Dan kemudian, ledakan dahsyat pun terjadi. Bukan ledakan api biasa, melainkan ledakan energi kabut hitam yang pekat, yang berasal dari batu meteorit yang tak lagi stabil. Ledakan itu melumat kedua tubuh itu dalam sekejap, meninggalkan kawah kecil yang berasap hitam di tempat mereka berdiri. Suara ledakan itu menggema di seluruh Gunung Halimun, menandai akhir dari seorang panglima yang tercela namun menemukan penebusan di akhir hayatnya, dan akhir dari seorang kapten VOC yang kejam.
Tanah, Api, dan Tirta terpaku menyaksikan pengorbanan heroik itu. Keheningan yang berat menyelimuti medan pertempuran yang baru saja usai. Musuh utama mereka telah tiada, namun begitu pula Pangeran Wirasakti. Mereka merasakan kekuatan baru yang mengalir dalam diri mereka, namun juga kesedihan atas pengorbanan itu.
Api adalah yang pertama bersuara, pelan. "Dia... dia melakukannya." Tanah mengangguk, tak bisa berkata-kata. Tirta memandang ke arah kawah kecil itu, lalu ke arah Angin yang masih terbaring lemah. "Kita harus segera membawa Angin pergi dari sini. Dia butuh pertolongan."
Pertempuran di Gunung Halimun telah berakhir. Willem van der Kraan telah musnah. Pangeran Wirasakti telah mengorbankan dirinya, memberikan mereka kekuatan baru dan kesempatan untuk melanjutkan perjuangan. Namun, harga yang dibayar sangatlah mahal, dan masa depan masih terbentang penuh ketidakpastian. Yang terpenting saat ini adalah menyelamatkan nyawa Angin.
-- BERSAMBUNG ke Bab 16 --
_______
Buku novel ini adalah bagian dari proyek "Lab Histori"Â
https://medium.com/@labhistori
https://www.wattpad.com/user/labhistori
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI