Bab 27: Amukan Sang Laksamana
Sebelum lanjut, baca Prolog Bagian 1, Bab 1, Bab 2, Bab 3 , Bab 4, Bab 5, Bab 6, Bab 7, Bab 8, Bab 9, Bab 10, Bab 11, Bab 12, Bab 13, Bab 14, Bab 15, Bab 16, Bab 17, Bab 18, Bab 19, Epilog Bagian 1, Prolog Bagian 2, Bab 20, Bab 21, Bab 22, Bab 23, Bab 24, Bab 25, dan Bab 26.
Tidak ada waktu untuk berpikir. Tidak ada waktu untuk menyusun strategi. Saat puluhan ujung panah itu berkilauan di tengah kabut, hanya ada insting.
"MERUNDUK!" raung Tanah.
Saat panah-panah itu melesat dengan desingan mematikan, ia tidak mencoba membuat dinding dari dasar laut yang jauh di bawah. Ia menghentakkan kakinya dengan kekuatan penuh ke lantai perahu cadik yang mereka tumpangi. KRAKKK! Dengan suara kayu yang mengerang protes, papan-papan kayu di sisi kiri dan kanan perahu itu menebal secara tidak wajar, melengkung ke atas dalam sekejap, membentuk dua perisai kayu darurat yang kokoh. THUD-THUD-THUD-THUD! Lusinan panah menghantam perisai itu, ujung-ujungnya yang tajam tertanam dalam di kayu yang diperkuat sihir Tanah, hanya beberapa senti dari kepala para pahlawan kita. Pak Wirya menjerit ngeri, meringkuk di dasar perahu.
Perlindungan itu tidak akan bertahan lama. "Kita harus memisahkan mereka!" teriak Gayatri.
Api, yang berjongkok di samping Tanah, menggeram. Matanya berkilat marah. Ia tidak bisa membakar kapal-kapal itu, tapi ia bisa membakar para penumpangnya. Ia melompat berdiri, dan alih-alih menembakkan seberkas api, ia menyapukan tangannya dalam busur lebar. Sebuah gelombang api biru yang menyala-nyala menyapu geladak kapal di sebelah kanan mereka. Api itu tidak merusak kayu yang terlindungi sihir, tetapi panasnya yang luar biasa memaksa para pemanah di atasnya untuk menjerit dan melompat mundur, formasi mereka pecah berantakan.
Di saat yang sama, Gayatri mengarahkan serangannya ke kapal di sebelah kiri. Ia tidak memanggil badai. Ia mengumpulkan angin, memadatkannya menjadi bilah-bilah tak kasat mata, dan melepaskannya. Terdengar serangkaian bunyi tring-tring-tring yang aneh saat bilah-bilah angin itu memotong tali-tali busur para pemanah, membuat senjata mereka tak berguna.
Melihat kesempatan itu, Tirta bangkit. Matanya menyala biru, dan lautan di sekeliling mereka merespons panggilannya. Bukan sebuah pusaran air, melainkan dua gelombang raksasa yang bangkit dari kedua sisi, mendorong kedua kapal hitam itu menjauh dari perahu kecil mereka dengan kekuatan yang dahsyat. Kapal-kapal itu terdorong mundur, sementara perahu cadik mereka sendiri terombang-ambing dengan ganas di atas riak air yang tersisa.
Gelombang itu menciptakan kekacauan yang mereka butuhkan, tetapi juga membawa konsekuensi. Saat perahu mereka terangkat tinggi lalu jatuh dengan keras, Api kehilangan pijakannya. Dengan sebuah teriakan kaget, ia terlempar ke arah salah satu kapal hitam yang sedang berguncang.
"API!" teriak Tanah. Tanpa berpikir dua kali, ia melompat dari perahu mereka, mendarat dengan keras di geladak kapal musuh yang licin, tepat di antara Api dan sekelompok prajurit hitam yang mulai pulih.
Dalam sekejap, pertempuran itu terpecah menjadi dua front.
Di atas kapal hitam, Tanah dan Api kini bertarung bahu-membahu, punggung saling melindungi. Mereka dikepung, tetapi mereka adalah badai di tengah kepungan itu. Tanah menjadi benteng. Setiap hentakan kakinya membuat geladak di bawah para prajurit bergetar, membuat mereka tersandung. Dengan satu gerakan tangan, ia membuat sebagian kecil geladak berubah menjadi lumpur lengket, menjebak kaki seorang prajurit. Api, di sisi lain, menjadi ujung tombak. Ia bergerak lincah, menari di antara musuh, tinjunya diselimuti api biru. Ia tidak membakar mereka sampai mati, melainkan menggunakan semburan api pendek untuk melumpuhkan, memukul mundur, dan menciptakan ruang bagi mereka berdua.
Sementara itu, di atas perahu cadik yang terombang-ambing, Gayatri dan Tirta menghadapi ancaman yang lebih besar. Kedua kapal hitam itu, setelah pulih dari dorongan gelombang Tirta, kini mulai bermanuver untuk kembali mengepung mereka. Gayatri menggunakan hembusan angin yang kuat untuk mendorong perahu mereka menjauh dari jangkauan para pemanah tombak. Tirta, dengan wajah berkonsentrasi penuh, mengubah permukaan laut di sekitar mereka menjadi medan perang. Ia menciptakan semburan-semburan air bertekanan tinggi yang menghantam kapal-kapal itu, mencoba memperlambat laju mereka. Pertarungan itu seperti pertarungan antara dua ekor ikan paus raksasa dengan seekor lumba-lumba yang lincah dan cerdik.
Namun, keseimbangan yang rapuh itu tidak bertahan lama.
Dari dalam kabut hijau yang pekat, sebuah kapal ketiga muncul. Kapal ini lebih besar, lebih megah, dan lebih mengintimidasi daripada dua kapal lainnya. Di haluannya yang diukir seperti kepala seekor garuda laut, berdiri sesosok pria.
Ia tidak berbadan besar, malah cenderung ramping, tetapi setiap gerakannya memancarkan aura efisiensi yang mematikan. Ia mengenakan baju zirah kulit hitam yang diperkuat dengan lempengan-lempengan dari koral hijau yang sama seperti liontin yang mereka temukan. Di pinggangnya terselip sepasang keris dengan bilah hitam legam. Wajahnya tampan dengan cara yang dingin dan tajam, matanya setajam mata burung elang, tanpa emosi. Inilah dia, Laksamana Alap-Alap.
Ia menatap pertempuran itu dengan ketenangan seorang ahli catur. Melihat kedua abdinya kewalahan menghadapi Tanah dan Api, ia melompat. Lompatannya luar biasa jauh, ia terbang melintasi jarak dua puluh meter antar kapal, mendarat di geladak yang sedang bergejolak dengan keheningan seekor kucing.
Para prajurit hitam langsung memberinya jalan. Sang Laksamana mengabaikan mereka, matanya terpaku pada Tanah dan Api.
"Kalian punya kekuatan," katanya, suaranya dingin dan bergema, memotong hiruk pikuk pertempuran. "Sebuah anugerah dari semesta. Tapi kalian menggunakannya untuk membela hama yang mengotori lautan."
"Kaulah hama di sini!" balas Api, melesatkan sebuah bola api ke arahnya.
Alap-Alap bergerak. Ia tidak menghindar. Dengan satu gerakan pergelangan tangan yang mengalir, ia mencabut salah satu keris hitamnya dan menangkis bola api itu. Terdengar suara desis saat sihir api bertemu dengan logam gaib, dan bola api itu pecah menjadi percikan-percikan tak berbahaya.
Ia melesat maju. Kecepatannya tidak manusiawi. Tanah menghentakkan kaki untuk membuatnya tersandung, tetapi Alap-Alap melompat ringan, menghindari gelombang getaran itu. Ia muncul di hadapan Api. Api mencoba menyerangnya dengan pukulan api jarak dekat, tetapi sang Laksamana menari mengelilinginya, setiap gerakannya adalah sebuah elakan yang sempurna. Dengan sebuah gerakan memutar, ia menggunakan gagang kerisnya untuk menghantam ulu hati Tanah yang mencoba melindunginya dari belakang.
BLUK!
Tanah terbatuk, udara terdorong keluar dari paru-parunya. Ia terhuyung mundur, untuk pertama kalinya pertahanannya berhasil ditembus.
Melihat celah itu, Alap-Alap berbalik ke arah Api. Sebelum Api bisa bereaksi, ia menyabetkan tangannya. Bukan dengan bilah kerisnya, melainkan dengan tangan kosong. Gerakannya begitu cepat hingga Api hanya bisa melihat sebuah bayangan sebelum sebuah pukulan tajam dan tepat menghantam pergelangan tangannya, membuatnya menjatuhkan konsentrasi apinya. Rasa sakit yang tajam menjalar di lengannya. Ia telah dilumpuhkan, dikalahkan dalam sekejap mata.
Dari atas perahu mereka yang tak berdaya, kabut hijau itu sedikit menipis, memberi Gayatri dan Tirta pemandangan yang mengerikan. Mereka melihat Tanah yang sedang berjuang untuk bangkit dan Api yang berdiri tertegun, satu tangannya terkulai lemas, ditaklukkan oleh sang Laksamana yang kini berdiri di antara mereka, tampak tak tersentuh.
Melihat teman-temannya dalam bahaya maut, sesuatu di dalam diri Tirta pecah. Rasa tenang dan keterasingannya yang dingin lenyap, digantikan oleh gelombang amarah yang panas dan primordial. Ia meraung, bukan dengan suara manusia, tetapi dengan suara lautan itu sendiri.
Air di sekeliling mereka berhenti bergejolak. Seluruh "Kuburan Kapal" itu menjadi hening mencekam. Kemudian, air itu mulai mendidih.
-- BERSAMBUNG ke Bab 28 --
_______
Buku novel ini adalah bagian dari proyek "Lab Histori"Â
https://medium.com/@labhistori
https://www.wattpad.com/user/labhistori
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI