Mohon tunggu...
Anggie D. Widowati
Anggie D. Widowati Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Psikolog, Pegiat Literasi

Penulis Novel: Ibuku(Tidak)Gila, Laras, Langit Merah Jakarta | Psikolog | Mantan Wartawan Jawa Pos, | http://www.anggiedwidowati.com | @anggiedwidowati | Literasi Bintaro (Founder)

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Novelet | Aku Bukan Daus

17 Agustus 2020   05:27 Diperbarui: 28 Agustus 2020   06:12 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rumah kami paling jelek di gang itu. Tembok-tembok tua yang lembab, dan genteng yang beberapa tempat sudah bocor. Atau lantai semen yang sebagian bolong. Lumayan kami tak perlu membayar sewa.

Meninggalnya ayah membuat kapal di rumahku menjadi oleng. Ayah bukan karyawan atau pegawai. Ayah berdagang baju bekas di pasar barang bekas. Dia memiliki gerobak besar yang ditariknya setiap hari pulang pergi ke pasar itu, sampai kemudian meninggal karena paru-parunya hancur oleh virus TBC.

Meskipun hanya jualan kue, ibu punya uang untuk membeli makanan dan keperluan. Kue-kuenya memang enak. Hanya dengan modal kecil, tetapi jarang membawa pulang kue yang dijual. Namun begitu tetap tidak mampu membiayai dua kakakku sekolah. Mereka terpaksa drop out dari sekolah.

Sekarang hanya tinggal aku yang bersekolah di sekolah negeri. Sekolah gratis. Kali ini aku diuntungkan oleh kecacatanku karena sekolah negeri harus menerima murid disabilitas. Bayangkan aku dimasukkan ke golongan disabilitas, meskipun panca indraku lengkap tapi memang tidak tumbuh normal seperti anak usiaku.

(2)

Sekolah itu bukan SMP favorit, tetapi proses pembelajaran sangat disiplin. Aku duduk dengan Romli di bangku paling depan kiri, dekat jendela. Tepat di depanku ada meja guru.


Awal-awal sekolah adalah masa-masa yang sulit. Aku bukan anak bodoh, tetapi aku selalu kesulitan menemukan teman. Entah mengapa aku selalu merasa minder. Bentuk tubuhku yang kecil, adalah salah satu penyebabnya. Kemiskinanku yang kedua dan semua masa lalu, lingkungan dan orang-orang disekitarku yang selalu merendahkanku itu yang ketiga.

Kebahagiaanku hanyalah semangat, semangat ketika pagi hari harus berangkat ke sekolah dengan jalan kaki. Pada saat melewati trotoar, dengan seragamku dan tas gemblok di punggungku, aku merasakan angin menyentuh wajahku dengan lembut.

Tetapi ketika memasuki gerbang sekolah, semua rasa itu berubah menjadi sebaliknya. Galau. Anak-anak yang baru sampai, orang tua yang mengantarkan mereka seakan tidak lepas memandangku.

Entah benar atau tidak namun begitulah perasaanku. Aku mempercepat langkahku, begitu masuk gerbang, agar bisa segera masuk kelas dan berdiam di sana. Sementara anak-anak bergerombol di halaman, di taman, atau di kantin, aku duduk di bangku ku sampai bel masuk berbunyi.

Demikian juga nanti kalau istirahat datang, aku disitu saja memakan bekal yang aku bawa dari rumah. Tidak ada uang saku, sebulan di sekolah itu, belum sekali pun aku menginjakkan kaki di kantin. Nasi soto, nasi uduk, ketoprak, baso, es nutrisari, milo atau pun seblak pedas, hanya kucium aromanya ketika ada teman yang jajan dan dimakan di kelas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun