"Tidak ada alasan! Peraturan adalah peraturan!" Kopral itu memberi isyarat, dan dua serdadu lainnya mulai menggeledah perahu-perahu nelayan dengan kasar, mengambil apa saja yang mereka anggap berharga. Satu kapal kecil milik Kompeni, lengkap dengan meriam kecil di haluannya, bersiaga di dekat dermaga, seolah siap menembak jika ada perlawanan.
Hati Kirana mendidih. Kepengecutan ayahnya, penindasan yang ia saksikan di mana-mana, semua memicu amarah yang selama ini terpendam. Ia melihat laras meriam di kapal VOC itu mulai diarahkan ke perahu-perahu nelayan yang mencoba menghindar. Mereka akan menembak orang-orang tak bersalah ini hanya karena masalah pajak yang tak seberapa.
Tanpa berpikir panjang, Api -- karena kini ia merasa nama itu lebih cocok untuknya -- bertindak. Ia memusatkan seluruh kemarahan dan kekuatannya. Tangannya terulur ke arah kapal VOC itu. Seketika, dari telapak tangannya, semburan api biru yang dahsyat melesat, lebih besar dan lebih panas dari api yang membakar gaunnya. Api itu menderu seperti naga, menghantam sisi kapal kayu VOC dengan kekuatan luar biasa.
BLAAARRR!
Ledakan kecil terjadi saat api biru itu menyentuh mesiu yang mungkin tersimpan di dekat meriam. Kayu kapal seketika terbakar hebat. Anehnya, air laut yang disiramkan oleh para serdadu yang panik ke arah kobaran api itu seolah tak berpengaruh; api biru itu terus menyala dengan ganas, seolah air adalah bahan bakarnya. Jeritan panik terdengar dari atas kapal. Para serdadu melompat ke laut untuk menyelamatkan diri.
Para nelayan ternganga tak percaya. Orang-orang di pelabuhan berhenti dari aktivitas mereka, menatap ke arah Api dengan campuran rasa takut dan kagum. Api sendiri terkejut dengan kekuatan yang baru saja ia keluarkan. Ia merasakan sensasi yang luar biasa, sekaligus sedikit menakutkan.
Namun, ia tak punya banyak waktu untuk merenung. Para serdadu VOC yang berada di dermaga, setelah pulih dari keterkejutan awal, kini mengarahkan bedil mereka ke arahnya.
"Itu dia! Si penyihir api! Tangkap dia!" teriak kopral yang tadi memalak para nelayan.
Dari arah gerbang utama pelabuhan, suara derap kaki kuda terdengar. Pasukan kavaleri VOC, yang mungkin sudah mendapat kabar tentang kerusuhan di kediaman bangsawan tadi, kini bergerak cepat ke arahnya.
Api tahu ia dalam bahaya besar. Dengan cepat, ia berbalik dan berlari menyusuri gang-gang sempit di antara gudang-gudang penyimpanan, mencoba menghilangkan jejak. Suara sepatu bot para serdadu dan ringkikan kuda semakin dekat di belakangnya. Pelabuhan Sunda Kelapa yang tadinya terasa sebagai tempat perlindungan, kini telah berubah menjadi medan perburuan. Dan ia, sang Api, adalah buruannya.
-- BERSAMBUNG ke Bab 3 --