Melani menggelengkan kepalanya. "Ternyata kau tidak berubah, Ari. Kau tetap egois. Kau tak mau memikirkan perasaan orang lain. Pantas saja kedua orang tuamu meninggal akibat keegoisanmu."
Kata-kata Melani langsung menusuk Ari. Ia telah berhasil mengusik area sensitif dalam hati Ari. Air muka Ari langsung berubah. Ia tak nyaman lagi meneruskan perbincangan ini.
"Aku mungkin bukan orang yang mudah melanjutkan hidup seperti yang kau suruh, tapi aku bukan pengecut. Aku takkan berpura-pura sudah melupakan namun masih menyimpan semua dalam hati. Aku tak mau membuat realita kosong seperti yang kau lakukan selama ini pada hidupmu sendiri."
"Cukup! Kau tak berhak mengatakan hal itu padaku!" Ari membentak Melani. "Yang kulihat justru dirimu lah yang pengecut. Dari awal kau sebenarnya sudah tahu bahwa ayahmu telah meninggal. Tapi kau meyakini dirimu sendiri bahwa ia masih hidup. Aku yakin, kau datang kemari bukan karena wasiat dari ibumu. Tapi karena kau yang ingin membuktikan keyakinanmu itu. Kalau kau tak menemukannya di sini, pasti kau akan menganggapnya masih hidup. Padahal ia sudah meninggal. Sudah meninggal!"
Satu per satu air mata Melani meleleh. Ia memandangi Ari yang marah. Melani kecewa pada Ari. Ia sangat kecewa. Melani pikir Ari sudah lebih dewasa, tapi ternyata ia tidak.
"Dari awal sudah kubilang padamu, Artapuri tidak menerimamu di sini." kata Ari.
Melani mengangguk. "Aku pun tak menerimamu."
Setelah berkata demikian, Melani berjalan pergi meninggalkan Ari. Ari memaki. Ia menendang bebatuan ke sembarang arah. Ia sangat kesal dan marah. Dalam hatinya, ia juga merasa menyesal telah mengatakan hal yang tidak sepatutnya dikatakan kepada Melani.
Kini Ari hanya dapat memandangi Melani yang berjalan ke arah matahari yang mulai tenggelam.
---
Malam kembali tiba. Hari ini merupakan salah satu hari terburuk bagi Ari. Tak pernah terpikirkan sebelumnya ia akan bertengkar hebat dengan Melani. Padahal ia merasa sudah nyaman jalan dengan wanita itu.