks ini, aktor-aktor utama terdiri dari enam negara: Amerika Serikat (AS), Republik Rakyat Tiongkok (RRC), India, Rusia, Indonesia, dan Turki. Level 2 berarti dua negara berinteraksi secara bilateral, sedangkan level 3 hingga 6 menunjukkan interaksi multipolar yang lebih kompleks. Semakin tinggi level interaksi, semakin besar pula kemungkinan terjadinya dinamika emergen yang tidak dapat dijelaskan hanya dari perilaku masing-masing aktor secara terpisah.

2. Pola Interaksi

Pola interaksi mengacu pada susunan atau bentuk relasi antara para aktor. Terdapat dua pola utama:

Kombinasi, di mana relasi dipandang sebagai koalisi setara tanpa memperhatikan urutan dominasi atau inisiator.

Permutasi, di mana urutan dan arah relasi menjadi penting, menandai dominasi, subordinasi, atau pengaruh inisiasi.
Dalam studi ini, digunakan pola kombinasi untuk menyederhanakan kompleksitas dan menekankan keterkaitan horizontal di antara kekuatan global dan semi-global.

3. Probabilitas Interaksi

Probabilitas interaksi menggambarkan sejauh mana dua atau lebih aktor berpotensi berinteraksi secara aktif dalam isu Palestina, baik melalui diplomasi, ekonomi, militer, maupun opini publik global. Probabilitas ini ditentukan oleh kedekatan ideologis, intensitas relasi sebelumnya, posisi historis, serta dinamika geopolitik kontemporer. Nilai probabilitas dapat dikategorikan dalam skala rendah, sedang, hingga tinggi.

4. Bobot Interaksi

Bobot interaksi menunjukkan arah dan kekuatan pengaruh dari sebuah interaksi terhadap masa depan Palestina. Bobot ini dapat bernilai negatif (kontra-produktif terhadap kedaulatan dan keadilan Palestina), netral, atau positif (konstruktif terhadap aspirasi Palestina). Nilai bobot berkisar dari -2 (sangat merugikan) hingga +2 (sangat mendukung). Bobot bukan sekadar soal niat politik, tetapi juga mempertimbangkan kapasitas implementasi dan keberlanjutan dukungan.

5. Stabilitas Interaksi

Stabilitas interaksi mengacu pada seberapa konsisten dan tahan lama pola interaksi antarpihak. Suatu interaksi dapat bernilai tinggi dalam bobot tetapi rendah dalam stabilitas bila hanya bersifat responsif, simbolik, atau temporer. Sebaliknya, interaksi yang stabil akan terus berulang dalam bentuk yang dapat diprediksi, bahkan ketika dunia mengalami turbulensi besar. Stabilitas merupakan indikator penting dalam menilai kemungkinan transformasi jangka panjang bagi Palestina.

6. Output Interaksi

Output interaksi merupakan konsekuensi dari gabungan variabel-variabel sebelumnya, yaitu manifestasi konkret dari hubungan antaraktor yang memengaruhi masa depan Palestina. Output bisa berupa:

Deklarasi politik,

Bantuan kemanusiaan,

Tekanan diplomatik terhadap Israel,

Normalisasi hubungan dengan Israel,

Intervensi dalam forum multilateral,

Atau bahkan pembentukan kerangka solusi dua negara atau alternatif pasca-solusi dua negara.
Output bersifat dinamis dan kontingensi: ia tidak hanya ditentukan oleh logika material, tetapi juga oleh simbolisme, persepsi, dan sentimen publik global.

Dengan keenam variabel tersebut, analisis dapat dilakukan secara modular dan adaptif. Setiap kombinasi aktor pada level interaksi tertentu dapat dievaluasi untuk meramalkan peluang pergeseran geopolitik yang dapat menguntungkan Palestina---atau sebaliknya, memperpanjang status quo yang tidak adil. Kerangka ini tidak bertujuan memberi prediksi deterministik, melainkan membuka horizon imajinasi geopolitik yang lebih plural dan berbasis sistem.

III. Analisis Dinamika Multipolar Enam Negara

A. Profil Geopolitik dan Posisi Masing-Masing Negara Terkait Isu Palestina

Dalam lanskap global yang semakin multipolar, enam negara ini --- Amerika Serikat, Republik Rakyat Tiongkok, India, Rusia, Indonesia, dan Turki --- berfungsi sebagai pilar-pilar kekuatan, pengaruh, dan simbol dalam konfigurasi geopolitik abad ke-21. Masing-masing membawa sejarah, ideologi, serta strategi kebijakan luar negeri yang unik terhadap isu Palestina, dan ketika dianalisis dalam satu kerangka sistem adaptif, mereka menyingkap kemungkinan-kemungkinan masa depan yang tak terduga.

1. Amerika Serikat (AS)

Sebagai kekuatan hegemonik yang telah lama mendominasi politik Timur Tengah, AS memegang posisi strategis dalam isu Palestina. Sejak perjanjian Oslo, AS sering kali berperan sebagai "penengah" yang pada kenyataannya condong mendukung Israel, baik dalam hal militer, diplomasi, maupun veto di Dewan Keamanan PBB.
Namun, dinamika internal AS sedang mengalami fraktur: meningkatnya tekanan dari progresif liberal, diaspora Arab dan Muslim, serta pergeseran opini publik pasca peristiwa Gaza 2023 telah memunculkan ambiguitas moral dalam dukungan tak bersyarat pada Israel. AS berada pada ambang persimpangan: apakah akan melanjutkan peran historisnya sebagai sponsor status quo, atau menyesuaikan diri dengan tata dunia baru yang lebih simetris?

2. Republik Rakyat Tiongkok (RRC)

Tiongkok tampil sebagai kekuatan yang membentuk arsitektur ulang Timur Tengah melalui pendekatan "non-intervensi aktif" --- paradoks yang mencerminkan kepentingan energi dan ambisi global Belt and Road Initiative (BRI).
Dalam isu Palestina, RRC mendukung solusi dua negara, menolak kolonisasi, dan menyuarakan pentingnya kedaulatan Palestina --- namun tetap menjaga hubungan diplomatik dan dagang yang kuat dengan Israel.
RRC memosisikan diri sebagai penyeimbang hegemoni AS, tetapi belum menunjukkan keberanian penuh untuk menjadi pelindung konkret Palestina. Perannya ibarat naga yang menunggu pergerakan angin geopolitik sebelum mengepakkan sayapnya.

3. India

India, di bawah pemerintahan Modi dan doktrin Hindutva yang semakin menguat, telah bergeser dari posisi historisnya yang pro-Palestina menjadi salah satu mitra strategis Israel, terutama dalam hal pertahanan dan teknologi militer.
Meskipun India tetap mendukung solusi dua negara dalam forum internasional, praktik kebijakannya menunjukkan sinyal lain. Sentimen domestik dan aliansi keamanan mengarahkan India pada jalur pragmatis, menjadikan isu Palestina bukan prioritas utama, melainkan bagian dari diplomasi simbolik.
Namun demikian, sebagai pemimpin Global South dan anggota penting BRICS, India tidak bisa sepenuhnya mengabaikan keadilan global yang menjadi tuntutan dari blok selatan dunia.

4. Rusia

Rusia memanfaatkan isu Palestina sebagai alat tawar dalam strategi geostrategisnya, terutama setelah isolasi dari Barat pasca-invasi Ukraina. Moskow mempertahankan hubungan dengan semua pihak: Otoritas Palestina, Hamas, dan Israel, dengan motif untuk mempertahankan pengaruhnya di Timur Tengah dan menantang dominasi AS.
Dukungan Rusia terhadap solusi dua negara konsisten, tetapi instrumen tekanan nyatanya terbatas. Palestina sering menjadi bagian dari narasi anti-hegemonik Rusia, namun belum menjadi prioritas transformasional.
Peran Rusia lebih simbolik dan oportunistik, namun tetap signifikan dalam menunda atau mendorong transisi geopolitik.

5. Indonesia

Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia dan warisan panjang diplomasi bebas aktif, Indonesia memainkan peran penting dalam menyuarakan hak-hak Palestina di forum global.
Konsistensi dukungan Indonesia terhadap kemerdekaan Palestina tercermin dalam diplomasi bilateral, partisipasi aktif di PBB dan OKI, serta tekanan publik domestik. Namun, keterbatasan militer dan ekonomi membuat pengaruh Indonesia cenderung bersifat moral dan normatif.
Indonesia berpotensi menjadi "api dari pinggiran" (fire from the fringe) --- bukan dari kekuatan materialnya, tetapi dari legitimasi moral dan potensi pengkonsolidasian kekuatan Global South dalam platform seperti G20, NAM, dan ASEAN+.

6. Turki

Turki di bawah Erdogan memainkan peran yang ambigu namun dinamis. Satu sisi menunjukkan keberanian konfrontatif terhadap Israel dan mendukung Hamas, sisi lain mempertahankan relasi dagang dan hubungan strategis bilateral.
Turki berusaha memposisikan diri sebagai pemimpin dunia Muslim dan pewaris simbolik khilafah Ottoman dalam konteks Timur Tengah. Retorikanya keras, namun sering kali dibatasi oleh kalkulasi geopolitik, ekonomi, dan militer.
Meskipun demikian, Turki memiliki kapasitas nyata dalam memengaruhi opini publik Muslim global dan memiliki daya jangkau militer yang dapat mengubah medan diplomasi di saat-saat krisis.

Keenam negara ini tidak beroperasi dalam ruang hampa. Mereka saling memengaruhi dalam jalinan kepentingan energi, ekonomi, aliansi militer, dan perimbangan kekuatan. Palestina, dalam konteks ini, bukan hanya medan konflik---tetapi juga cermin bagi kredibilitas etika dan arah masa depan tatanan dunia multipolar.

B. Interaksi Bilateral dan Multilateral Antar Negara dalam Konteks Isu Palestina

Dalam konfigurasi multipolar saat ini, interaksi antara Amerika Serikat, Republik Rakyat Tiongkok, India, Rusia, Indonesia, dan Turki membentuk jaringan kompleks yang saling terkait---baik dalam bentuk bilateral maupun multilateral---yang secara langsung maupun tidak langsung memengaruhi masa depan Palestina. Menggunakan pendekatan Sistem Kompleks Adaptif (CAS), kita menelaah bagaimana variabel-variabel seperti probabilitas interaksi, bobot interaksi, stabilitas interaksi, dan output interaksi menyusun lanskap geopolitik yang cair namun penuh tekanan.

1. Interaksi Bilateral: Menjajaki Jalinan Kepentingan

a. AS--Israel dan Dampaknya ke Enam Negara

Hubungan historis dan strategis AS dengan Israel membentuk fondasi kuat yang sulit digoyahkan. Namun, interaksi AS dengan lima negara lainnya memberikan tekanan timbal balik yang beragam:

Dengan RRC dan Rusia, interaksi ini menciptakan kontestasi naratif atas legitimasi dominasi AS di Timur Tengah.

Dengan India, terjadi konsolidasi strategis dalam Quad, namun disertai ironi karena India juga menjadi mitra Israel.

Dengan Indonesia dan Turki, hubungan cenderung pragmatis, tetapi rentan tekanan dari basis domestik anti-Israel.
Probabilitas interaksi: tinggi
Bobot interaksi: cenderung negatif terhadap perjuangan Palestina
Stabilitas: relatif tinggi, namun mengalami fraktur nilai dalam isu Gaza
Output: memperkuat status quo, namun memberi peluang manuver diplomasi dari negara lain

b. RRC--Negara Muslim (Indonesia, Turki)

RRC menjaga hubungan yang erat dengan Indonesia dan Turki melalui jalur ekonomi (BRI), namun tetap menjaga jarak dari ideologisasi isu Palestina.

Bersama Indonesia, terdapat upaya membentuk diplomasi normatif Global South.

Dengan Turki, lebih bersifat ekonomis dan strategis, bukan ideologis.
Probabilitas interaksi: sedang-tinggi
Bobot interaksi: netral hingga positif bagi Palestina
Stabilitas: tinggi
Output: membuka peluang dukungan politik tanpa konfrontasi langsung terhadap Israel

c. India--Israel vs India--Global South

India mengalami disonansi antara aliansi strategis dengan Israel dan posisi historisnya bersama negara-negara Global South.

Dengan Rusia, India berbagi kepentingan pertahanan dan energi, membuka jalur netral terhadap konflik.

Dengan Indonesia, hubungan cenderung simbolik dan diplomatis, berbasis nilai Non-Aligned Movement.
Probabilitas interaksi: tinggi
Bobot interaksi: campuran (positif dan negatif tergantung poros)
Stabilitas: fluktuatif
Output: potensi ketidakkonsistenan dalam posisi terhadap Palestina

d. Rusia--Turki: Koordinasi dalam Ketegangan

Meskipun terlibat di berbagai sisi konflik (Suriah, Ukraina), Rusia dan Turki menunjukkan kemampuan berinteraksi dalam ruang abu-abu. Keduanya mendukung kemerdekaan Palestina secara retoris, namun kalkulasi kekuasaan tetap dominan.
Probabilitas interaksi: tinggi
Bobot interaksi: positif-taktikal terhadap Palestina
Stabilitas: sedang
Output: membuka peluang "aliansi oportunis" bila momentum geopolitik mengizinkan

2. Interaksi Multilateral: Kecenderungan Blok dan Koalisi Baru

a. Koalisi Timur Non-Barat (RRC, Rusia, India, Turki, Indonesia)

Kecenderungan untuk membentuk blok baru yang menantang dominasi naratif Barat makin nyata, terutama melalui forum seperti BRICS+, G20, dan OKI. Isu Palestina menjadi titik krusial dalam membuktikan apakah koalisi ini sekadar simbolik atau dapat memproduksi output politik yang transformatif.
Probabilitas interaksi: tinggi
Bobot interaksi: berpotensi sangat positif bagi Palestina
Stabilitas: masih rapuh karena kepentingan berbeda
Output: terbuka kemungkinan konsensus untuk diplomasi multipihak

b. Friksi Internal di antara Negara Muslim

Indonesia dan Turki memiliki peran simbolis sebagai negara mayoritas Muslim dengan posisi regional yang berbeda. Meskipun keduanya mendukung Palestina, perbedaan pendekatan dan kedekatan Turki dengan NATO dapat menjadi titik gesekan.
Probabilitas interaksi: sedang
Bobot interaksi: positif namun tidak solid
Stabilitas: sedang
Output: peran simbolik tinggi, efektivitas realpolitik terbatas

c. Kebangkitan Poros Moral dan Legitimasi Global South

Isu Palestina bukan hanya soal politik, tetapi juga legitimasi etis bagi negara-negara Global South. Indonesia, India, dan bahkan Tiongkok mulai menampilkan narasi tandingan terhadap Barat. Di sinilah diplomasi moral menjadi arena perebutan pengaruh.
Probabilitas interaksi: sedang
Bobot interaksi: positif secara naratif
Stabilitas: tergantung tekanan domestik dan ekonomi
Output: memperluas wacana global ke arah keadilan normatif

Jika setiap interaksi adalah simpul dalam jaringan sistem kompleks, maka isu Palestina menjadi semacam strange attractor --- titik gravitasi moral dan strategis yang menarik, memaksa, sekaligus menguji koherensi dan keberanian posisi masing-masing negara. Di sinilah keunikan pendekatan CAS terasa: bukan siapa paling kuat, tetapi siapa paling adaptif dalam menghadapi ketidakpastian dan turbulensi geopolitik.

C. Evaluasi Probabilitas, Bobot, dan Stabilitas Interaksi pada Level 2 hingga 6 Node Berdasarkan Pola Kombinasi

Dalam kerangka Sistem Kompleks Adaptif (CAS), dinamika geopolitik antara enam negara utama---Amerika Serikat (AS), Republik Rakyat Tiongkok (RRC), India, Rusia, Indonesia, dan Turki---terhadap isu Palestina dapat dianalisis melalui level interaksi node berbasis pola kombinasi. Tiap kombinasi merepresentasikan entitas mini-sistem adaptif yang bersifat non-linear, dinamis, dan saling memengaruhi secara timbal balik. Tiga variabel utama dalam evaluasi ini adalah:

Probabilitas interaksi: Seberapa besar kemungkinan aktor-aktor tersebut berinteraksi dalam konteks isu Palestina.

Bobot interaksi: Arah dan kekuatan pengaruh terhadap kepentingan Palestina (positif, netral, atau negatif).

Stabilitas interaksi: Konsistensi relasi dari waktu ke waktu dan resistensinya terhadap perubahan tekanan eksternal.

Di bawah ini disajikan evaluasi dari level interaksi 2 node (kombinasi dua negara) hingga 6 node (gabungan penuh), dengan pola kombinasi unik tanpa redundansi.

Level 2 Node: 15 Kombinasi

Contoh signifikan:

AS--RRC. Probabilitas: tinggi (kontestasi global). Bobot: negatif (kompetisi mengabaikan isu Palestina). Stabilitas: sedang (fluktuasi perang dagang dan militer)

Indonesia--Turki. Probabilitas: tinggi. Bobot: positif (komitmen pro-Palestina). Stabilitas: tinggi (landasan ideologis umat Muslim)

Umumnya, pada level 2 node, interaksi bersifat pragmatis atau simbolik, dengan bobot pengaruh terhadap Palestina lebih terbatas dan segmentatif.

Level 3 Node: 20 Kombinasi

Contoh:

RRC--India--Rusia. Probabilitas: tinggi (dalam BRICS dan SCO). Bobot: netral ke positif (tergantung narasi Global South). Stabilitas: sedang (India--RRC cenderung bersaing)

Indonesia--Turki--Rusia. Probabilitas: sedang. Bobot: positif (koalisi simbolik untuk Palestina). Stabilitas: fluktuatif (perbedaan posisi di NATO dan OKI).

Interaksi pada level ini mulai memperlihatkan potensi koalisi dan efek sinergistik, namun masih sangat dipengaruhi ketidakseimbangan kekuatan ekonomi-militer.

Level 4 Node: 15 Kombinasi

Contoh:

AS--RRC--India--Rusia. Probabilitas: tinggi. Bobot: netral ke negatif (dominan pada kalkulasi kekuasaan). Stabilitas: rapuh (pertarungan pengaruh Asia-Pasifik)

RRC--India--Indonesia--Turki. Probabilitas: sedang. Bobot: positif moderat. Stabilitas: sedang (mencari titik temu Global South--OKI)

Level ini memperlihatkan titik ambivalensi geopolitik, di mana kepentingan ekonomi, keamanan, dan simbolisme agama bertabrakan, membentuk dinamika kompleks dan rentan bifurkasi.

Level 5 Node: 6 Kombinasi

Contoh:

AS--RRC--India--Rusia--Turki. Probabilitas: sedang (forum multilateral ad hoc). Bobot: netral-negatif (kurangnya fokus ke Palestina). Stabilitas: rendah (konflik nilai dan aliansi saling silang)

RRC--India--Rusia--Indonesia--Turki. Probabilitas: sedang-tinggi. Bobot: positif (narasi tandingan Global South). Stabilitas: sedang (masih dibatasi ego nasional dan ekonomi)

Interaksi level 5 node menunjukkan kemungkinan transisi dari simbolisme ke strategi, meski sering kali tersandera oleh ketidaksinkronan posisi diplomatik.

Level 6 Node: Full Node Combination (1 Kombinasi)

AS--RRC--India--Rusia--Indonesia--Turki. Probabilitas: sedang (dalam G20, PBB, multilateralisme global). Bobot: campuran, dengan peluang inklusi nilai keadilan sosial. Stabilitas: sangat rendah (fragmen ideologi dan kepentingan terlalu besar)

Ini adalah skenario simulatif tertinggi dalam CAS geopolitik. Interaksi 6 node mencerminkan sistem dunia kontemporer: saling tergantung, namun tidak pernah benar-benar selaras. Dalam konteks Palestina, ini bisa menjadi peluang emas jika terjadi realignment nilai bersama pasca-shock sistemik (misalnya tragedi besar, tekanan publik global, atau pergeseran nilai elite).

Peta interaksi dari level 2 hingga 6 node menunjukkan bahwa dukungan terhadap Palestina tidak bergantung pada kekuatan militer atau ekonomi semata, melainkan pada konvergensi adaptif nilai, legitimasi moral, dan tekanan sistemik. Dalam dunia yang makin multipolar, keberpihakan terhadap Palestina akan bergantung pada:

Seberapa besar kapasitas adaptif negara-negara besar merespons tekanan rakyat dan narasi keadilan.

Sejauh mana koalisi negara Global South dapat membangun stabilitas interaksi lintas ideologi dan kepentingan.

Dengan demikian, analisis berbasis CAS tidak hanya menawarkan potret statis aktor, tetapi menyediakan simulasi dinamis untuk membaca arah masa depan peradaban---dengan Palestina sebagai cerminnya.

IV. Prediksi dan Skenario Masa Depan Palestina

A. Skenario Skala Kecil hingga Besar (Konflik Berkepanjangan, Solusi Kompromistis, Tekanan Multilateralisme)

Dalam pendekatan Sistem Kompleks Adaptif (CAS), masa depan Palestina tidak ditentukan oleh satu aktor dominan, melainkan oleh interaksi dinamis multipolar yang terus bergeser seiring tekanan internal dan eksternal. Kompleksitas ini menuntut pendekatan skenario yang bersifat terbuka (non-deterministik) dan probabilistik. Berikut adalah tiga skenario utama yang disusun berdasarkan hasil analisis dari level interaksi node dan pola kombinasi antara enam negara kunci (AS, RRC, India, Rusia, Indonesia, Turki):

1. Skenario Skala Kecil: Konflik Berkepanjangan (Status Quo Dinamis)

Deskripsi:
Konflik Palestina terus berlanjut dalam pola spiral---tenang sesaat, lalu meledak kembali. AS tetap memihak Israel secara strategis, RRC dan India fokus pada proyek ekonomi kawasan (BRI, Indo-Pasifik), sementara Rusia terdistraksi oleh krisis internal dan perang lainnya. Indonesia dan Turki tetap vokal, namun minim efek sistemik.

Ciri-ciri CAS:

Probabilitas interaksi tinggi, namun bobotnya rendah untuk perubahan signifikan.

Stabilitas interaksi tinggi justru menjadi penghambat perubahan karena sistem telah menemukan "equilibrium disfungsional".

Aktor besar tidak melihat konflik Palestina sebagai variabel krusial dalam stabilitas global, sehingga perubahan menjadi stagnan.

Konsekuensi:

Palestina terus mengalami krisis kemanusiaan, delegitimasi internal, dan erosi harapan kolektif.

Isu Palestina makin terpinggirkan oleh isu Ukraina, Taiwan, atau perubahan iklim.

2. Skenario Skala Menengah: Solusi Kompromistis (Two-State Lite)

Deskripsi:
Terjadi pergeseran posisi sebagian aktor besar akibat tekanan publik, krisis legitimasi moral, atau kejenuhan diplomatik. RRC, Rusia, dan Turki mulai mendukung mediasi alternatif. AS mulai membuka ruang kompromi, sementara Indonesia memperkuat legitimasi multilateralisme di Asia.

Ciri-ciri CAS:

Probabilitas interaksi meningkat di level 4--5 node, terutama dari negara Global South.

Bobot interaksi mulai positif, terutama dari konfigurasi India--Rusia--Indonesia--Turki.

Stabilitas interaksi sedang, bergantung pada krisis regional dan figur elite tertentu.

Konsekuensi:

Solusi dua negara disepakati secara de facto namun bukan secara de jure.

Palestina mendapat status semi-negara di forum internasional, namun tetap tergantung pada goodwill aktor luar.

Model ini rapuh, namun membuka celah penting bagi fase transisi.

3. Skenario Skala Besar: Tekanan Multilateralisme dan Reposisi Global

Deskripsi:
Terjadi shock sistemik global (misalnya: eskalasi besar-besaran di Gaza yang memicu eksodus massal atau tragedi yang mengguncang dunia), yang membuat legitimasi internasional terhadap Israel runtuh sebagian. Koalisi Global South (RRC--India--Indonesia--Turki--Rusia) bergerak solid sebagai blok normatif baru, memaksa AS beradaptasi.

Ciri-ciri CAS:

Probabilitas interaksi tinggi di level 5--6 node, dengan bobot sebagian besar positif.

Stabilitas interaksi rendah di awal, namun bisa membentuk atraktor baru menuju tatanan pasca-hegemonik.

Interaksi berubah menjadi ko-evolusi nilai dan tekanan sistemik, bukan sekadar relasi antar negara.

Konsekuensi:

Palestina memperoleh status negara merdeka dengan jaminan internasional.

Muncul sistem pengawasan dan rekonsiliasi mirip model "pasca-apartheid Afrika Selatan" yang dikombinasikan dengan solusi teknologi (blockchain governance, UN AI peace monitoring).

Dunia memasuki fase baru "perimbangan etika multipolar", dengan Palestina sebagai simbol lahirnya kesadaran global baru.

Ketiga skenario ini tidak bersifat kaku, melainkan bagian dari satu spektrum adaptif. Skenario besar hanya mungkin terjadi jika:

1. Ada tekanan publik global yang sistemik dan tak bisa diabaikan (misalnya kampanye boikot global seperti BDS yang menjadi kekuatan ekonomi nyata).

2. Tercipta aliansi adaptif lintas ideologi yang stabil di level interaksi tinggi, dengan bobot positif yang terus dipertahankan melalui insentif dan mediasi kreatif.

3. Terdapat figur atau jaringan yang mampu memainkan peran "intelligent node" yang mengikat nilai dan kepentingan secara bersamaan (seperti peran Nelson Mandela di Afrika Selatan).

Dalam konteks ini, Palestina bukan hanya soal tanah dan negara, tetapi menjadi lakmus moral tentang arah evolusi etika dunia multipolar. Seperti dalam teori CAS, perubahan tidak datang dari pusat kekuasaan, tapi dari titik kritis di pinggiran sistem yang mengganggu status quo hingga sistem tersebut dipaksa untuk berubah---atau runtuh.

B. Peran "Fire from the Fringe" (Indonesia dan Turki) dalam Menggeser Dinamika Geopolitik

Dalam sistem multipolar yang sarat rivalitas antar kekuatan besar, perubahan besar jarang dimulai dari pusat. Seperti dalam teori Sistem Kompleks Adaptif (CAS), sistem tidak hanya diatur oleh aktor dominan, tetapi juga oleh gangguan kecil di pinggiran---peripheral agents---yang dalam kondisi tertentu bisa memicu perubahan sistemik. Konsep ini dikenal sebagai "fire from the fringe", yaitu ledakan transformasional yang dimulai dari aktor-aktor yang secara tradisional tidak dominan namun memiliki posisi strategis dalam konteks moral, jaringan sosial, dan legitimasi publik global.

Dalam konteks isu Palestina, Indonesia dan Turki merupakan dua simpul pinggiran yang memiliki potensi mengubah arah arus geopolitik global secara bertahap namun signifikan. Keduanya tidak memiliki kekuatan militer sebesar AS, ekonomi sebesar RRC, atau pengaruh intelijen sebesar Rusia. Namun keduanya memiliki aset strategis yang bersifat kultural, normatif, dan jaringan transnasional yang sangat kuat:

1. Indonesia: Legitimasi Moral Global South dan Jaringan Islam Moderat

Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar, Indonesia memiliki posisi simbolik yang kuat dalam wacana Palestina.

Tradisi diplomasi bebas aktif dan peran dalam organisasi internasional seperti GNB (Gerakan Non-Blok) dan OKI, membuat Indonesia dapat memainkan peran sebagai mediator etis yang diterima oleh banyak pihak.

Gerakan masyarakat sipil di Indonesia terkait Palestina sangat masif dan berkelanjutan, dari aksi kemanusiaan hingga tekanan diplomatik.

Secara budaya, Indonesia tidak dilihat sebagai kekuatan hegemonik atau intervensionis, sehingga lebih mudah mendapatkan trust politik dari berbagai aktor.

Dalam kerangka CAS: Indonesia berperan sebagai node dengan probabilitas interaksi tinggi, bobot interaksi moderat hingga tinggi, dan stabilitas jaringan tinggi karena tidak terikat langsung pada aliansi militer manapun.

2. Turki: Jembatan Geopolitik Eurasia dan Warisan Peradaban

Turki membawa warisan simbolik Kekhalifahan Utsmani, yang menjadikan perannya dalam isu Palestina sangat emosional dan historis, terutama di dunia Arab.

Sejak era Erdogan, Turki memainkan politik luar negeri "neo-Ottoman" yang menyeimbangkan hubungan dengan Barat dan Timur, serta mengedepankan posisi penghubung normatif dalam krisis regional.

Memiliki kapasitas militer, intelijen, dan pengaruh ekonomi yang lebih besar dibanding Indonesia, serta kemampuan navigasi politik yang fleksibel antara NATO dan blok Timur.

Turki sering mengambil posisi keras terhadap Israel dalam forum internasional, namun juga tetap menjaga jalur diplomatik.

Dalam kerangka CAS: Turki memiliki bobot interaksi tinggi dan mampu membentuk jembatan interaksi di level 3--5 node, terutama sebagai katalisator dalam konfigurasi RRC--India--Turki atau Rusia--Indonesia--Turki.

3. Kolaborasi Indonesia--Turki sebagai Node Kritis

Jika Indonesia dan Turki berkolaborasi aktif dalam diplomasi moral, kemanusiaan, dan teknologi diplomatik (e.g. digital diplomacy, humanitarian AI), maka keduanya bisa menjadi "tipping agents" dalam sistem yang cenderung stagnan.
Dalam skenario CAS, kerja sama mereka dapat menciptakan "atraktor baru" yang menggeser sistem dari equilibrium disfungsional (konflik abadi) menuju jalur resolusi berjenjang.

Contoh strategis:

Koordinasi dalam forum multilateral non-Barat (GNB+, D8, OKI Reformasi).

Inisiasi Summit for Palestinian Sovereignty sebagai tandingan dari kerangka Abraham Accords.

Pembuatan task force berbasis AI atau blockchain untuk pemantauan pelanggaran HAM di Palestina.

Dukungan terbuka pada aktor-aktor lokal Palestina yang moderat dan memiliki legitimasi sosial.

4. Potensi Risiko dan Batasan

Namun perlu disadari, posisi fringe juga berarti rentan:

Tekanan dari blok besar seperti AS atau Israel bisa mengisolasi inisiatif tersebut secara ekonomi dan diplomatik.

Ketergantungan Indonesia pada ekspor global dan stabilitas politik dalam negeri bisa menahan ambisi luar negeri.

Turki juga menghadapi tekanan dalam negeri (ekonomi, politik identitas) dan bisa berbalik arah tergantung pada konstelasi internal.

Dalam sistem multipolar yang kian cair, "fringe actors" seperti Indonesia dan Turki justru berpeluang menjadi katalis---bukan karena kekuatan destruktifnya, melainkan karena kemampuan mereka membentuk simpul etis dan jaringan multilateral baru. Dalam konteks Palestina, ini adalah peluang langka untuk memindahkan poros perubahan dari pusat kekuasaan menuju pinggiran yang bernilai.

C. Implikasi dari Dinamika Interaksi yang Adaptif dan Tidak Linear

Salah satu ciri khas sistem kompleks adaptif (Complex Adaptive Systems/CAS) adalah ketidaklinearannya: output sistem tidak selalu proporsional terhadap inputnya. Dalam konteks geopolitik multipolar dan isu Palestina, hal ini berarti bahwa aksi kecil dapat memicu transformasi besar, sementara intervensi besar bisa gagal jika tidak sinkron dengan dinamika adaptif jaringan kekuatan global.

Dalam sistem yang terdiri dari enam node (AS, RRC, India, Rusia, Indonesia, dan Turki), interaksi tidak pernah berlangsung dalam ruang hampa. Masing-masing negara membawa bobot historis, ideologis, kepentingan domestik, serta tekanan aliansi yang membentuk konfigurasi hubungan yang senantiasa berubah. Oleh karena itu, memahami implikasi dari dinamika yang adaptif dan tidak linear menjadi kunci untuk merumuskan prediksi yang reflektif dan strategis.

1. Kejutan Sistemik (Systemic Surprises)

Dalam CAS, emergence adalah fenomena yang membuat sistem menghasilkan pola yang tidak bisa diprediksi hanya dari analisis elemen-elemen individual. Dalam isu Palestina, ini bisa terjadi dalam bentuk:

Koalisi tak terduga yang terbentuk akibat kesamaan tujuan moral atau tekanan domestik, seperti India--Indonesia--Turki dalam platform kemanusiaan digital.
Delegitimasi aktor dominan, misalnya jika opini publik global secara konsisten berbalik terhadap Israel atau AS, yang bisa mengurangi efektivitas soft power mereka secara drastis.
Tipping point diplomatik, di mana peristiwa tertentu (misal agresi besar di Gaza atau pemungutan suara simbolik di PBB) mengubah arah kebijakan negara-negara yang sebelumnya pasif.
2. Ketegangan antara Koherensi Lokal dan Disrupsi Global

Adaptasi dalam sistem kompleks seringkali berlangsung dalam dua arah:

Koherensi lokal: negara merespons dinamika domestik, seperti tekanan rakyat, kebijakan partai, atau kebutuhan ekonomi.
Disrupsi global: negara dipaksa menyesuaikan dengan guncangan eksternal, seperti perubahan aliansi militer, embargo, atau insentif ekonomi dari kekuatan besar.
Implikasinya:

Indonesia mungkin harus memilih antara konsistensi moral terhadap Palestina dan stabilitas perdagangan dengan AS atau Tiongkok.
Turki bisa terdorong memperkuat posisi anti-Zionis karena tekanan dari oposisi domestik atau perhitungan strategis di Timur Tengah.
Rusia dan Tiongkok, sebagai kekuatan kontra-hegemonik, dapat mengambil peran lebih terbuka mendukung Palestina hanya jika hal tersebut sejalan dengan proyek geoekonomi mereka di Global South.
3. Fragilitas Sistemik dan Ketahanan Interaksi

Sistem multipolar adaptif bersifat fragile tetapi resilient. Artinya, meski rapuh terhadap gangguan kecil, sistem bisa menyeimbangkan ulang dirinya secara tak terduga.

Fragilitas muncul jika hanya sedikit node yang aktif dan saling memperkuat, contohnya jika hanya Indonesia dan Turki yang bergerak sendiri-sendiri.
Resiliensi muncul saat banyak node membentuk sinergi parsial yang cukup kuat untuk menahan tekanan dari aktor dominan, misalnya kombinasi India--Rusia--Indonesia dalam mendukung resolusi damai tanpa dominasi Barat.
Ketidaklinearannya terletak pada fakta bahwa:

Kombinasi node lebih penting daripada kekuatan individualnya.
Perubahan pola interaksi lebih menentukan arah sejarah dibanding perubahan pada satu aktor dominan.
4. Implikasi Strategis

Beberapa implikasi strategis dari dinamika interaksi adaptif dan tidak linear ini adalah:

Prediksi linier berbasis logika dominasi kekuasaan tidak lagi memadai. Kemungkinan munculnya skenario solusi Palestina justru lebih besar jika aktor kecil dan menengah mampu memicu resonansi moral dan politik lintas sistem.
Perubahan kebijakan internasional terhadap Palestina tidak harus datang dari atas ke bawah. Alih-alih menunggu perubahan sikap AS atau Israel, perubahan bisa dibentuk melalui penekanan sistemik dari jaringan negara non-dominan dan aktor transnasional.
Diplomasi publik, media, dan teknologi menjadi medan strategis untuk membentuk pola interaksi baru yang lebih adaptif terhadap prinsip keadilan dan hak asasi.
Dinamika sistem adaptif dan tidak linear dalam geopolitik multipolar menunjukkan bahwa isu Palestina bukanlah soal dua negara, melainkan soal jaringan relasi global yang kompleks, sensitif, dan terus berubah. Dalam sistem ini, kemungkinan solusi tidak tergantung pada kekuatan tunggal, tetapi pada kemampuan node-node periferal untuk memicu perubahan bentuk melalui resonansi moral, tekanan multilateral, dan inovasi diplomatik.

Dengan memahami ketidaklinearan ini, kita membuka jalan bagi optimisme baru yang lebih strategis---bahwa dari pinggiran kekuasaan bisa muncul lompatan sejarah yang mengubah arah penderitaan menjadi keadilan.

V. Diskusi Reflektif

A. Tantangan Metodologis dan Epistemologis dalam Memprediksi Konflik Geopolitik Menggunakan CAS

Pendekatan Sistem Kompleks Adaptif (CAS) membuka paradigma baru dalam memandang dan menganalisis dinamika geopolitik, khususnya dalam konteks isu yang begitu kompleks seperti masa depan Palestina di tengah multipolaritas global. Namun, di balik potensi analitis yang besar, penggunaan CAS juga menghadirkan sejumlah tantangan metodologis dan epistemologis yang penting untuk diakui dan dikaji secara kritis.

1. Kompleksitas Model dan Ketidakpastian Prediksi

CAS pada dasarnya menangani sistem dengan banyak variabel yang saling berinteraksi secara nonlinear dan adaptif. Ini menyebabkan:

Model menjadi sangat kompleks dan sulit untuk divalidasi secara empiris, terutama saat variabel-variabelnya berupa aktor negara dengan agenda yang berubah-ubah dan tidak selalu transparan.
Ketidakpastian inheren muncul karena output sistem bukan hanya hasil penjumlahan input, melainkan emergent properties yang sulit diantisipasi, bahkan oleh model yang paling canggih sekalipun.
Oleh karena itu, prediksi yang dihasilkan dari CAS lebih bersifat probabilistik dan skenario daripada deterministik, yang kadang sulit diterima oleh pembuat kebijakan yang mencari kepastian.
2. Keterbatasan Data dan Informasi

Pemodelan interaksi antar negara membutuhkan data yang: Akurat, Terkini, Komprehensif, dan mampu merefleksikan dimensi formal (misal, hubungan diplomatik) dan informal (misal, opini publik, pengaruh aktor non-negara).
Namun, dalam praktiknya:

Data politik dan strategi luar negeri sering bersifat rahasia, parsial, dan bias,
Informasi yang terbuka bisa jadi sudah kadaluarsa atau tidak lengkap,
Kesulitan dalam mengukur variabel seperti bobot interaksi dan probabilitas interaksi secara objektif, terutama ketika mengandalkan sumber sekunder dan interpretasi kualitatif.
3. Epistemologi Kompleksitas dan Refleksivitas

CAS menuntut pengamat untuk mengadopsi paradigma epistemologi yang berbeda dari pendekatan linear tradisional:

Menerima bahwa realitas sosial-politik bersifat dinamis, ambigu, dan sering kali kontradiktif,
Memahami bahwa model bukanlah representasi sempurna, melainkan alat bantu untuk eksplorasi kemungkinan dan pembelajaran sistemik,
Menghindari keinginan berlebihan untuk kontrol dan kepastian, dan justru merangkul ketidakpastian sebagai bagian inheren dari proses prediksi.
Namun, ini menimbulkan tantangan praktis:

Bagaimana menjembatani gap antara teori dan praktik, agar hasil analisis CAS dapat diterima dan dimanfaatkan oleh pembuat kebijakan yang menghendaki rekomendasi konkret,
Mengelola ekspektasi stakeholder yang mungkin berharap hasil prediksi yang pasti dan terukur.
4. Dinamika Politik yang Berubah Cepat dan Non-Linearitas Waktu

Dalam isu geopolitik, faktor waktu sangat kritis:

Dinamika politik bisa berubah drastis dalam hitungan hari atau jam,
Model CAS sering sulit mengakomodasi kejutan-kejutan mendadak (black swan events) yang secara signifikan mengubah peta geopolitik,
Adaptasi cepat dari aktor-aktor geopolitik mungkin melampaui kapasitas model yang berdasarkan data historis dan pola interaksi masa lalu.
5. Kompleksitas Multidisipliner dan Interdisipliner

Menggunakan CAS dalam konteks geopolitik membutuhkan:

Integrasi berbagai disiplin ilmu seperti ilmu politik, ekonomi, sosiologi, psikologi sosial, dan ilmu komputer,
Perlu pemahaman mendalam terhadap konteks historis, budaya, dan sosial masing-masing aktor,
Tantangan koordinasi antar disiplin dan validasi lintas bidang agar model tetap relevan dan akurat.
Pendekatan CAS dalam memprediksi konflik geopolitik dan masa depan Palestina membawa harapan untuk menggali kompleksitas interaksi global yang selama ini sulit dipahami lewat kerangka konvensional. Namun, pemahaman kritis terhadap batasan metodologis dan epistemologisnya sangat penting agar model tidak dijadikan ramalan pasti, melainkan sebagai alat bantu konseptual dan strategis. Dengan demikian, CAS bisa menjadi fondasi dinamis bagi dialog dan kebijakan yang lebih adaptif dan responsif terhadap perubahan zaman.

B. Peran Diplomasi, Tekanan Masyarakat Sipil Internasional, dan Faktor Eksternal Lain

Dalam kerangka Sistem Kompleks Adaptif (CAS), dinamika masa depan Palestina tidak hanya digerakkan oleh aktor-aktor negara besar seperti AS, RRC, India, Rusia, Indonesia, dan Turki, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan non-negara yang bersifat adaptif, mendesak, dan kadang tak terduga. Diplomasi alternatif, desakan dari masyarakat sipil global, serta faktor eksternal seperti krisis energi, teknologi informasi, dan perubahan iklim memegang peranan yang semakin menentukan dalam membentuk output interaksi global atas isu Palestina.

1. Diplomasi sebagai Jembatan dan Mediasi Nonlinear

Diplomasi formal dan informal---baik bilateral maupun multilateral---merupakan salah satu kanal utama dalam mengalirkan dinamika CAS ke dalam realitas kebijakan konkret. Namun dalam konteks Palestina, diplomasi menghadapi:

Polarisasi posisi diplomatik antara negara-negara besar (seperti AS dan sekutunya) dan kekuatan-kekuatan alternatif (seperti Turki dan Indonesia),
Kelelahan diplomatik di lembaga-lembaga internasional seperti PBB, yang sering terjebak dalam veto dan stagnasi keputusan,
Di sisi lain, diplomasi juga bisa menjadi arena eksperimen adaptif, di mana pendekatan-pendekatan baru seperti diplomasi budaya, spiritual, dan ekonomi digunakan oleh negara-negara Global South untuk menciptakan narasi tandingan dan ruang mediasi alternatif.
Diplomasi dalam konteks CAS bukan hanya soal negosiasi posisi, melainkan juga kemampuan menciptakan emergent alignment---yaitu penyelarasan nilai dan tujuan yang muncul secara organik dari dinamika yang saling berinteraksi.

2. Tekanan Masyarakat Sipil Global sebagai Agen Perubahan Adaptif

Dalam ekologi konflik Palestina, masyarakat sipil internasional tampil sebagai aktor non-negara yang lincah, transnasional, dan sangat adaptif, yang tidak tunduk pada kalkulasi diplomatik negara.

Gerakan seperti BDS (Boycott, Divestment, Sanctions) menunjukkan bagaimana mekanisme tekanan dari bawah (bottom-up) dapat memengaruhi kebijakan perusahaan multinasional dan bahkan negara.
Teknologi informasi dan media sosial memungkinkan masyarakat sipil: Mengkonstruksi ulang narasi dominan tentang konflik Palestina, Membuka ruang solidaritas lintas agama, ras, dan negara, Memberikan tekanan reputasional terhadap aktor yang dianggap melanggar nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam logika CAS, masyarakat sipil adalah agen desentralisasi tekanan yang mampu mengganggu keseimbangan semu dan menciptakan bifurkasi dalam sistem geopolitik global.
Tekanan ini tidak selalu langsung menghasilkan solusi konkret, tetapi berperan dalam menggeser lanskap opini publik global, memperluas kesadaran, dan memperbesar kemungkinan terciptanya critical mass untuk perubahan struktural.

3. Faktor Eksternal: Krisis Global dan Interaksi Tak Terduga

Faktor eksternal di luar kendali langsung aktor negara atau masyarakat sipil---seperti:

Krisis pangan dan energi global,
Gelombang migrasi akibat perang dan iklim,
Percepatan teknologi AI dan sistem pengawasan global,
Perubahan poros kekuatan ekonomi dunia,
semuanya merupakan bagian dari "lingkungan adaptif" dalam sistem CAS.

Dalam situasi di mana misalnya: Perang di Ukraina memicu krisis energi Eropa, atau konflik Laut Cina Selatan menarik keterlibatan militer AS yang lebih besar di Asia Pasifik,
maka alokasi perhatian dan sumber daya aktor-aktor besar terhadap isu Palestina dapat berubah drastis, baik meningkat maupun menurun. Inilah yang disebut interaksi silang antar subsistem global---di mana perubahan pada satu subsistem dapat menimbulkan resonansi pada subsistem lain secara tidak linier.

4. Peran Etika Global dan Gerakan Solidaritas Kemanusiaan

Di luar pertimbangan kekuasaan dan kepentingan strategis, faktor moral dan etika global mulai kembali relevan dalam arena geopolitik:

Deklarasi dukungan terhadap Palestina oleh para tokoh spiritual dunia, akademisi, dan intelektual publik,
Semakin kuatnya pan-humanitarian sentiment yang menolak segala bentuk penjajahan dan apartheid.
Gerakan-gerakan seperti ini---meskipun tampak lemah secara struktural---adalah elemen disruptif dalam sistem kompleks, yang memiliki potensi menginspirasi perubahan non-linear dan leap of conscience dalam kesadaran global.

Peran diplomasi, masyarakat sipil global, dan faktor eksternal merupakan lapisan-lapisan penting yang membentuk konfigurasi sistem CAS dalam isu Palestina. Meskipun tidak selalu tampak dominan dalam narasi geopolitik utama, ketiga unsur ini adalah katalis perubahan adaptif yang sering kali mengarahkan sistem pada jalur evolusi baru yang tidak terduga. Dalam konteks ini, memahami dan mengakui mereka bukan hanya penting secara analitis, tetapi juga strategis dan moral.

C. Refleksi atas Kemungkinan Masa Depan yang Dramatis dan Penuh Ketidakpastian

Masa depan Palestina tidak berada di ujung garis lurus dari negosiasi diplomatik atau kalkulasi geopolitik semata. Ia terletak di persimpangan sistem yang dinamis, penuh turbulensi, dan sarat paradoks. Dalam konteks Sistem Kompleks Adaptif (CAS), masa depan bukan sekadar kelanjutan masa kini, melainkan hasil dari interaksi tak terduga antara aktor, tekanan, dan peluang yang berubah secara terus-menerus.

1. Dunia yang Menjadi Lebih Tidak Dapat Diprediksi

Alih-alih bergerak menuju keteraturan, tatanan global kini mengarah ke entropi geopolitik---situasi di mana: Alianasi berubah dengan cepat, Kepentingan nasional bersifat cair dan temporer, Konflik lokal memicu resonansi global dalam hitungan jam.

Dalam kerangka CAS, ini bukan anomali, melainkan karakteristik sistem itu sendiri. Masa depan Palestina, dalam lanskap seperti ini, tidak bisa dikunci dalam satu skenario tunggal, melainkan dalam sekumpulan kemungkinan---dari yang paling pesimistis hingga yang paling transformatif.

2. Potensi Bifurkasi Historis

Ada kemungkinan bahwa dunia sedang mendekati titik bifurkasi---momen kritis di mana sistem "memilih" satu dari banyak jalur evolusi. Dalam konteks Palestina, bifurkasi ini bisa terjadi jika: Terjadi lonjakan kekerasan luar biasa yang memaksa dunia bereaksi kolektif, Muncul pergeseran internal besar di salah satu negara kunci (misalnya perubahan rezim atau orientasi kebijakan luar negeri AS atau India), Teknologi informasi menciptakan moral turning point global seperti kasus George Floyd yang viral, namun dalam konteks Gaza atau Tepi Barat.

Bifurkasi semacam ini seringkali lahir bukan dari perencanaan, tetapi dari ketegangan akumulatif dan pemicu kecil yang melejitkan perubahan besar, seperti efek kupu-kupu dalam sistem kompleks.

3. Antara Apokalips dan Kebangkitan

Dalam horizon ekstrem, kita dihadapkan pada dua kutub imajinasi:

Apokalips geopolitik: Palestina menjadi simbol kehancuran moral dunia, ketidakmampuan hukum internasional, dan puncak dari ketimpangan global. Dalam skenario ini, konflik meluas, menciptakan radikalisasi, perang regional, bahkan eksodus manusia dalam skala besar.
Kebangkitan etika global: Palestina menjadi titik balik kesadaran dunia tentang urgensi keadilan, solidaritas, dan humanisme. Dalam skenario ini, perubahan datang bukan dari kekuatan militer, tetapi dari kombinasi tekanan moral global, gerakan masyarakat sipil, dan reposisi aktor-aktor kunci dalam sistem multipolar.
Kedua skenario ini bukan keniscayaan, tetapi kemungkinan adaptif yang muncul dari konfigurasi interaksi antar-aktor dan respon terhadap tekanan sistemik.

4. Posisi Manusia dalam Sistem yang Tidak Dapat Dikendalikan

CAS mengingatkan kita bahwa kita adalah bagian dari sistem yang kita coba pahami. Kita bukan sekadar pengamat, melainkan partisipan---baik sebagai penulis, pembaca, diplomat, aktivis, pemimpin, atau warga dunia biasa.

Masa depan Palestina mencerminkan dilema yang lebih besar: apakah umat manusia mampu mengelola kompleksitas yang diciptakannya sendiri, atau akan tenggelam dalam konflik dan kebutaan historis yang berulang?

Refleksi ini bukan semata pesimisme, melainkan undangan untuk merumuskan etika adaptif---yakni kemampuan manusia untuk tidak hanya memahami kompleksitas, tetapi juga bertindak di dalamnya secara bertanggung jawab, berani, dan penuh belas kasih.

Dalam dunia yang semakin tidak linear dan tak pasti, harapan tidak lagi bertumpu pada keniscayaan sejarah, tetapi pada keberanian untuk mengganggu pola yang mapan dan membayangkan jalur baru secara kolektif. Palestina, dalam konteks ini, bukan hanya medan konflik, tetapi juga medan harapan, titik pertemuan antara kehancuran dan kemungkinan transendensi.

6. Kesimpulan

A. Sintesis Temuan dan Rekomendasi Kebijakan

Konflik Palestina bukan hanya tragedi lokal, melainkan barometer moral dan geopolitik dunia. Dalam upaya memahami dan memprediksi arah masa depannya, pendekatan Sistem Kompleks Adaptif (CAS) menawarkan lensa konseptual yang lebih tajam dan kontekstual. Melalui pemetaan interaksi antara enam aktor utama---Amerika Serikat (AS), Republik Rakyat Tiongkok (RRC), India, Rusia, Indonesia, dan Turki---dengan variabel-variabel CAS seperti probabilitas interaksi, bobot pengaruh, stabilitas hubungan, level dan pola interaksi, serta output dinamis yang dihasilkan, kita memperoleh gambaran yang lebih holistik tentang kerentanan dan peluang.

Sintesis Temuan

1. Level Interaksi 2 hingga 6 node menunjukkan kecenderungan sistem untuk membentuk keseimbangan tidak tetap (unstable equilibrium). Dalam konfigurasi ini, perubahan kecil dalam bobot atau arah kebijakan satu negara dapat berdampak sistemik pada keseluruhan dinamika multipolar.

2. Amerika Serikat dan Tiongkok tetap menjadi pusat gravitasi utama, namun posisi negara seperti Indonesia dan Turki berfungsi sebagai pengganggu potensial (disruptive balancing agents) yang mampu menggeser arah arus geopolitik secara bertahap namun signifikan.

3. Rusia dan India memainkan peran ambivalen: satu kaki di poros lama, satu lagi dalam percaturan baru yang lebih oportunistik. Keduanya cenderung mempertahankan kepentingan strategis jangka panjang sambil tetap fleksibel terhadap perubahan konfigurasi kekuatan.

4. Probabilitas terjadinya interaksi berbobot tinggi semakin meningkat pada level interaksi 4 hingga 6, namun stabilitasnya menurun---menunjukkan bahwa dalam dunia multipolar, kolaborasi makin mungkin, tetapi juga makin rapuh.

5. Output interaksi sangat dipengaruhi oleh tekanan internal (domestik) dan eksternal (global shock). Faktor seperti perubahan pemerintahan, tekanan publik global, atau krisis kemanusiaan dapat menjadi pemicu bifurkasi arah kebijakan.

Rekomendasi Kebijakan

1. Bangun koalisi lintas kutub yang fleksibel dan dinamis antara negara-negara "fringe" seperti Indonesia dan Turki, guna membentuk jalur alternatif yang menjembatani perbedaan posisi ekstrem AS dan RRC.

2. Dorong penggunaan diplomasi adaptif dan asimetris, yaitu pendekatan kebijakan luar negeri yang tidak selalu reaktif terhadap tekanan geopolitik besar, melainkan proaktif menciptakan celah dialog, terutama dalam platform multipihak seperti OKI, G20, dan ASEAN+.

3. Manfaatkan jaringan masyarakat sipil global sebagai penguat tekanan moral dan legitimasi internasional terhadap penyelesaian adil bagi Palestina. Dalam sistem kompleks, perubahan sering kali lahir dari lapisan bawah, bukan hanya dari elite penguasa.

4. Investasikan dalam model-model prediktif berbasis sistem kompleks untuk membantu pembuat kebijakan memahami titik-titik bifurkasi dan intervensi optimal dalam peta konflik.

5. Perkuat kapasitas diplomasi publik, mediasi lintas budaya, dan pemulihan pasca-konflik sebagai bagian dari soft power negara-negara multipolar baru---bukan hanya dalam membentuk solusi Palestina, tetapi sebagai model untuk konflik regional lainnya.

Dalam dunia yang terus bergeser dari unipolaritas ke multipolaritas, dari keteraturan ke kompleksitas, dan dari prediksi linier ke ketidakpastian dinamis, masa depan Palestina akan sangat bergantung pada kemampuan kolektif global untuk beradaptasi, membangun interaksi positif, dan membuka ruang baru bagi keadilan.

Seperti dalam sistem kompleks manapun, hasil akhir tidak ditentukan oleh kekuatan terbesar, tetapi oleh interaksi paling cerdas, paling sabar, dan paling bernurani.

B. Saran untuk Studi Lebih Lanjut dan Aplikasi Model CAS dalam Konflik Internasional

Mengingat kompleksitas dinamika geopolitik kontemporer, pendekatan Sistem Kompleks Adaptif (CAS) bukan hanya relevan, tetapi semakin menjadi kebutuhan metodologis untuk memahami dan mengintervensi konflik internasional secara konstruktif. Studi ini telah menunjukkan bagaimana interaksi antarnegara dalam isu Palestina tidak dapat dijelaskan secara memadai melalui pendekatan linier atau relasi kekuasaan konvensional saja.

Saran untuk Studi Lebih Lanjut:

1. Pengembangan Model Kuantitatif Berbasis CAS:
Studi lanjutan perlu menyusun model kuantitatif yang dapat mensimulasikan perubahan pada masing-masing variabel CAS (seperti bobot dan probabilitas interaksi) berdasarkan data empiris diplomatik, ekonomi, dan militer. Ini dapat menggunakan pendekatan seperti agent-based modeling (ABM) atau network dynamics.

2. Kajian Komparatif dengan Konflik Lain:
Aplikasi model CAS dapat diperluas pada konflik-konflik lain seperti di Ukraina, Yaman, atau Taiwan. Dengan membandingkan konfigurasi interaksi antaraktor di berbagai konteks, kita dapat membangun tipologi sistem konflik (fragile, volatile, stable, transformative) yang berguna secara praktis.

3. Integrasi CAS dengan Data Big Data dan AI:
Penggunaan data besar dari media sosial, laporan intelijen terbuka (open-source intelligence), dan algoritma pembelajaran mesin (machine learning) dapat meningkatkan ketajaman prediksi sistem kompleks, serta mendeteksi gejala-gejala awal (early warning signals) dari perubahan drastis dalam sistem internasional.
4. Eksplorasi Interaksi Non-Negara dalam CAS:
Penelitian lebih lanjut juga sebaiknya memasukkan aktor non-negara---seperti kelompok perjuangan sipil, korporasi global, LSM, atau bahkan gerakan keagamaan---yang dapat menjadi node penting dalam dinamika sistem, khususnya dalam konteks Palestina yang sarat dengan tekanan sosial global.

5. Model Ko-Evolusi Sistem:
Disarankan untuk mengembangkan studi tentang bagaimana dua atau lebih subsistem (misalnya: sistem diplomasi dan sistem opini publik global) dapat saling memengaruhi dalam skema ko-evolusi adaptif. Ini akan memperkaya pemahaman tentang mengapa beberapa konflik stagnan, sementara yang lain dapat berkembang menuju resolusi atau bahkan transformasi total.

Dalam semesta hubungan internasional yang semakin mirip jaringan ekosistem biologis atau arsitektur neural kompleks, studi konflik tidak lagi sekadar soal siapa melawan siapa, tetapi soal bagaimana sistem bereaksi, beradaptasi, dan---pada titik-titik tertentu---bertransformasi. Model CAS menawarkan jembatan antara realitas dunia yang tidak pasti dengan kebutuhan untuk tetap merancang strategi yang rasional.

Masa depan Palestina, dan masa depan dunia, mungkin tidak dapat diprediksi dengan pasti---namun dapat diarahkan dengan bijak, asalkan kita mengerti cara sistem bekerja.

DAFTAR PUSTAKA

A. Teori Sistem Kompleks Adaptif dan Model Sistem Internasional:

1. Holland, J. H. (1995). Hidden Order: How Adaptation Builds Complexity. Addison-Wesley.

2. Axelrod, R., & Cohen, M. D. (2000). Harnessing Complexity: Organizational Implications of a Scientific Frontier. Basic Books.

3. Mitchell, M. (2009). Complexity: A Guided Tour. Oxford University Press.

4. Cioffi-Revilla, C. (2014). Introduction to Computational Social Science: Principles and Applications. Springer.

5. Waldrop, M. M. (1992). Complexity: The Emerging Science at the Edge of Order and Chaos. Simon & Schuster.

6. Cederman, L.-E. (1997). Emergent Actors in World Politics: How States and Nations Develop and Dissolve. Princeton University Press.

B. Kajian Hubungan Internasional dan Geopolitik Kontemporer:

7. Buzan, B., & Wver, O. (2003). Regions and Powers: The Structure of International Security. Cambridge University Press.

8. Mearsheimer, J. J. (2001). The Tragedy of Great Power Politics. W. W. Norton & Company.

9. Nye, J. S. (2011). The Future of Power. PublicAffairs.

10. Kissinger, H. (2014). World Order. Penguin Books.

11. Waltz, K. N. (1979). Theory of International Politics. McGraw-Hill.

C. Konflik Palestina dan Dinamika Timur Tengah:

12. Khalidi, R. (2020). The Hundred Years' War on Palestine: A History of Settler Colonialism and Resistance, 1917--2017. Metropolitan Books.

13. Papp, I. (2004). A History of Modern Palestine: One Land, Two Peoples. Cambridge University Press.

14. Said, E. W. (1979). The Question of Palestine. Vintage Books.

15. Smith, C. D. (2016). Palestine and the Arab-Israeli Conflict: A History with Documents. Bedford/St. Martin's.

D. Strategi Global Negara-Negara Utama (AS, RRC, India, Rusia, Indonesia, Turki):

16. Allison, G. (2017). Destined for War: Can America and China Escape Thucydides's Trap? Houghton Mifflin Harcourt.

17. Mahbubani, K. (2020). Has China Won? The Chinese Challenge to American Primacy. PublicAffairs.

18. Cohen, A. (2006). Russia's Strategic Agenda in the Middle East. The Washington Institute.

19. Pant, H. V. (2016). Indian Foreign Policy: An Overview. Manchester University Press.

20. Anwar, D. F. (2010). "Indonesia's Role in the Middle East: Between Islam and Non-Aligned Principles." Contemporary Southeast Asia, 32(3), 388--413.

21. zkan, B. (2014). "Turkey, Davutolu and the Idea of Pan-Islamism." Survival, 56(4), 119--140.

E. Studi Metodologi Konflik dan Sistem Dinamis:

22. Prigogine, I., & Stengers, I. (1984). Order Out of Chaos: Man's New Dialogue with Nature. Bantam Books.

23. Bar-Yam, Y. (2003). Dynamics of Complex Systems. Westview Press.

24. Helbing, D. (2012). "Systemic Risks in Society and Economics." International Journal of Disaster Risk Science, 3(3), 67--75.

25. Urry, J. (2003). Global Complexity. Polity Press.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun