"Alif barusan lari-larian, Bunda. Ngikutin teman-teman yang bersepeda keliling komplek." Alif berkata-kata antusias.
Nadanya riang. Dia seolah menikmati saja berlari mengiringi teman-temannya yang pada bersepeda.
Aku tatap wajah polosnya. Kuusap-usap kepalanya. Hatiku iba. Dada rasanya bergemuruh mendengar penuturan lugu Alif barusan. Terbayang betapa lelahnya darah dagingku itu berlarian ke sana ke mari, sementara teman-temannya asik mengayuh sepeda.
Mataku berkaca-kaca. Namun, segera kuhapus. Menyembunyikannya dari Alif.
"Sabar, ya Nak. Tetaplah berdoa, semoga kita segera punya uang dan bisa membeli sepeda."
"Yang benar, Bunda mau membelikan Alif sepeda jika kita punya uang?" tanya Alif penuh harap seraya memegang tanganku.
"Iya, Nak," jawabku sambil memaksakan seulas senyum.
Senyum getir, karena aku tak tahu kapan uang yang kumaksud bisa terkumpul. Harga sebuah sepeda jelas sangat mahal untuk ukuran ekonomi keluargaku yang sedang morat-marit.
Suamiku yang cuma karyawan rendahan kena PHK sejak pandemi covid-19 melanda. Bukan dia saja memang. Hampir 50 persen karyawan kantornya dirumahkan dengan pesangon ala kadarnya.
Pesangon itu hanya cukup untuk bertahan hidup satu bulan. Setelah itu, kami harus memutar otak untuk bisa memenuhi kebutuhan hidup dari hari ke hari.
Bulan kedua, aku mulai kebingungan. Pemasukan tidak ada sama sekali. Tabungan tak punya. Sementara, pengeluaran tidak berkurang. Malah bertambah.