Mohon tunggu...
Anggie D. Widowati
Anggie D. Widowati Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Psikolog, Pegiat Literasi

Penulis Novel: Ibuku(Tidak)Gila, Laras, Langit Merah Jakarta | Psikolog | Mantan Wartawan Jawa Pos, | http://www.anggiedwidowati.com | @anggiedwidowati | Literasi Bintaro (Founder)

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Novelet | Aku Bukan Daus

17 Agustus 2020   05:27 Diperbarui: 28 Agustus 2020   06:12 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku mengangguk saja.

"Dasar Daus goblog," tambahnya pula.

"Aku bukan Daus," kataku membantah.

Lalu aku ambil kotak kardus dalam kantong plastik yang disodorkan ibu kepadaku. Tanpa berpamitan aku keluar dari dapur dan berjalan menyusuri jalan kampung menuju rumah bu Tono.

Ibuku pandai membuat kue, tetapi aku melihat dia seperti manusia yang resah entah karena apa. Sebelum ayah meninggal ibu tidak segusar itu. Mungkinkah ibu menganggap keberadaan anak-anaknya ini sebagai beban hidupnya.

Aku bukan anak yang sulit, tidak seperti dua kakakku Dayat dan Harun yang selalu keluyuran kemana-mana, aku lebih suka di rumah bersama ibuku. Aku selalu menonton televisi di ruang tengah. Setiap saat bisa disuruh kemana pun dan melakukan apapun untuk membantu wanita itu.


Ibu selalu sibuk di dapur untuk membuat kue. Kue-kue murahan seperti bakwan, timus, onde dan semacamnya. Kue-kue itu kadang pesanan tetangga, kadang dititipkan ke warung kecil di sekitar rumah. Kalau pagi ibu menjual sebagian ke pasar pagi. Sepertinya hanya itu hiburan ibu, jalan kaki ke pasar dengan mendorong gerobak kue.

Tidak ada yang tahu mengapa aku lebih suka berdiam di rumah daripada main dengan anak tetangga. Iyaa betul. Aku menghindari mereka, karena tubuh cacatku selalu menjadi bahan ejekan mereka.

Aku tahu bahwa dalam hati kecil mereka ingin menghinaku. Aku tahu bahwa mereka menganggap aku sampah karena tubuhku yang kecil dan aneh. Lebih baik aku di rumah daripada bertemu mereka.

Mulut mereka, bagiku seperti pedang tajam yang siap menguliti setiap inci tubuhku. Bukan hanya ibuku, tetanggaku sudah tidak memanggilku dengan nama bagus yang diberikan ayah. Mereka semua memanggilku Daus.

Aku tidak suka dengan panggilan itu. Tetapi bagaimana mengatakan ketidaksukaan itu. Kalau aku berbantah dengan mereka, mereka akan lebih ganas mengata-ngataiku. Anak-anak tetangga maupun orang tuanya sama saja, mereka itu otaknya sudah rusak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun