Hanya saja, kalau memang benar tipe orangnya kurang simpatik, aku merasa was-was saja dia akan marah kalau tahu Alif sering memakai sepeda anaknya.Sebuah sepeda lipat yang dari penampakannya saja terlihat kokoh dan berkelas. Pasti sangat mahal.
"Ya sudah, Alif jangan sering-sering pakai ya. Nanti rusak, Nak. Kita nggak sanggup mengganti."
Alif hanya mengangguk, lalu segera mengayuh sepeda pinjaman itu dengan ceria.
Demikianlah, hari-hari Alif berikutnya penuh keceriaan. Dia terlihat makin akrab dengan Boby. Hampir tiap sore pula dia selalu terlihat memakai sepeda teman barunya itu.
*****
Sore itu Alif sudah selesai menjemput uang hasil penjualan gorengan. Biasanya menjelang magrib dia baru selesai. Tapi kali ini baru jam lima, dia telah menyerahkan uang padaku.
"Loh, kok cepat, Nak?" tanyaku heran.
"Iya, Bunda. Sekarang Alif keliling menjemput uang ke warung-warung pakai sepeda. Jadi cepat," jawab Alif dengan wajah semringah.
Lagi-lagi hatiku merasa was-was. Alif terlihat begitu bahagia bisa bersepeda. Sementara, aku khawatir terjadi apa-apa dengan sepeda itu. Namun, aku tak tega melarang, karena memang belum mampu membelikannya sepeda.
Aku cek toples yang berisi uang tabungan hasil penjualan gorengan, isinya belum genap lima ratus ribu. Masih kurang banyak untuk membeli sepeda yang cukup layak.
Akhirnya, aku pasrah saja dan membiarkan Alif. Tiap sore dia selalu memakai sepeda Boby untuk berkeliling mengambil uang hasil penjualan gorengan.