Aku bangga bisa menyelesaikan soal di papan tulis itu dengan mudah. Bahkan bu Guru Risti memuji pekerjaanku. Kebahagiaan sesaat itu sempat kunikmati lalu hancur berantakan ketika ibu guru matematika itu meniru teman-teman yang lain dengan memanggilku Daus.
Hatiku menangis.
 (3)
Romli anak yang baik. Dia pendiam, setidaknya tidak pernah mengata-ngataiku. Tubuhnya gemuk. Aku nyaris jarang berbicara dengan teman-teman sekelas. Satu-satunya yang masih aku ajak bicara hanya Romli.
Sama seperti aku dia anak orang tidak mampu. Ayahnya bekerja sebagai tukang bajaj. Saudaranya banyak. Perbedaannya hanya Romli bertubuh normal, jadi tidak pernah menjadi bahan bullyan di kelas.
Tetapi Romli mengaku kalau dirinya juga minder. Sebagai anak orang tidak mampu, dia menutupi semua itu dengan diam.
"Kamu harus ikut ekstra kurikuler," katanya padaku.
"Aku tidak mau."
"Kenapa?"
"Tidak apa-apa."
Tentu saja ada apa-apa. Bagiku mengurangi bergaul dengan siapapun itu adalah keputusan yang bijaksana. Kalau hanya untuk ekstrakurikuler, kurasa bukan program sekolah yang inti, jadi lebih baik tidak ikut.