Bab 15: Pengorbanan Wirasakti
Sebelum lanjut, baca Prolog, Bab 1, Bab 2, Bab 3 , Bab 4, Bab 5, Bab 6, Bab 7, Bab 8, Bab 9, Bab 10, Bab 11, Bab 12, Bab 13, dan Bab 14.
Jika suka dengan cerita ini, jangan sungkan like dan comment, akan sangat berarti bagi tim penulis.
Lembah di Gunung Halimun telah berubah menjadi neraka. Angin tergeletak tak berdaya, sayap anginnya yang robek hanya menyisakan percikan energi yang meredup, darah merembes dari lukanya yang menganga. Tanah, Api, dan Tirta membentuk benteng pertahanan terakhir di sekelilingnya, menghadapi sisa-sisa makhluk kabut hitam yang beringas dan serdadu VOC yang mulai berkumpul kembali. Makhluk raksasa bercakar yang melukai Angin kini menjadi fokus kemarahan mereka, namun monster itu, bersama beberapa makhluk kabut hitam lainnya, seolah tak kenal lelah.
Tepat ketika situasi tampak paling genting, ketika energi mereka mulai terkuras dan harapan menipis, sebuah kehadiran baru terasa di medan pertempuran. Bukan makhluk purba penjaga Halimun seperti yang sempat mereka khawatirkan, melainkan seseorang yang tak mereka duga akan muncul di saat seperti ini, apalagi untuk membantu.
Pangeran Arya Wirasakti berdiri di tepi lembah, jubahnya yang biasanya rapi kini tampak lusuh dan sobek di beberapa bagian. Wajahnya menyiratkan kelelahan yang amat sangat, namun juga sebuah resolusi baru yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Ia tak datang dengan pasukan, hanya seorang diri. Namun, aura yang dipancarkannya berbeda; tak ada lagi obsesi dingin atau kegelapan yang Angin saksikan dalam ritual ngaos.
Dan bersamaan dengan kemunculan Wirasakti, atau mungkin justru memancingnya keluar, sosok lain yang jauh lebih jahat menampakkan diri dari barisan belakang pasukan VOC. Kapten Willem van der Kraan, dengan seringai penuh kemenangan, melangkah maju. Di tangannya tergenggam sebuah batu meteorit kecil yang berdenyut dengan cahaya hitam yang sakit -- sumber kekuatan para makhluk kabut hitam.
"Sungguh pertunjukan yang menghibur, Pangeran!" ejek Willem, matanya tertuju pada Wirasakti, lalu beralih ke empat Pendharaka yang terdesak. "Kau datang untuk menyaksikan kehancuran harapan terakhirmu? Atau untuk bergabung dengan mereka dalam kematian?"
Wirasakti tak menggubris ejekan Willem. Pandangannya tertuju pada Angin yang terluka parah, dan ada kilat penyesalan yang mendalam di matanya. Kemudian, ia menatap Tanah, Api, dan Tirta. "Aku... aku telah dibutakan oleh duka dan keputusasaan," ujar Wirasakti, suaranya serak namun terdengar jelas di tengah kebisingan pertempuran yang sedikit mereda karena kemunculan dua tokoh sentral itu. "Aku telah merencanakan sesuatu yang mengerikan, sesuatu yang tak termaafkan. Aku hampir menghancurkan satu-satunya harapan yang tersisa demi egoismeku sendiri." Ia menatap Angin lagi. "Melihatmu hampir mati... menyadarkanku. Pengorbanan sejati bukanlah dengan mengambil nyawa orang lain demi ambisi pribadi, tapi dengan memberikan nyawa untuk sesuatu yang lebih besar."
Tanah, Api, dan Tirta tertegun. Apakah ini Wirasakti yang sama yang rencananya mereka ketahui? Ada ketulusan dalam suaranya yang tak bisa mereka sangkal.
"Kalian adalah pewaris sejati kekuatan para leluhur," lanjut Wirasakti, kini melangkah lebih dekat ke arah mereka, tak peduli pada Willem yang mengamatinya dengan curiga. "Bukan sebagai tumbal, tapi sebagai pelindung. Pustaka Astagina telah menunjukkan jalannya. Biarkan aku menebus kesalahanku."