Bab 2: Api di Pelabuhan Sunda Kelapa
Sebelum lanjut, sudah baca Prolog dan Bab 1Â belum?
Di pesisir utara Jawa, di mana Sungai Ciliwung bertemu dengan Laut Jawa, Pelabuhan Sunda Kelapa terhampar bagai permadani usang yang menyimpan ribuan cerita. Udara asin dan bau ikan menusuk hidung, bercampur dengan aroma rempah-rempah yang memabukkan dari gudang-gudang VOC yang kokoh berdiri di sepanjang dermaga. Kapal-kapal jung Jawa yang ramping bersandar di samping kapal-kapal dagang Eropa yang besar dan angkuh, tiang-tiang layarnya menjulang ke langit seperti hutan tanpa daun. Kesibukan tak pernah mati di sini; kuli-kuli angkut pribumi bertelanjang dada hilir mudik memindahkan barang, pedagang dari berbagai bangsa tawar-menawar dengan suara lantang, dan serdadu-serdadu Kompeni berpatroli dengan wajah angkuh, senapan selalu di bahu.
Namun, jauh dari hiruk-pikuk pelabuhan, di sebuah kediaman bangsawan yang dikelilingi tembok tinggi di wilayah yang lebih tenang, suasana justru mencekam. Dewi Kirana, seorang putri bangsawan berusia delapan belas tahun, menatap pantulan dirinya di cermin perunggu besar. Gaun pengantin berwarna merah menyala, berhias benang emas dan untaian mutiara, membungkus tubuhnya yang langsing. Gaun itu indah, tak diragukan lagi, namun bagi Kirana, rasanya seperti sangkar emas yang akan segera mengurungnya seumur hidup.
Hari ini, ia akan dinikahkan dengan seorang bangsawan tua dari wilayah seberang, sekutu ayahnya yang baru. Sebuah pernikahan politik, demikian ayahnya berkata, untuk memperkuat kedudukan mereka di tengah cengkeraman VOC yang semakin erat. Tapi bagi Kirana, itu adalah pengkhianatan. Ayahnya, yang dulu istananya dibakar habis oleh Belanda hingga menyisakan trauma dan dendam membara di hati Kirana, kini justru memilih jalan kompromi yang pengecut.
"Semua sudah siap, Ndoro Putri?" Suara Bi Inah, dayang setianya sejak kecil, memecah lamunan.
Kirana tidak menjawab. Tangannya terkepal erat di balik lengan bajunya yang lebar. Amarah, seperti bara api yang terpendam, mulai menyala dalam dirinya. Ia teringat wajah-wajah serdadu Belanda yang tertawa saat api melalap rumahnya, teringat jeritan keluarganya. Dan kini, ia harus menyerahkan dirinya demi kepentingan politik yang tak pernah ia setujui. Ambisinya bukan menjadi perhiasan seorang bangsawan tua, melainkan melihat panji-panji Kompeni terbakar menjadi abu.
"Ndoro Putri?" Bi Inah mendekat dengan cemas.
"Aku tidak akan melakukannya, Bi," desis Kirana, matanya berkilat tajam, memantulkan cahaya temaram dari pelita minyak kelapa.
"Apa maksud Ndoro Putri? Para tamu sudah berdatangan. Penghulu sudah menunggu."
Kirana bangkit. Temperamennya yang mudah meledak kini mencapai puncaknya. Dengan gerakan cepat, ia menyambar salah satu pelita itu. Minyaknya yang panas sedikit tumpah ke tangannya, tapi ia tak peduli.