Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana Pilihan

Sepeda Itu Mahal, Nak

29 Juni 2021   09:10 Diperbarui: 29 Juni 2021   09:17 239 2

"Bunda, sepeda harganya mahal, ya?" tanya anakku Alif sambil mengatur nafasnya yang tersengal-sengal.

"Iya, Nak... mahal...," jawabku lembut.

"Seberapa mahal sih, Bunda?"

"Mahal sekali, Nak. Kira-kira seharga ribuan gorengan yang Alif antar ke warung-warung tiap pagi itu."

"Hmm... iya ya, Bunda... mahal sekali," ujar Alif sambil tersenyum lebar.

Senyum polosnya itu terasa menyesakkan bagiku.

Aku paham betul, putraku itu sangat ingin punya sepeda. Tapi, apa daya, aku belum mampu membelikannya.

Alif tak pernah meminta secara langsung. Tapi, aku tahu pasti isi hatinya. Apalagi sejak dia hanya di rumah saja karena pandemi corona, dia makin ingin punya sepeda. Karena semua teman sepermainannya punya dan memainkannya tiap sore.

Baru kali ini dia menanyakan berapa harga sepeda. Aku paham maksud pertanyaan itu. Hati kecilnya ingin dibelikan sepeda. Namun, dia tak berani meminta terang-terangan karena tak mau membebaniku. Sungguh anak yang baik.

Tapi, itu justru membuatku sedih. Anak sekecil itu berusaha menahan keinginan karena paham kondisi orang tuanya yang tak mampu. Sementara, hampir semua teman sepermainannya seolah selalu bisa dengan mudah mendapatkan segala keinginan mereka, termasuk sepeda.

"Kenapa Alif tersengal-sengal begitu, Nak?" tanyaku mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Alif barusan lari-larian, Bunda. Ngikutin teman-teman yang bersepeda keliling komplek." Alif berkata-kata antusias.

Nadanya riang. Dia seolah menikmati saja berlari mengiringi teman-temannya yang pada bersepeda.

Aku tatap wajah polosnya. Kuusap-usap kepalanya. Hatiku iba. Dada rasanya bergemuruh mendengar penuturan lugu Alif barusan. Terbayang betapa lelahnya darah dagingku itu berlarian ke sana ke mari, sementara teman-temannya asik mengayuh sepeda.

Mataku berkaca-kaca. Namun, segera kuhapus. Menyembunyikannya dari Alif.

"Sabar, ya Nak. Tetaplah berdoa, semoga kita segera punya uang dan bisa membeli sepeda."

"Yang benar, Bunda mau membelikan Alif sepeda jika kita punya uang?" tanya Alif penuh harap seraya memegang tanganku.

"Iya, Nak," jawabku sambil memaksakan seulas senyum.

Senyum getir, karena aku tak tahu kapan uang yang kumaksud bisa terkumpul. Harga sebuah sepeda jelas sangat mahal untuk ukuran ekonomi keluargaku yang sedang morat-marit.

Suamiku yang cuma karyawan rendahan kena PHK sejak pandemi covid-19 melanda. Bukan dia saja memang. Hampir 50 persen karyawan kantornya dirumahkan dengan pesangon ala kadarnya.

Pesangon itu hanya cukup untuk bertahan hidup satu bulan. Setelah itu, kami harus memutar otak untuk bisa memenuhi kebutuhan hidup dari hari ke hari.

Bulan kedua, aku mulai kebingungan. Pemasukan tidak ada sama sekali. Tabungan tak punya. Sementara, pengeluaran tidak berkurang. Malah bertambah.

Tak ada upaya yang bisa kami lakukan selain menjual barang berharga yang bisa segera laku dan jadi uang.

Korban pertama adalah sepeda motor suamiku. Tak seberapa hasil penjualannya. Karena motor tua. Juga hanya satu bulan, uang hasil penjualan motor itu pun tandas.

Berikutnya, HP ku juga terpaksa dijual. Sebagai gantinya, kubeli HP GSM bekas sekedar untuk bisa menelpon.

Setelah HP itu, tak ada lagi barang berhaga yang bisa kami jual.

Dalam kondisi kritis demikian, suami coba bekerja apa saja. Dan, Alhamdulillah, sudah beberapa bulan ini dia bisa ikut kerja bangunan. Membantu temannya yang seorang tukang.

Namun, penghasilan seorang kuli bangunan tentunya tak seberapa. Hanya cukup untuk makan sehari-hari. Itupun sangat sederhana.

Oleh karena itu, aku bantu dengan menjual gorengan. Tiap pagi Alif yang mengantar ke warung-warung sekitaran komplek, kemudian mengambil uang hasil penjualannya setelah Ashar. Hasilnya lumayan untuk menambah-nambah biaya harian dan sisanya bisa ditabung sedikit-sedikit.

*****

Hari itu Alif bermain sejak siang. Menjelang Ashar, dia pulang ke rumah dengan sepeda, lalu bergegas ke dapur untuk minum. Setelah satu gelas penuh air habis diteguk, dia kembali berlari ke luar, hendak kembali melanjutkam bermain.

"Bunda, Alif main lagi, ya?" teriaknya sambil menaiki sepeda.

"Eh, Alif, tunggu! Sepeda siapa itu yang Alif pakai?" tanyaku sambil mendekati Alif yang sudah duduk di sadel sepeda.

"Sepeda Boby, Bunda."

"Boby? Boby mana?" tanyaku heran. Setahuku tak ada teman sepermainan Alif yang bernama Boby.

"Itu, loh, Bunda. Yang rumahnya di gang belakang, yang baru pindah."

"Ooo... yang baru pindah itu. Kenapa sepedanya Alif pinjam? Ini sepeda mahal, Nak. Nanti rusak kan kita harus mengganti rugi."

"Alif nggak pinjam kok Bunda. Boby yang selalu menawari. Anaknya baik banget loh, Bunda."

Aku mengangguk-angguk antara bahagia dan cemas mendengar penjelasan Alif. Bahagia karena melihat Alif begitu gembira bisa naik sepeda. Cemas karena itu sepeda orang dan kelihatannya sangat mahal.

Boby itu pasti anaknya Bu Susan. Ya, aku tahu dari para tetangga tentang warga baru itu. Sebagian warga sudah berkenalan dengan dia. Namun, Belum ada yang pernah bertemu atau sekedar melihat suaminya.

Sepertinya suami Bu Susan itu memang belum pernah ada di rumah. Ada yang bilang Bu Susan itu istri ke dua. Ada pula yang menggosipkan dia hanya istri simpanan. Itulah kenapa suaminya tak pernah terlihat.

Menuru Bu Tejo, si biang gosip komplek, Bu Susan itu orangnya ketus dan tak mau bergaul dengan warga lain. Agak sombong.

Dari yang kulihat sekilas ketika dia beberapa kali lewat di depan rumahku, penampilannya memang terkesan angkuh. Umurnya mungkin sebaya denganku. Tapi dia sangat cantik, terawat, sepertinya rutin ke salon. Secara ekonomi dia pasti berkecukupan.

Soal gosip-gosip itu, entahlah. Meski sedikit terpengaruh, aku tak mau ambil pusing. Soal karakternya, aku juga tak bisa menilai, karena sama sekali belum pernah bertemu, apalagi berinteraksi.

Hanya saja, kalau memang benar tipe orangnya kurang simpatik, aku merasa was-was saja dia akan marah kalau tahu Alif sering memakai sepeda anaknya.Sebuah sepeda lipat yang dari penampakannya saja terlihat kokoh dan berkelas. Pasti sangat mahal.

"Ya sudah, Alif jangan sering-sering pakai ya. Nanti rusak, Nak. Kita nggak sanggup mengganti."

Alif hanya mengangguk, lalu segera mengayuh sepeda pinjaman itu dengan ceria.

Demikianlah, hari-hari Alif berikutnya penuh keceriaan. Dia terlihat makin akrab dengan Boby. Hampir tiap sore pula dia selalu terlihat memakai sepeda teman barunya itu.

*****

Sore itu Alif sudah selesai menjemput uang hasil penjualan gorengan. Biasanya menjelang magrib dia baru selesai. Tapi kali ini baru jam lima, dia telah menyerahkan uang padaku.

"Loh, kok cepat, Nak?" tanyaku heran.

"Iya, Bunda. Sekarang Alif keliling menjemput uang ke warung-warung pakai sepeda. Jadi cepat," jawab Alif dengan wajah semringah.

Lagi-lagi hatiku merasa was-was. Alif terlihat begitu bahagia bisa bersepeda. Sementara, aku khawatir terjadi apa-apa dengan sepeda itu. Namun, aku tak tega melarang, karena memang belum mampu membelikannya sepeda.

Aku cek toples yang berisi uang tabungan hasil penjualan gorengan, isinya belum genap lima ratus ribu. Masih kurang banyak untuk membeli sepeda yang cukup layak.

Akhirnya, aku pasrah saja dan membiarkan Alif. Tiap sore dia selalu memakai sepeda Boby untuk berkeliling mengambil uang hasil penjualan gorengan.

Hingga suatu sore.

Alif berlari pulang ke rumah dalam keadaan menangis.

"Bunda, ampun Bunda... maafkan Alif Bunda," ujarnya sambil memelukku dan terus menangis.

"Eh, ada apa, Nak? Kenapa Alif menangis?" tanyaku panik seraya berlutut dan memegang bahu Alif dengan kedua tangan.

"Sepeda Boby hilang, Bunda... " tangis Alif makin menjadi-jadi. Kembali dia peluk aku.

"Astaghfirullaah! Kenapa bisa hilang, Nak!?" Aku panik.

"Iya Bunda... setelah dari warung yang terakhir tadi, Alif kebelet pipis. Alif mampir pipis di toilet mesjid. Selesai pipis, sepedanya udah nggak ada... Ampun Bunda... maafkan Alif ..." Alif meraung menyesali diri.

Lututku seketika gemetar. Tak tahu harus berkata apa. Jelas saja sepeda bisa hilang. Sejak covid-19 mewabah banyak orang yang mengalami kesulitan hidup. Bahkan ada yang untuk sekedar makan pun susah.

Yang kurang iman tentu gelap mata melihat kesempatan begitu. Dijual cepat saja dengan harga miring, sepeda itu pasti segera laku.

Aku resah membayangkan bakal sulitnya mengganti sepeda itu. Harganya pasti jutaan. Terbayang pula murkanya mama Boby yang katanya sombong itu andai kami tak mampu segera mengganti.

Ingin marah rasanya. Namun, aku segera sadar. Anak sekecil Alif tentu tak mengerti bahwa dia telah ceroboh. Tak mengerti bahwa orang yang awalnya tak berniat mencuri pun bisa gelap mata karena ada kesempatan.

Karena Alif terus menangis, hatiku pun iba. Tak tega membiarkannya ketakutan begitu.

"Sudahlah, Nak. Mau gimana lagi. Semua sudah terjadi. Alif sekarang tenang dulu. Nggak usah menangis lagi." Ku usap-usap kepalanya untuk menenangkan.

"Alif takut Bunda. Takut Boby dan mamanya marah. Takut sama Ayah dan Bunda juga. Gimana nanti Alif bisa mengganti sepeda itu Bunda?" Alif terus menangis.

Rasa haru menguasai hatiku. Kupeluk erat Alif.

"Alif tak perlu khawatir. Bunda akan ganti sepeda itu. Sekarang, ayo kita ke rumah Boby. Kita harus berani bertanggung jawab."

*****

"Boby, Mama mana?"

"Belum pulang, Tante, masih di luar kota. Boby cuma sama Bibik di rumah."

"Boby, Alif udah berbuat salah, ngilangin sepeda Boby. Maafkan Alif, ya. Trus, nanti sampaikan ke mama, sepeda Boby akan tante ganti segera."

"Baik, Tante," jawab bocah itu.

Reaksi Boby terlihat biasa-biasa saja. Hanya garuk-garuk kepala mencerna kata-kataku barusan. Entah bagaimana reaksi mamanya nanti.

*****

Malam harinya, aku ceritakan masalah sepeda hilang itu pada suami.

Setelah mendengar penuturanku, suami hanya diam membisu lalu mengusap-usap wajah dengan kedua telapak tangan pertanda gusar.

Aku paham apa yang dia rasa. Mau marah, tak ada guna. Mau berkata harus segera mengganti, uang tak ada. Sama sekali tak ada solusi yang bisa dia kemukakan. Apa lah daya seorang kuli bangunan dengan upah 80 ribu rupiah per hari. Makanya dia memilih diam.

Aku pun tak tega. Kasihan kalau harus membebani pikirannya padahal tubuhnya juga sedang lelah setelah banting tulang bekerja kasar seharian.

Akhirnya, aku bertekad menyelesaikan masalah ini sendiri walau belum tahu bagaimana caranya nanti.

*****

Panas matahari belum terlalu menyengat ketika sebuah mobil berhenti di depan rumahku.

Dari mobil itu turun seorang perempuan berpenampilan modis dan mencolok.

'Bu Susan,' batinku.

"Eh, Bu Susan.. selamat pagi, Bu. Mari, silahkan masuk dulu," ujarku sopan.

"Nggak usah. Saya cuma mau memperjelas duduk masalah sepeda Boby," ujarnya dengan nada suara datar.

"Oh..iya, Bu. Maafkan anak saya. Saya akan ganti. Siang ini saya akan ke toko sepeda. Mohon bersabar ya, Bu...."

"Baik kalau begitu. Ini faktur pembeliannya. Ibu bisa lihat nama tokonya. Beli lagi saja di sana. Supaya nggak salah beli. Di situ tertera merek dan tipenya. Beli yang sama persis ya, Bu."

Setelah menyodorkan faktur, Bu Susan celingak-celinguk ke dalam rumah. Mungkin mencari Alif. Tak menemukan Alif, dia langsung balik badan dan kembali ke mobilnya.

Setelah mobil itu berlalu, segera kubuka faktur. Langsung terbaca nama tokonya, Sahabat Jaya.

Pandanganku langsung beralih ke bagian bawah faktur. Tertulis di sana total nilai belanja Rp5.500.000.

"Astaghfirullaah..."

Harga sepeda itu lima setengah juta! Seketika segala persendianku terasa lunglai.

Bagaimana caranya aku bisa membeli sepeda semahal itu? Uang tabunganku tak lebih 500 ribu. Tadinya aku berfikir harganya hanya berkisar satu atau dua juta saja. Masih bisa kuusahakan mencari pinjaman. Tapi, ternyata lima juta. Sulit mendapatkan pinjaman sebanyak itu saat ini.

Cukup lama aku buntu. Sampai akhirnya terlintas sesuatu di kepala.

"Halo, ini toko sepeda Sahabat Jaya?"

"Iya, Bu. Ada yang bisa kami bantu?"

"Pak, apakah bisa membeli sepeda dengan cara kredit?"

"Bisa, Bu. Kebetulan kami sedang ada program kredit tanpa DP dan tanpa bunga. Silahkan Ibu datang ke toko kami."

"Alhamdulillah..." gumamku sedikit lega. Bagaimanapun, sepeda harus bisa segera kudapat, karena sudah terlanjur kujanjikan pada Bu Susan.

Aku segera berangkat ke toko itu.

*****

"Koh, saya yang tadi nelpon mau kredit sepeda."

"Oh, Ibu yang tadi nelpon, ya? Baik, Bu. Boleh saya pinjam KTP Ibu? Biar saya proses."

Setelah menerima KTP-ku, Koko pemilik toko itu segera menyiapkan beberapa berkas.

"Loh, nama Ibu Widya Istianti? Alamat di perumahan Wisma Permai?"

"Iya, Koh. Kenapa?"

"Tadi ada yang memesan sepeda lewat telpon dan langsung membayarnya via transfer. Katanya, nanti sepeda itu akan diambil oleh seorang ibu yang bernama Widya Istianti. Ibu kan orangnya?"

"Ah, masak sih, Koh?"

"Iya, Bu... ini fakturnya sudah dibuatkan anak buah saya, dan itu barangnya juga sudah siap, tinggal di angkut."

"Masha Allah... siapa orangnya, Koh?"

"Saya nggak tau, Bu. Yang jelas dia sudah membayar, saya nggak tanya-tanya lagi."

"Laki-laki atau perempuan?"

"Laki-laki."

Dalam suasana hati senang bercampur heran, aku coba mengira-ngira, siapa orangnya yang telah membayarkan sepeda itu.

Kata si Koko laki-laki. Apakah suamiku? Jika iya, uang dari mana? Tapi kalau bukan dia, siapa lagi?

Segera kutelpon suami. Berulang-ulang nyambung tapi tidak diangkat. Saat kerja dia memang jarang bisa dihubungi.

Untuk sementara aku tunda dulu rasa ingin tahu. Yang jelas aku bersyukur dan gembira, karena bisa segera mengganti sepeda Boby tanpa harus kredit atau bersusah payah mencari hutangan.

"Baiklah Koh, jadi sepeda ini sudah bisa langsung saya bawa?"

"Sekalian kami antar ke alamat Ibu, karena tadi pembayarannya sudah termasuk biaya pengantaran ke alamat."

"Alhamdulillaah... Tuhan memang maha penyayang."

*****

Alif menaiki sepeda baru itu. Wajahnya terlihat sedih. Sisa tangisan masih terlihat dari matanya yang sedikit sembab dan memerah.

Akhirnya ada sepeda baru datang ke rumah. Tapi bukan untuk Alif. Alif sedih, demikian pula aku. Hanya saja hatiku sedikit lega, karena tabungan untuk membeli sepeda Alif tak jadi terpakai.

"Bunda, bolehkan sepeda ini Alif pakai dulu satu hari sebelum kita serahkan ke Bu Susan?"

"Nggak boleh, Nak. Ini bukan punya kita. Kita harus segera serahkan ke pemiliknya."

Alif kembali berkaca-kaca.

Menjelang ashar, kami berdua berjalan menuju rumah Bu Susan. Alif menuntun sepeda sambil sesekali menyeka air mata.

*****

"Bu Susan, ini sepedanya. Saya tak tahu siapa yang membelikan. Yang jelas ketika saya sampai di toko, si Koko pemilik toko bilang sepeda ini sudah ada yang membayar atas nama saya. Nah, sekarang saya serahkan. Alif, ayo, Nak. Serahkan sepeda itu ke Boby."

"Nggak perlu, Alif," cegah Bu Susan.

"Loh, kenapa, Bu?" Aku heran.

"Sepeda itu suami saya yang memesan dan membayar. Itu untuk Alif, pakailah, Nak. Alif anak yang baik. Pantas dapat hadiah sepeda." ujar Bu Susan lembut sembari tersenyum ramah.

Alif terperanjat.

"Yang benar Tante?" tanya Alif memastikan.

"Iya, Nak. Sepeda itu bisa Alif pakai untuk membantu Bunda keliling ke warung-warunng tiap sore. Tapi, lain kali, jangan sendirian. Ajak Boby ya."

"Terimakasih, Tante."

Wajah Alif langsung berseri-seri. Dia raih tangan Bu Susan lalu menempelkan keningnya ke punggung tangan perempuan yang ternyata berhati mulia itu.

"Udah... sekarang Alif main dulu ya. Tante mau bicara sama Bunda Alif. Boby! Ayo temani Alif main sepeda."

Boby keluar dari garasi rumah sambil menuntun sepeda. Sebuah sepeda baru, persis sama dengan sepeda baru Alif.

Kedua bocah itu segera mengayuh sepeda mereka dengan ceria.

Aku menatap Bu Susan dengan perasaan campur aduk. Berdosa rasanya sempat berprasangka negatif padanya. Terlebih, sempat pula terpengaruh oleh gosip miring yang ditebar Bu Tejo.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun