Mohon tunggu...
Adriyanto M
Adriyanto M Mohon Tunggu... Menyimak Getar Zaman, Menyulam Harapan

Ruang kontemplasi untuk membaca dinamika dunia dengan harapan dan semangat, merangkai ide dan solusi masa depan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

[FULL NOVEL] PENDHARAKA: Fantastic Four Nusantara - Bab 2

31 Mei 2025   05:38 Diperbarui: 1 Juni 2025   14:49 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku Novel Superhero Indonesia: "PENDHARAKA: Fantastic Four Nusantara"

"Jika mereka menginginkan pengantin, biarlah mereka melihat api!" serunya.

Sebelum Bi Inah sempat mencegah, Kirana menyiramkan minyak dari pelita itu ke ujung gaun pengantinnya yang menjuntai. Seketika, api berkobar, melahap kain sutra merah itu dengan rakus. Api itu aneh, warnanya bukan kuning atau merah biasa, melainkan biru terang yang menari-nari, seolah memiliki kehendaknya sendiri. Bi Inah menjerit ngeri, mundur beberapa langkah.

Kirana merasakan panas yang menjilat kulitnya, namun anehnya, ia tidak merasakan sakit. Sebaliknya, ia merasakan gelora kekuatan yang aneh, seolah api itu adalah bagian dari dirinya. Dengan gaun yang masih terbakar di bagian bawah, ia berlari keluar kamar, melewati para dayang dan penjaga yang terkejut dan panik melihat putri bangsawan mereka dilalap api biru yang tak biasa.

"Hentikan dia!" teriak seorang penjaga.

Tapi Kirana lebih cepat. Ia menerobos kerumunan tamu yang berkumpul di pendopo, gaunnya yang terbakar meninggalkan jejak hangus di lantai kayu. Beberapa serdadu VOC yang diundang sebagai "tamu kehormatan" ayahnya membelalakkan mata melihat pemandangan itu. Mereka melihat dengan jelas bagaimana api biru itu berkobar dari pakaian sang putri.

Ia berhasil mencapai halaman belakang, melompati pagar tanaman, dan berlari sekuat tenaga menuju gerbang samping yang jarang dijaga. Di belakangnya, teriakan-teriakan marah dan kebingungan menggema. Ia tak peduli. Kebebasan kini ada di depan mata.

Ia berlari tanpa tujuan pasti, hanya ingin sejauh mungkin dari sangkar emasnya. Kakinya membawanya menyusuri jalanan sempit perkampungan, hingga akhirnya ia tiba di gerbang Pelabuhan Sunda Kelapa. Napasnya tersengal, gaunnya kini hanya tersisa compang-camping hangus di beberapa bagian, namun api biru itu telah padam dengan sendirinya begitu ia menjauh dari kediaman ayahnya, meninggalkan aroma belerang tipis di udara. Wajahnya coreng moreng oleh jelaga, namun matanya memancarkan tekad yang baru.

Pelabuhan adalah tempat yang paling mungkin untuk bersembunyi atau melarikan diri lebih jauh. Ia mencoba membaur dengan keramaian, menarik sisa-sisa kain yang hangus untuk menutupi kepalanya. Ia melihat bagaimana para mandor Kompeni memperlakukan pekerja pribumi dengan kasar, bagaimana para pedagang kecil diperas. Dendamnya pada Belanda semakin menguat.

Tiba-tiba, perhatiannya tersedot ke arah salah satu dermaga kayu yang lebih kecil, tempat para nelayan lokal biasa menambatkan perahu-perahu mereka. Sekelompok serdadu VOC sedang bersitegang dengan beberapa nelayan. Salah satu serdadu, seorang kopral berperut buncit, menendang keranjang ikan milik seorang nelayan tua hingga isinya berhamburan.

"Pajak! Kalian belum bayar pajak hasil tangkapan hari ini!" bentak kopral itu.

"Tapi Tuan, hasil tangkapan hari ini sangat sedikit. Kami belum punya cukup uang," jawab nelayan tua itu dengan suara gemetar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun