Mohon tunggu...
AL Wijaya
AL Wijaya Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis "Target Pertama", "As You Know", "Kembali ke Awal"

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Batas (Bab 9)

5 Juni 2019   04:52 Diperbarui: 5 Juni 2019   05:11 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Di dalam keranjang belanja tersisa sebungkus makanan ringan. Rita segera mengambil barang itu lalu memindai kode batangnya di alat pemindai. Harga makanan ringan itu langsung muncul di layar komputer.

"Total belanjanya Rp 75.000,00." kata Rita kepada seorang pria pelanggan supermarket di hadapannya sambil memasukkan makanan ringan tadi ke dalam kantung plastik yang telah penuh berisi barang belanjaan lainnya.

Pria itu segera mengambil uang dari dalam dompet lalu memberikannya kepada Rita.

"Uangnya pas. Terima kasih."

Pria itu segera pergi meninggalkan Rita. Ia berjalan melewati tiga orang ibu-ibu berjilbab yang asyik mengobrol sambil membawa barang mereka. Mereka adalah Dina, Jihan, dan Ratna. Sesekali mereka melirik ke arah Rita.

"Memang ya. Azab wanita murtad itu tidak habis-habisnya." ujar Ratna.

Rita sudah hafal benar dengan kelakuan mereka. Entah sampai kapan mereka berhenti menggunjing Rita. Rita benar-benar sudah lelah mengurusi ibu-ibu super kurang kerjaan ini. Hanya bisa Rita lakukan hanyalah menarik nafas panjang sambil menahan emosi. Ia berusaha untuk menulikan telinganya sementara waktu.

"Sampai-sampai ya, keponakannya juga kena getahnya." kata Dina yang hari itu mengenakan kerudung bunga-bunga.

"Maksudnya?" tanya Jihan penasaran.

"Kalian tidak tahu berita terbaru? Itu.. Keponakannya. Jalan dengan wanita Cina. Entah darimana asalnya. Bahkan mereka kedapatan masuk ke kamar hotel berdua."

"Hah???" Jihan dan Ratna terkejut.

Senada dengan mereka, Rita pun terkejut. Ia langsung melirik para penggosip itu. Telinganya kini ia pasang dalam-dalam. Berani sekali mereka menggunjing Ari!

"Kasihan ya, bu... Kalau Dokter Herman dan Linda masih ada, mereka pasti akan mendidik anak itu dengan baik, dengan penuh ajaran agama." kata Jihan yang berjilbab merah muda.

"Benar itu, bu. Yang didik sekarang saja model begitu. Pantas jauh dari agama." imbuh Ratna.

"Benar-benar keluarga yang diazab." kata Dina.

Rita sudah tak tahan lagi mendengar gunjingan mereka. Telinganya sudah panas, apalagi hatinya. Emosi yang selama ini ia pendam akhirnya termuntahkan. Rita berbalik mendatangi ibu-ibu itu.

"Kalian sedang membicarakan apa?" tanya Rita dengan nada kesal.

Dina memandangi Rita dengan tatapan jijik. "Apa urusan anda ya? Suka-suka kami dong mau bicara apa."

"Kalian membicarakan keponakanku kan? Kalian boleh menjelek-jelekkanku seenak hati. Tapi aku takkan membiarkan kalian juga menjelek-jelekkan keponakanku!" kata Rita melawan.

Dina maju selangkah seolah menantang Rita. "Memang benar kelakuan keponakanmu sekarang seperti binatang yang tak tau adat. Dia sudah melakukan tindakan mesum di hotel bersama wanita Cina. Itu semua karena kamu tak becus mengurusnya. Memangnya agamamu tidak mengajarimu cara mendidik anak?"

Emosi Rita memuncak. "Memangnya agama anda mengajari anda membicarakan keburukan orang lain? Kalau iya, cari saja agama lain."

"Kamu jangan menista agama saya ya, dasar perempuan mandul!"

Rita tersenyum meremehkan. "Saya kasihan pada anda. Hati anda dipenuhi kebencian. Lebih baik anda lepas penutup kepala anda agar tidak ternodai oleh kebusukan hati anda."

"Kurang ajar kamu!"

Dina menampar keras pipi Rita. Rita terkejut, begitu pula dengan Jihan dan Ratna di belakang. Rita memegangi pipinya. Ia balik menatap wajah Dina dengan penuh kemarahan.

Tak dapat membendung lagi emosinya, Rita mendaratkan kepalan tangannya ke atas wajah Dina.

---

Ponsel Tomas di atas meja bergetar. Tomas meliriknya sekilas. Nomor tak dikenal. Tomas pun hanya mematikan ponsel itu lalu membaliknya.

"Kamu perlu revisi di bagian ini." kata Bambang sambil menunjuk ke arah materi presentasi Tomas yang akan ia bawakan nanti sewaktu ujian kenaikan pangkat.

"Baik pak, lebih baik itu dihi-"

Belum selesai Tomas bertanya, tiba-tiba ponselnya kembali bergetar. Bambang yang melihat itu mempersilakan Tomas untuk menerima panggilan terlebih dahulu.

"Angkat saja dulu telponnya." kata Bambang.

"Baik, terima kasih pak." Tomas mengangguk. Ia lekas mengangkat ponselnya. "Halo?"

Seseorang di ujung telpon berbicara. Ekspresi wajah Tomas langsung berubah. Ia begitu terkejut mendengar berita tersebut.

"Apa? Rita ada di kantor polisi?" tanya Tomas sambil memandangi Bambang.

---

Tomas bergegas masuk ke dalam kantor polisi Artapuri. Ia langsung menuju ruang pemeriksaan. Dengan langkah yang terburu-buru, Tomas langsung membuka pintu ruangan tersebut. Di sana, ia melihat Rita bersama dengan Edo tengah berbincang dengan seorang petugas polisi.

Melihat Tomas datang, Rita langsung berdiri. Ia menghampiri suaminya lalu memeluknya erat. Tomas pun balas memeluk Rita.

"Kau tak apa?" tanya Tomas.

"Aku baik-baik saja." jawab Rita sambil melepas pelukan di tubuh Tomas.

"Ada apa ini?" tanya Tomas.

"Istri anda telah memukul seorang wanita hingga tulang hidungnya patah." kata petugas polisi yang bernama Putra.

"Bagaimana bisa??" Tomas kaget. Ia langsung melirik Rita. Rita hanya tertunduk malu dan menyesal.

"Mereka membicarakan hal yang buruk tentang Ari. Rita berusaha menghentikan mereka." sambung Edo.

"Lalu?" Tomas balik bertanya pada Putra.

"Tenang saja, pak. Istri anda tidak bersalah. Menurut rekaman CCTV yang diberikan Bapak Edo, wanita itu yang lebih dulu memukul Ibu Rita. Jadi kami mengklasifikasikan kasus ini sebagai perkelahian semata. Kami sudah selesai memprosesnya." jawab Putra.

Tomas memeluk Rita sekali lagi. "Lalu setelah ini bagaimana?"

"Kalian dapat pulang. Berhati-hatilah Ibu Rita. Jaga emosi anda." kata Putra.

Setelah berterima kasih pada Edo dan Putra, Tomas mengajak Rita untuk pulang. Mereka berjalan melewati Dina didampingi suaminya sedang mengotot pada seorang petugas polisi. Samar-samar mereka berdua mendengar teriakannya.

"Bapak tidak lihat hidung saya? Ini tindakan penganiayaan!" kata Dina sambil menunjuk hidungnya yang ditutup perban dan masih mengeluarkan darah.

"Tapi ibu yang menyerang dia dulu." jawab sang petugas.

"Tapi dia telah menistakan agama saya!" Dina tak mau kalah.

"Ibu, tenang. Menurut barang bukti dan saksi yang ada, kesalahan pertama dilakukan oleh ibu. Beruntung ia tidak menuntut ibu balik dengan pasal perbuatan tidak menyenangkan." kata petugas tersebut.

Dina langsung terdiam. Ia melirik ke arah luar jendela ruangan. Terlihat Rita dan Tomas sedang berjalan. Mereka saling menatap selama beberapa detik. Terlihat aura kemarahan terpancar dari wajah Dina. Hingga akhirnya Tomas mengajak Rita untuk keluar dari kantor polisi tersebut.

---

Mobil Tomas melaju di atas aspal jalan dengan kecepatan rata-data. Di dalamnya, Rita masih tak berbicara sepatah kata pun. Ia menyandarkan tangan kanannya di kaca jendela sambil memegangi kepalanya. Ia terlihat melamun.

Tomas yang melihat hal itu berusaha mengajak Rita bicara.

"Apa yang kau telah lakukan, Rita?" tanya Tomas.

"Mereka menggunjing Ari." kata Rita lugas. "Bagaimana aku bisa diam mendengar keponakanku dikatai di depan mataku sendiri?"

Tomas terdiam. Ia tak bisa bicara banyak. Rita memang berada dalam posisi sulit. Kalau Tomas menjadi Rita, mungkin ia akan melakukan hal yang sama.

"Memangnya apa yang mereka katakan?" tanya Tomas.

"Mereka mengatakan bahwa Ari masuk ke kamar hotel berdua dengan seorang wanita Tiong Hoa." kata Rita.

Alis Tomas mengerut. "Wanita Tiong Hoa?" Tomas tahu, tidak mungkin ada wanita seperti itu di kota semacam Artapuri.

"Aku tak tahu. Bagaimana Ari bisa mengenalnya... Argh! Anak itu sangat bodoh!!" Rita jadi kesal sendiri. Ia memukul dashboard mobil untuk melampiaskan emosinya. Mengapa Ari melakukan hal yang tolol? Tidak sadarkah ia dimana ia tinggal sekarang?

Lagi-lagi Tomas tak dapat bicara. Ia mengerti mengapa Rita marah. Ia hanya tak ingin Ari mendapat diskriminasi yang dirasakan Rita dan Tomas.

Tomas menggenggam tangan Rita untuk menenangkannya sejenak. Tomas fokus menyetir dengan tangan kanannya. Ketika berada di persimpangan jalan, Tomas membanting setir ke arah kanan hingga mobilnya berbelok lalu menghilang.

---

Dengan langkah kaki yang mantap, Ari dan Melani berjalan menyusuri lorong Rumah Sakit Daerah Artapuri. Sudah 2 hari mereka menunggu dan hari ini hari yang dijanjikan Suster Diana. Mereka sudah tak sabar ingin tahu dimana keberadaan ayah Melani sekarang. Terlebih Melani. Ia sungguh berharap dapat menemukan ayahnya.

Setelah melewati meja resepsionis, mereka berjalan menuju lorong luar. Di sana, Suster Diana sudah menunggu sambil membawa sebuah berkas. Melihat berkas di tangannya, Melani semakin tak sabar. Ia melangkah lebih cepat lagi hingga bertatap muka dengan Suster Diana secara langsung.

"Bagaimana? Apakah kau sudah menemukan berkas tentang papaku?" tanya Melani.

Mimik wajah Suster Diana langsung berubah. "Aku harus mengatakan hal ini pada kalian." Suster Diana menyerahkan berkas yang ia pegang pada Melani.

---

Di hadapan Melani, kini ia melihat sebuah makam tak terurus. Daun-daun kering serta semak belukar tumbuh di atas makam tersebut. Tanpa batu nisan, tanpa nama. Kondisi makan itu benar-benar memprihatinkan. Selain tempatnya yang kotor dan sendiri, ia juga seperti diasingkan jauh dari kota. Makam itu diletakkan di perbatasan kota Artapuri.

Mata Melani menatap kosong makam tersebut. Pandangannya nanar. Saking syoknya, Melani tak dapat bicara sama sekali.

Benarkah ini makam ayahnya? Bagaimana ia bisa tahu akan hal itu? Tak ada yang bisa menjamin bahwa ini adalah benar makam ayah Melani.

Mungkin Suster Diana salah. Ya. Ia pasti salah. Tak mungkin ayah Melani dikuburkan di tempat terpencil seperti ini. Melani mulai membuat beraneka penyangkalan dalam pikirannya untuk memuaskan diri.

Di samping Melani, Ari terus memandang wajah Melani dengan penuh rasa iba. Ari mengerti rasanya menatap pusara sang orang tua. Ari pernah mengalami itu. Dan itu sangat tidak mengenakkan.

Ari mendekati Melani. Ia menepuk pundak wanita itu. Ari ingin memberikan dukungan moril pada Melani. Saat ini ia pasti terguncang. Selama ini ia berusaha mencari ayahnya, namun ia malah menemukan kenyataan bahwa ayahnya telah meninggal.

"Mel..." panggil Ari lirih.

"Tidak. Ini pasti suatu kesalahan. Ini tidak mungkin papaku." sangkal Melani.

"Melani..." Ari memanggil Melani sekali lagi untuk menyadarkannya.

"Tidak. Mereka pasti bohong padaku. Orang Artapuri. Aku seharusnya tak mempercayai mereka." kata Melani sambil menggelengkan kepala.

Ari menggeleng. Ia memeluk Melani. Melani justru meronta. Ia masih tak bisa menerima kenyataan.

"Aku harus menggali kuburan ini. Aku akan melakukan tes DNA. Mereka pasti salah."

"Melani, tolong.... Hentikan.."

Melani mendorong tubuh Ari. "Kau tak tahu rasanya."

"Aku tahu, Mel. Aku pernah ada di posisimu. Kehilangan kedua orang tua kita adalah hal terburuk dalam hidup semua manusia." kata Ari.

"Itu tidak sama. Kau masih punya om dan tantemu dan semua orang di sekelilingmu yang menyukaimu. Aku apa? Kepada siapa lagi aku harus mengadu? Aku tak punya siapa-siapa lagi."

"Kau masih punya aku. Aku akan membantumu melewati masa-masa sulit ini. Kau ingat janji kita kan?" tanya Ari.

Melani menggeleng. Pikirannya kini sangat kacau. Ia tak dapat berpikir jernih. Hatinya penuh sesak oleh kesedihan dan amarah. Ia sedih menerima kenyataan bahwa ternyata ayahnya sudah meninggal dan dikuburkan dengan sangat tidak layak. Ia marah kepada semua warga Artapuri yang memperlakukan ayah dan keluarganya dengan bejat di masa lalu.

"Ayolah Melani, kau sendiri yang mengatakan padaku untuk tidak berkubang di masa lalu. Kau bisa melewati ini semua. Terkadang memang ada orang yang datang dan pergi dalam hidup kita. Kita harus melanjutkan hidup kita."

Melani langsung melirik Ari. Ia tak terima dengan perkataan Ari. Seolah Ari menyuruh Melani untuk membiarkan begitu saja kematian ayahnya.

"Jangan ajari aku soal melanjutkan hidup. Tahu apa kamu soal melanjutkan hidup? Kalau kau bisa melakukannya, kau takkan masih terjebak di kota busuk ini." ucap Melani sambil menuding Ari.

"Aku tahu, aku masih belum bisa melakukannya. Tapi aku yakin aku akan bisa. Kau pun juga harus begitu. Bagaimana pun juga mereka sudah pergi dan tidak akan kembali. Tidak ada gunanya berlarut-larut dalam kesedihan."

"Jadi menurutmu aku tak perlu sedih akan kematian papaku? Aku tak perlu sedih melihat kelakuan orang-orang di kotamu kepada papaku??" Nada bicara Melani meninggi. Emosinya kian tak stabil.

"Bukan begitu maksudku..."

"Kau tidak mengerti Ari! Kau terlahir dengan wajah pribumi. Sedangkan aku? Gara-gara wajah Cinaku, aku selalu mendapat diskriminasi ras sampai sekarang. Coba kau lihat ini. Kau lihat!!" Melani menunjuk makam ayahnya. "Mereka memperlakukan papaku seperti binatang! Itu hal yang tidak akan kamu mengerti rasanya."

Ari terdiam sejenak. Kepala menunduk.

"Aku tahu, tapi itu takkan merubah keadaan. Yang sudah biarlah sudah lah, Melani." kata Ari.

Melani menggelengkan kepalanya. "Ternyata kau tidak berubah, Ari. Kau tetap egois. Kau tak mau memikirkan perasaan orang lain. Pantas saja kedua orang tuamu meninggal akibat keegoisanmu."

Kata-kata Melani langsung menusuk Ari. Ia telah berhasil mengusik area sensitif dalam hati Ari. Air muka Ari langsung berubah. Ia tak nyaman lagi meneruskan perbincangan ini.

"Aku mungkin bukan orang yang mudah melanjutkan hidup seperti yang kau suruh, tapi aku bukan pengecut. Aku takkan berpura-pura sudah melupakan namun masih menyimpan semua dalam hati. Aku tak mau membuat realita kosong seperti yang kau lakukan selama ini pada hidupmu sendiri."

"Cukup! Kau tak berhak mengatakan hal itu padaku!" Ari membentak Melani. "Yang kulihat justru dirimu lah yang pengecut. Dari awal kau sebenarnya sudah tahu bahwa ayahmu telah meninggal. Tapi kau meyakini dirimu sendiri bahwa ia masih hidup. Aku yakin, kau datang kemari bukan karena wasiat dari ibumu. Tapi karena kau yang ingin membuktikan keyakinanmu itu. Kalau kau tak menemukannya di sini, pasti kau akan menganggapnya masih hidup. Padahal ia sudah meninggal. Sudah meninggal!"

Satu per satu air mata Melani meleleh. Ia memandangi Ari yang marah. Melani kecewa pada Ari. Ia sangat kecewa. Melani pikir Ari sudah lebih dewasa, tapi ternyata ia tidak.

"Dari awal sudah kubilang padamu, Artapuri tidak menerimamu di sini." kata Ari.

Melani mengangguk. "Aku pun tak menerimamu."

Setelah berkata demikian, Melani berjalan pergi meninggalkan Ari. Ari memaki. Ia menendang bebatuan ke sembarang arah. Ia sangat kesal dan marah. Dalam hatinya, ia juga merasa menyesal telah mengatakan hal yang tidak sepatutnya dikatakan kepada Melani.

Kini Ari hanya dapat memandangi Melani yang berjalan ke arah matahari yang mulai tenggelam.

---

Malam kembali tiba. Hari ini merupakan salah satu hari terburuk bagi Ari. Tak pernah terpikirkan sebelumnya ia akan bertengkar hebat dengan Melani. Padahal ia merasa sudah nyaman jalan dengan wanita itu.

Ari pun memutuskan untuk kembali ke rumah. Ia ingin membenamkan dirinya dibatas kasur. Ari ingin tidur. Semoga dengan begitu semua kekesalan serta ketidakberuntungannya hari ini dapat berakhir.

Namun ternyata bukannya membaik, keadaan semakin bertambah buruk. Baru saja Ari menjejakkan kaki ke dalam rumah, Rita dan Tomas langsung menghampirinya. Wajah Rita terlihat marah. Ari pun semakin tak nyaman.

"Darimana saja kamu?" tanya Rita.

"Rita..." Tomas berusaha menenangkan istrinya.

"Dari bar Yandi." kata Ari berdusta.

"Bohong! Kamu jalan dengan wanita Cina kan??"

Mendengar kata itu disebut, Ari yang hendak pergi naik tangga terhenti. Ia berbalik menatap Rita yang sedang marah.

"Kau berbicara hal itu seperti kau orang Artapuri." kata Ari.

"Jawab yang jujur! Apa benar kamu pergi ke hotel berdua dengan wanita itu?" tanya Rita.

"Memangnya kalau iya, kenapa?" tanya Ari dengan santai.

"Apa kau sudah gila? Apa kau bodoh?? Kau tidak tahu bahwa seisi kota sudah membicarakan hal ini?"

"Persetan dengan mereka. Untuk apa aku peduli?"

"Kau tidak bisa seenaknya seperti itu. Aku di sini untuk melindungimu. Tolong jangan persulit aku." kata Rita.

"Aku tidak. Memang mungkin kau saja yang tidak becus mengurus diriku." kata Ari sambil menatap mata Rita. Ia sudah kepalang kecewa dengan Melani. Ari jadi melampiaskan semuanya kepada Rita. "Ya. Kau hanya melarangku ini itu. Kau tidak memberikanku pilihan. Kau tidak mau tahu perasaanku yang sebenarnya!"

Rita terpojok.

"Itu sebabnya kau tidak bisa punya anak. Kau takkan bisa mengurusnya." ucap Ari.

Perkataan Ari ibarat pisau yang langsung menusuk hati Rita. Ia tak terima. Tanpa sadar ia mengayunkan tangannya ke arah wajah Ari. Rita menampar Ari dengan cukup keras.

Tomas yang berdiri di belakang Rita terkejut. Ia tak dapat mengendalikan emosi istrinya. Tomas melirik wajah Ari. Air mukanya masam. Ia terlihat sangat marah sekarang.

Tanpa pikir panjang lagi, Ari langsung meringsek pergi dari rumah. Rita sendiri syok. Ia menyesal telah menampar Ari. Beban pikiran Rita bertambah kacau. Ia hanya ingin melindungi Ari dari orang-orang Artapuri. Namun mengapa ia malah membuatnya keruh?

Melihat istrinya bersedih, Tomas berusaha memeluknya dari belakang. Namun Rita menolak. Ia mendorong tubuh suaminya ke belakang lalu pergi menuju dapur. Tomas hanya diam tanpa bisa berbuat apa-apa.

---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun