Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Penulis

Gemar membaca dan menulis, dengan karya narasi, cerpen, esai, dan artikel yang telah dimuat di berbagai media. Tertarik pada filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Berpegang pada moto: “Bukan banyaknya, melainkan mutunya,” selalu mengutamakan pemikiran kritis, kreatif, dan solusi inspiratif dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

[Novel] Musamus Tubuh Kecil Jiwa Besar, Episode 31-32

6 Agustus 2025   03:35 Diperbarui: 6 Agustus 2025   03:35 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cover Novel Musamus Tubuh Kecil Jiwa Besar (Dokumentasi Pribadi)

Tanah dari Sabana 

Mentari pagi menyembul perlahan dari balik sabuk kayu bus yang berjajar di batas sabana. Cahayanya menyapu rerumputan tinggi, menciptakan gelombang keemasan yang meliuk-liuk, seperti laut yang ditimpa angin lembut. Udara hangat, berembus pelan dari arah timur, membawa aroma tanah kering yang bercampur bau daun ketapang yang gugur. Di kejauhan, tampak pohon palem berdiri seperti tiang-tiang penjaga, mengintai dari kejauhan.

Musamus berdiri di tengah bentangan sabana yang tak pernah ia jejakkan sejauh ini. Tubuh kecilnya tampak kontras di antara hamparan luas, namun langkahnya mantap. Hari itu, ia datang bukan untuk berburu, bukan pula untuk menyendiri. Ia datang untuk memulai, mendirikan fondasi harapan.

Seekor udang rawa meloncat dari genangan air kecil yang tertinggal di sela rumput. Dari balik semak, muncullah Luma si belalang rawa, diikuti Teto si kepiting dan Pak Gala si cacing tua dari tanah hitam.

"Aku tak menyangka, sabana ini menyimpan udara yang berbeda," kata Pak Gala sambil mendongak, matanya menatap langit yang bersih dari awan. "Tanahnya kering, tapi terasa hangat, seperti sedang bersiap menerima sesuatu yang baru."

"Memang," jawab Musamus, matanya menyapu luas daratan, "tanah ini belum pernah disentuh oleh sarang, belum pernah diinjak oleh kaki bersama. Tapi di sinilah kita akan mulai. Karena rawa di utara mulai tergenang tak terkendali, dan palem tua tempat kita berkumpul kini kian rapuh akar-akarnya."

Teto memutar matanya ke arah selatan. "Tapi... apakah akar bisa tumbuh di tanah kering seperti ini? Kita bukan makhluk sabana, Musamus. Kita terbiasa hidup di tanah lunak, di air yang mengalir."

"Bukankah justru karena kita terbiasa, kita lupa caranya beradaptasi?" sela Luma dengan nada berani. "Kita sudah belajar dari bakau yang bisa hidup di air asin, dari ketapang yang daunnya jatuh tapi akarnya tetap memeluk tanah."

Suara dari bawah tanah terdengar lirih, disusul munculnya kepala kecil dari belut lumpur. "Aku mendengar percakapan kalian sejak tadi," katanya serak. "Sabana ini tidak benar-benar mati. Di bawahnya masih ada kelembapan. Kalian hanya perlu menggali lebih dalam."

Musamus tersenyum. "Dan itulah yang akan kita lakukan."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun