Di masa lalu, konflik Palestina-Israel kerap dianalisis dalam kerangka bipolaritas era Perang Dingin---AS di satu sisi, Uni Soviet di sisi lain. Namun dunia telah bergeser. Kini, kekuatan global tidak lagi berputar pada dua kutub dominan, melainkan menyebar ke dalam poros-poros multipolar yang saling bersaing, berkolaborasi, dan beradaptasi secara dinamis. Amerika Serikat, dengan posisi historisnya sebagai pendukung utama Israel, terus memainkan peran determinan dalam memblokir atau mengarahkan arah resolusi konflik. Namun, posisi hegemoniknya kini ditantang oleh bangkitnya China (RRC) sebagai kekuatan ekonomi dan diplomatik global yang semakin vokal dalam isu-isu keadilan internasional. Di sisi lain, Rusia memainkan peran ganda: sebagai kekuatan militer yang strategis di kawasan, sekaligus sebagai aktor yang mencoba memosisikan diri sebagai penyeimbang terhadap dominasi AS di Timur Tengah.
India, sebagai rising power dan mitra strategis AS maupun Rusia, menunjukkan dinamika ambivalen dalam isu Palestina. Dukungan historisnya terhadap Palestina kini dihadapkan pada kalkulasi baru dalam konteks kerja sama pertahanan dan ekonomi dengan Israel. Sementara itu, Indonesia dan Turki---dua kekuatan non-Barat yang konsisten menyuarakan dukungan terhadap Palestina---muncul sebagai simbol moral dan politik dari "fire from the fringe," kekuatan dari pinggiran yang berpotensi menggeser arah narasi dominan global.
Konteks multipolar ini tidak hanya memperumit, tetapi juga membuka ruang baru dalam memahami dan memetakan masa depan Palestina. Setiap simpul dalam jaringan kekuatan global kini memiliki potensi untuk mengintervensi, memediasi, atau bahkan mengabaikan konflik berdasarkan dinamika internal dan eksternal masing-masing. Dalam struktur kekuasaan yang kian cair, pendekatan yang linier dan prediktif konvensional tak lagi mencukupi. Yang diperlukan adalah kerangka analisis yang mampu menangkap kompleksitas interaksi adaptif antar aktor---baik yang besar maupun yang selama ini dianggap marjinal.
Oleh karena itu, isu Palestina kini menjadi cermin dunia: cermin dari sistem global yang tengah bergulat antara dominasi dan desentralisasi, antara realisme kekuasaan dan idealisme moral, antara status quo dan perubahan. Relevansinya dalam konteks geopolitik multipolar bukan hanya terletak pada siapa yang memenangkan konflik ini, tetapi pada bagaimana dunia merespons penderitaan yang berlarut dalam pusaran kepentingan global. Dalam pusaran inilah, Palestina bisa menjadi katalis transformasi sistem global---atau sebaliknya, korban abadi dari sistem yang enggan berubah.
B. Motivasi Penggunaan Pendekatan Sistem Kompleks Adaptif (CAS)
Memahami masa depan Palestina di tengah dinamika geopolitik multipolar bukanlah perkara sekadar menjumlahkan posisi negara-negara besar. Dalam dunia yang saling terhubung secara ekonomi, ideologis, militer, dan digital, relasi antaraktor bersifat non-linear, adaptif, dan penuh umpan balik. Perubahan kecil di satu simpul---misalnya pergeseran posisi diplomatik India atau manuver simbolik dari Indonesia---dapat memicu resonansi besar di tingkat global. Pola ini menunjukkan bahwa sistem internasional tidak lagi bekerja dalam kerangka mekanistik atau deterministik, tetapi sebagai sistem kompleks adaptif (Complex Adaptive System/CAS) yang hidup, berubah, dan kerap kali tidak terduga.
Pendekatan CAS memungkinkan kita untuk memetakan interaksi antaraktor sebagai unit yang bukan hanya bergerak sendiri-sendiri, tetapi saling mempengaruhi dalam lingkaran adaptasi berkelanjutan. Setiap negara adalah agen (agent) yang membawa preferensi, memori historis, strategi bertingkat, dan sensitivitas terhadap perubahan konteks---baik domestik maupun internasional. Interaksi ini tidak dapat dijelaskan hanya dengan logika kepentingan rasional, tetapi juga dengan mempertimbangkan dinamika ko-evolusi, tipping point, dan bahkan bifurkasi yang muncul akibat tekanan dan krisis yang bersamaan.
Khusus dalam konteks isu Palestina, CAS menawarkan cara pandang baru untuk memahami bagaimana dukungan, netralitas, atau permusuhan terhadap aspirasi Palestina berkembang dan berubah. Tidak hanya bergantung pada satu atau dua negara kunci, tetapi pada jalinan interaksi kolektif dan respons mutual antar enam negara sentral---AS, RRC, India, Rusia, Indonesia, dan Turki---yang membentuk medan kekuatan global hari ini. Dalam pendekatan ini, setiap kombinasi negara bisa menciptakan efek baru: peluang baru untuk solusi, resistensi baru terhadap perubahan, atau bahkan konfigurasi kekuasaan yang tak terduga.
Mengintegrasikan enam variabel kunci dalam kerangka CAS---level interaksi, pola interaksi, probabilitas interaksi, bobot interaksi, stabilitas interaksi, dan output interaksi---memungkinkan pemodelan sistemik terhadap dinamika yang tampak acak namun sesungguhnya mengikuti hukum kompleksitas. Pendekatan ini menolak determinisme tetapi merangkul keteraturan yang muncul (emergence). Ia tidak mencari satu solusi absolut, tetapi membaca lanskap probabilistik dari berbagai kemungkinan masa depan.
Dengan pendekatan ini, kita tidak hanya bertanya: "Siapa yang mendukung Palestina?" tetapi lebih dalam, "Bagaimana dukungan itu terbentuk, bagaimana ia saling beresonansi, dan seberapa stabil atau rapuh jalinan dukungan tersebut?" CAS membantu kita menangkap pergeseran subtil dan perubahan mendasar yang tersembunyi dalam dinamika antaraktor. Ini menjadi sangat penting karena dalam isu sekompleks Palestina, keputusan-keputusan kecil dapat menentukan apakah yang muncul adalah harapan atau kehancuran.
Dalam dunia yang makin tidak dapat diprediksi, pendekatan CAS bukan hanya alat analisis---ia adalah kebutuhan epistemologis untuk bertahan dan memahami realitas yang terus-menerus berubah.