"Daus miniiiii..."
Aku mempercepat langkahku menghindari anak-anak kecil itu. Aku pun tidak lebih tinggi dari anak-anak TK itu. Aku terus berjalan menuju warung rumah bu Tono dengan perasaan kesal.
Sekarang anak-anak kecil pun sudah memanggil dengan sebutan Daus. Tidak ada sisa orang lagi yang mengingat namaku. Sepulang mengantarkan kue, aku kembali duduk di depan televisi. Ibuku masih sibuk di dapur sambil menggerutu entah karena apa. Aku membalik-balik acara televisi dan mengemil gorengan yang tidak layak jual.
"Dimana kakakmu?" tanya ibu muncul dari dapur.
Aku menggeleng.
"Tidak tahu Bu," kataku.
"Keluyuran saja, kayak gelandangan," keluhnya.
Aku benar-benar tidak tahu dimana kakak-kakakku yang drop out sekolah itu berada. Pernah sekali melihat Dayat di perempatan jalan mengatur lalu lintas. Sekali saja, setelahnya tidak lagi, konon dilarang oleh preman-preman yang sudah terorganisasi.
Begitu pun Harun, kadang markir di ruko atau menjadi sopir angkot cadangan. Pokoknya mencari uang dengan cara apapun. Tidak ada pilihan bagi keluargaku selain menghibur diri sendiri.
Mencari uang tanpa memiliki keahlian juga berat. Kadang dua kakakku rela berantem dengan para preman. Dikejar-kejar oleh preman karena mencuri lahan. Mereka hidupnya lebih berat ketimbang aku. Yah, kami semua adalah orang-orang yang hanya menjadi bulan-bulanan lingkungan.
Orang tidak melihat lagi perasaan dan hati kami tercabik-cabik oleh justifikasi masyarakat karena kondisi miskin. Masih untung punya rumah warisan nenek yang kami tempati ini. Setidaknya ada tempat untuk berteduh.