Sejak era Erdogan, Turki memainkan politik luar negeri "neo-Ottoman" yang menyeimbangkan hubungan dengan Barat dan Timur, serta mengedepankan posisi penghubung normatif dalam krisis regional.
Memiliki kapasitas militer, intelijen, dan pengaruh ekonomi yang lebih besar dibanding Indonesia, serta kemampuan navigasi politik yang fleksibel antara NATO dan blok Timur.
Turki sering mengambil posisi keras terhadap Israel dalam forum internasional, namun juga tetap menjaga jalur diplomatik.
Dalam kerangka CAS: Turki memiliki bobot interaksi tinggi dan mampu membentuk jembatan interaksi di level 3--5 node, terutama sebagai katalisator dalam konfigurasi RRC--India--Turki atau Rusia--Indonesia--Turki.
3. Kolaborasi Indonesia--Turki sebagai Node Kritis
Jika Indonesia dan Turki berkolaborasi aktif dalam diplomasi moral, kemanusiaan, dan teknologi diplomatik (e.g. digital diplomacy, humanitarian AI), maka keduanya bisa menjadi "tipping agents" dalam sistem yang cenderung stagnan.
Dalam skenario CAS, kerja sama mereka dapat menciptakan "atraktor baru" yang menggeser sistem dari equilibrium disfungsional (konflik abadi) menuju jalur resolusi berjenjang.
Contoh strategis:
Koordinasi dalam forum multilateral non-Barat (GNB+, D8, OKI Reformasi).
Inisiasi Summit for Palestinian Sovereignty sebagai tandingan dari kerangka Abraham Accords.
Pembuatan task force berbasis AI atau blockchain untuk pemantauan pelanggaran HAM di Palestina.
Dukungan terbuka pada aktor-aktor lokal Palestina yang moderat dan memiliki legitimasi sosial.