Sebelum ada yang bisa bertanya lebih jauh, Wirasakti mulai menggumamkan mantra-mantra kuno, kali ini berbeda dari ritual ngaos yang kelam. Tangannya bergerak membentuk simbol-simbol rumit di udara. Dari dalam dirinya, atau mungkin dari Pustaka Astagina yang entah bagaimana masih terhubung dengannya secara spiritual, cahaya keemasan mulai memancar. Cahaya itu kemudian terpecah menjadi empat aliran, melesat dan masuk ke dalam tubuh Tanah, Api, Angin, dan Tirta.
Mereka merasakan gelombang energi yang luar biasa mengalir dalam diri mereka. Kekuatan mereka seolah berlipat ganda, lebih murni, lebih terfokus. Tanah merasakan bumi di bawah kakinya berdenyut lebih kuat, seolah seluruh gunung menjadi bagian dari dirinya. Api merasakan panas dalam dirinya membara lebih dahsyat, namun lebih terkendali. Tirta merasakan koneksinya dengan setiap molekul air di sekitarnya semakin dalam, bahkan hingga ke laut yang jauh. Angin, meski masih tak sadarkan diri, tubuhnya yang lemah mulai memancarkan cahaya lembut, luka di sayap anginnya seolah berhenti mengeluarkan darah. Roh-roh leluhur, yang tadinya mungkin akan dikorbankan, kini menyatu dengan mereka, memberikan restu dan kekuatan.
"Apa yang kau lakukan, bedebah?!" teriak Willem, merasakan perubahan energi yang terjadi. Ia memerintahkan makhluk kabut hitam untuk menyerang.
Namun, Wirasakti kini telah selesai dengan ritual singkatnya. Ia berbalik menghadap Willem, senyum tipis namun penuh kedamaian terukir di wajahnya. "Ini adalah akhir dari jalanmu, Willem," katanya tenang. "Dan mungkin... akhir dari jalanku juga."
Ia melesat maju, bukan ke arah anak-anak itu, tapi langsung ke arah Willem van der Kraan. Pertarungan sengit pun terjadi. Wirasakti, meski tanpa kekuatan elemen seperti keempat Pendharaka, bertarung dengan keahlian seorang panglima perang sejati, pedang pusakanya berkelebat menahan serangan Willem yang juga lihai memainkan pedang besarnya. Namun, Willem memiliki keuntungan dengan batu meteorit di tangannya, yang sesekali ia gunakan untuk melepaskan gelombang energi hitam atau memperkuat serangan fisiknya.
Keempat Pendharaka, merasakan kekuatan baru mereka, dengan mudah menghalau sisa-sisa makhluk kabut hitam yang mencoba menyerang Wirasakti dari belakang. Api dan Tanah bahkan berhasil menciptakan ledakan lahar terkonsentrasi yang melenyapkan makhluk raksasa yang melukai Angin. Tirta menciptakan pusaran air asam yang melindungi sisi mereka.
Namun, Wirasakti mulai terdesak. Usianya dan luka-luka lama membuatnya tak seprima dulu. Willem berhasil melukainya di bahu, lalu di kaki. Wirasakti terhuyung, namun ia tak menyerah. Dengan sisa tenaganya, ia melihat ada celah. Willem terlalu percaya diri, terlalu meremehkannya.
Dalam sebuah gerakan terakhir yang penuh keputusasaan namun juga keberanian yang luar biasa, Wirasakti menerjang maju, bukan untuk menyerang dengan pedang, tapi untuk memeluk Willem van der Kraan erat-erat. "Jika aku harus binasa," desis Wirasakti di telinga Willem yang terkejut, "kau akan ikut bersamaku ke neraka!"
Wirasakti kemudian mengerahkan seluruh sisa energi spiritualnya, mungkin juga sisa-sisa energi gelap dari ritual ngaos yang pernah dilakukannya, memusatkannya pada batu meteorit yang masih dipegang Willem. Batu itu mulai bergetar hebat, memancarkan cahaya hitam yang semakin tak stabil.
"LEPASKAN AKU, ORANG GILA!" jerit Willem, mencoba melepaskan diri dari pelukan maut Wirasakti.
Tapi Wirasakti memeluknya semakin erat. "Untuk Sunda Agung! Untuk keluargaku! Untuk penebusanku!"