Dalam lanskap global yang semakin multipolar, enam negara ini --- Amerika Serikat, Republik Rakyat Tiongkok, India, Rusia, Indonesia, dan Turki --- berfungsi sebagai pilar-pilar kekuatan, pengaruh, dan simbol dalam konfigurasi geopolitik abad ke-21. Masing-masing membawa sejarah, ideologi, serta strategi kebijakan luar negeri yang unik terhadap isu Palestina, dan ketika dianalisis dalam satu kerangka sistem adaptif, mereka menyingkap kemungkinan-kemungkinan masa depan yang tak terduga.
1. Amerika Serikat (AS)
Sebagai kekuatan hegemonik yang telah lama mendominasi politik Timur Tengah, AS memegang posisi strategis dalam isu Palestina. Sejak perjanjian Oslo, AS sering kali berperan sebagai "penengah" yang pada kenyataannya condong mendukung Israel, baik dalam hal militer, diplomasi, maupun veto di Dewan Keamanan PBB.
Namun, dinamika internal AS sedang mengalami fraktur: meningkatnya tekanan dari progresif liberal, diaspora Arab dan Muslim, serta pergeseran opini publik pasca peristiwa Gaza 2023 telah memunculkan ambiguitas moral dalam dukungan tak bersyarat pada Israel. AS berada pada ambang persimpangan: apakah akan melanjutkan peran historisnya sebagai sponsor status quo, atau menyesuaikan diri dengan tata dunia baru yang lebih simetris?
2. Republik Rakyat Tiongkok (RRC)
Tiongkok tampil sebagai kekuatan yang membentuk arsitektur ulang Timur Tengah melalui pendekatan "non-intervensi aktif" --- paradoks yang mencerminkan kepentingan energi dan ambisi global Belt and Road Initiative (BRI).
Dalam isu Palestina, RRC mendukung solusi dua negara, menolak kolonisasi, dan menyuarakan pentingnya kedaulatan Palestina --- namun tetap menjaga hubungan diplomatik dan dagang yang kuat dengan Israel.
RRC memosisikan diri sebagai penyeimbang hegemoni AS, tetapi belum menunjukkan keberanian penuh untuk menjadi pelindung konkret Palestina. Perannya ibarat naga yang menunggu pergerakan angin geopolitik sebelum mengepakkan sayapnya.
3. India
India, di bawah pemerintahan Modi dan doktrin Hindutva yang semakin menguat, telah bergeser dari posisi historisnya yang pro-Palestina menjadi salah satu mitra strategis Israel, terutama dalam hal pertahanan dan teknologi militer.
Meskipun India tetap mendukung solusi dua negara dalam forum internasional, praktik kebijakannya menunjukkan sinyal lain. Sentimen domestik dan aliansi keamanan mengarahkan India pada jalur pragmatis, menjadikan isu Palestina bukan prioritas utama, melainkan bagian dari diplomasi simbolik.
Namun demikian, sebagai pemimpin Global South dan anggota penting BRICS, India tidak bisa sepenuhnya mengabaikan keadilan global yang menjadi tuntutan dari blok selatan dunia.
4. Rusia
Rusia memanfaatkan isu Palestina sebagai alat tawar dalam strategi geostrategisnya, terutama setelah isolasi dari Barat pasca-invasi Ukraina. Moskow mempertahankan hubungan dengan semua pihak: Otoritas Palestina, Hamas, dan Israel, dengan motif untuk mempertahankan pengaruhnya di Timur Tengah dan menantang dominasi AS.
Dukungan Rusia terhadap solusi dua negara konsisten, tetapi instrumen tekanan nyatanya terbatas. Palestina sering menjadi bagian dari narasi anti-hegemonik Rusia, namun belum menjadi prioritas transformasional.
Peran Rusia lebih simbolik dan oportunistik, namun tetap signifikan dalam menunda atau mendorong transisi geopolitik.
5. Indonesia
Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia dan warisan panjang diplomasi bebas aktif, Indonesia memainkan peran penting dalam menyuarakan hak-hak Palestina di forum global.
Konsistensi dukungan Indonesia terhadap kemerdekaan Palestina tercermin dalam diplomasi bilateral, partisipasi aktif di PBB dan OKI, serta tekanan publik domestik. Namun, keterbatasan militer dan ekonomi membuat pengaruh Indonesia cenderung bersifat moral dan normatif.
Indonesia berpotensi menjadi "api dari pinggiran" (fire from the fringe) --- bukan dari kekuatan materialnya, tetapi dari legitimasi moral dan potensi pengkonsolidasian kekuatan Global South dalam platform seperti G20, NAM, dan ASEAN+.